Bagian 1 | Sudut Tanpa Celah

20 1 0
                                        

DUARR! Suara petir yang bergemuruh di luar jendela terdengar memekakkan telinga. Hujan lebat tak henti-hentinya menghantam permukaan bumi sejak sore tadi. Namun hiruk pikuk yang terjadi di luar kini berbanding terbalik dengan suasana kamar Pina.

Tik... tik... Suara keyboard laptop yang ditekan bercampur aduk dengan kegaduhan luar. Seperti biasa, Pina melanjutkan karangan novelnya untuk yang kesekian kali. Sudah bertumpuk-tumpuk naskah yang Ia buat namun tetap tak ada satupun yang diterima. Hingga Pina berpikir bahwa sepertinya penerbit langganan itu sudah muak dengan cerita halunya.

Shera, teman dekat Pina yang baru saja datang ke rumahnya, kini sibuk memainkan ponsel. Kondisi wajahnya yang terbalut oleh masker menandakan bahwa Ia siap memulai ritual malam minggu mereka.

"Wow, keren!" gumam Pina tiba-tiba.

"Kenapa, Pin?"

"Kamu ingat ketua OSIS SMP kita? Dia pindah ke sekolah kita, loh. Yang sering ikut olimpiade itu, pinter banget orangnya."

Shera menghentikan aktivitas ponselnya. Ia menoleh menatap Pina dengan tatapan yang sulit dimengerti.

"Aku jadi teringat kasusnya yang sempat gempar di sekolah itu," lanjut Pina masih sibuk dengan ponselnya. "Gimana dia diperlakuin jahat sama temen-temennya, sampai mereka diberi surat peringatan dua kali."

Ia pun mendongak menatap Shera. "Bukankah menguntungkan mempunyai teman pintar seperti dia?" ucapnya dengan senyum yang merekah lebar.

Shera tak merespons apapun. Ia hanya diam dengan ekspresi datar dengan tatapan yang sulit dimengerti.

***

TRINGG! TRINGG!

Pina menggeliat di atas ranjang dengan keadaan rambut yang kucel. Wajahnya mendadak cemberut ketika alarm itu kembali mengusik telinganya. Ia pun menggerutu kesal seraya meraih ponsel dengan mata masih terpejam. Namun kedamaian yang dirasakan tak berlangsung lama, alarm keramat itu lagi-lagi kembali mengguncang tidurnya. Ia pun menggumam kecil sembari menarik diri dari ranjang. Berbeda dengan kondisinya yang awut-awutan, Shera yang berada di depan cermin tak jauh dari ranjang kini sibuk dengan catokan rambutnya.

Pantulan bayangan Pina yang tiba-tiba muncul di cermin sontak membuat Shera menoleh cepat. Wajah Pina yang tertutup rambut seutuhnya jelas membuat Ia melotot kaget.

"Njir, gua kira bulu babi," serunya bersungut-sungut.

Shera pun kembali menghadap cermin untuk melanjutkan aktivitas. Sedangkan Pina,

"5 menit lagi, Ra..." gumamnya seraya menenggelamkan diri ke dalam selimut.

***

Pagi hari yang terik. Langkah kaki Pina terasa berat setelah turun dari mobil. Ia terus-terusan menundukkan kepala akibat cahaya matahari yang begitu silau. Terlebih jarak antara lobby dengan gerbang sekolah sama seperti jarak antara langit dengan bumi.

Tampak para murid yang ramai-ramai berdiri di depan papan pengumuman ketika Pina masuk. Dirinya yang begitu malas untuk melangkahkan kakinya ke sana pun hanya melewati kerumunan tersebut. Namun tak disangka, ketika Pina hendak belok menuju koridor, tiba-tiba kerahnya ditarik kencang dari belakang yang jelas membuat Pina terjengkang.

"Mau kemana lo?! Lihat list kelasnya dulu, monyet!"

"A-aaww, sakit!" seru Pina seraya berusaha melepaskan tarikan itu. Melihat siapa kelakuan hal iseng barusan, Pina pun urung memarahinya.

Lelaki culun dengan fit kaca mata bulatnya yang mencolok, Ipul. Ia merupakan sahabatnya sejak duduk dibangku SMP—selain Shera.

"Tak kusangka... bisa-bisanya kepala sekolah itu memisahkan kami di kelas yang berbeda?!!" seru Shera dengan penuh drama.

Kasih Tak Bersua [on going]Where stories live. Discover now