3

49 4 0
                                        

Vanessa duduk di kursi di hadapan Roman, kedua tangannya terlipat di dada. Ia menatap pria besar itu dengan tatapan penuh curiga.

"Jadi, maksud lo… gue bakal kerja buat lo?" ulangnya dengan nada tak percaya.

Roman menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap gadis kecil di hadapannya yang tampak siap memberontak kapan saja. "Bukan kerja dalam arti sebenarnya, Bocil. Gue butuh lo buat bantuin gue ngurus beberapa hal. Lo pinter ngomong, pinter ngeles, dan keras kepala. Gue yakin lo bisa berguna."

Vanessa mendengus. "Gue bukan pembantu lo lagi, terus sekarang mau dijadiin apa? Sekretaris gangster?" sindirnya.

Roman terkekeh kecil. "Enggak. Gue cuma butuh lo buat nemenin gue ke beberapa tempat. Lo bisa jadi tameng kalau ada orang yang kepo."

Vanessa mengernyit. "Tameng? Maksudnya?"

Roman mengangkat bahu. "Kadang ada orang-orang yang gak seharusnya tau urusan gue. Kalau lo ada di sana, mereka bakal mikir dua kali sebelum banyak tanya."

Vanessa semakin tak habis pikir. "Oh, jadi gue bakal jadi boneka lo sekarang? Gila aja!" Ia bangkit dari kursinya dengan ekspresi marah. "Gue mending tetap ngepel dan nyapu daripada harus jadi pajangan gangster kayak lo!"

Roman menatapnya tanpa ekspresi. "Gue gak nawarin pilihan."

Vanessa mengepalkan tangannya. "Lo pikir lo siapa bisa ngatur-ngatur hidup gue?"

Roman mendengus, berdiri dari kursinya. Dengan tubuhnya yang jauh lebih besar, ia dengan mudah mendominasi ruangan. "Dengar, Bocil. Gue udah kasih lo tempat buat tinggal, lo makan dari makanan gue, dan lo masih bisa seenaknya ngomong ke gue?"

Vanessa mendongak menatapnya dengan penuh perlawanan. "Gue gak pernah minta lo kasih gue tempat tinggal!" bentaknya. "Kalau gue bisa, gue udah kabur dari dulu!"

Roman menatap Vanessa dalam-dalam, lalu tiba-tiba menyeringai. "Oh ya? Lo pikir lo bisa kabur dari sini? Lo bahkan gak tau jalan keluar yang aman tanpa bikin masalah buat diri lo sendiri."

Vanessa menggigit bibirnya, frustrasi. Memang benar, ia sudah beberapa kali mencoba kabur, tapi selalu gagal. Gang ini seperti labirin, dan lebih buruknya lagi, selalu ada mata-mata Roman di mana-mana.

Melihat Vanessa yang terdiam, Roman mendekat, menurunkan suaranya. "Lo mau bebas, Bocil?"

Vanessa menatapnya tajam. "Jelas."

Roman mengangguk pelan. "Baik. Gue bakal kasih lo satu kesempatan buat keluar dari sini."

Vanessa membelalakkan matanya. "Serius?"

Roman menatapnya tanpa berkedip. "Serius. Tapi ada syaratnya."

Vanessa mendengus. "Pasti ada maunya," gumamnya.

Roman tersenyum tipis. "Kalau dalam waktu sebulan lo bisa cari dompet gue, lo bebas."

Vanessa mengerutkan kening. "Sampai sekarang dompet lo masih gak ketemu?"

Roman menatapnya tajam. "Lo mau keluar dari sini atau enggak?"

Vanessa menimbang-nimbang. Ini bisa jadi kesempatannya. Tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa mencari dompet di tempat seperti ini bukan hal yang mudah.

Setelah beberapa saat berpikir, ia mengangguk. "Oke. Gue terima tantangan lo."

Roman tersenyum miring. "Bagus. Tapi ingat, kalau dalam sebulan lo gagal…"

Vanessa menelan ludah. "Apa?"

Roman mendekat, berbisik di telinganya. "Lo bakal tetap di sini. Selamanya."

My SugarWhere stories live. Discover now