Part 11 - Florence

15.5K 913 32
                                    

Mungkin bagi sebagian orang, apa yang aku lakukan ini termasuk perbuatan pengecut yang biasa dilakukan oleh para pecundang. Yah, bisa juga di anggap seperti itu, dan aku sama sekali tidak keberatan.

Setelah hari dimana aku menemui Haley, aku benar-benar melaksanakan apa yang aku ucapkan padanya: meninggalkan semua yang kupunya dan pergi. Aku membalikkan semua sahamku di perusahaan menjadi miliknya beserta semua asetku yang ku beli selama aku bekerja di perusahaan Pop. Entah apa yang akan dia lakukan dengan semua asset yang sudah ku berikan padanya, aku sudah tidak peduli. Yang jelas, setelah aku pergi menghindar dari segala drama keluarga memuakkan itu, aku bisa menghela napas sedikit lega.

Lagipula, apa yang harus aku pikirkan dengan orang-orang di daratan Seattle? Aku yakin Haley dan Jessica bisa menjaga Pop dengan baik, orang tuaku –aku yakin- mereka baik-baik saja saat tahu aku menghilang, dan Kenneth, aku sudah melayangkan gugatan cerai padanya. Entah bagaimana proses selanjutnya, aku sendiri tidak tahu. Aku sudah menyerahkan semua urusanku pada pengacaraku dan aku benar-benar tidak mau tahu kelanjutannya. Aku memutus semua komunikasiku dengan orang-orang yang ada di sekitarku. Mengganti nomor handphone-ku, menonaktifkan semua akun sosialku dan memindahkan semua tabunganku pada akun yang tidak akan bisa dilacak keluargaku.

"Mommy!" aku tersenyum saat seorang anak lelaki berumur empat tahun berlari menghampiriku dengan senyumnya yang sumringah, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang berlumuran lumpur.

"I win!" gelaknya, merujuk pada permainan lempar lumpurnya dengan Drew.

"You cheated, dude!" ujar Drew tidak terima.

"No, Dad! I didn't!" ucap Joey sembari berkacak pinggang.

Aku tersenyum melihat interaksi Joey dan Drew, dua orang yang aku miliki sekarang, saat aku memutuskan untuk tinggal di Italy dan memulai hidup baru.

Joey, anakku yang sangat mirip dengan ayahnya. Matanya yang berwana hijau, walau dia sedikit lebih gelap, kekehannya, cara merajuknya dan cara ia menghiburku, semuanya persis sama dengan ayahnya.

"Stop! Yang Mom inginkan sekarang, kalian mandi dan segera makan malam!"

"Okay, captain!" ucap keduanya sembari memasang pose hormat yang membuatku terkikik geli.

Aku berjalan menuju meja makan dan menyiapkan makan malam untuk keduanya. Dan entah kenapa setiap kali aku melakukan hal ini, membuatku kembali merindukannya. Tapi sayangnya aku tidak bisa mengambilnya kembali.

Dia bukan lagi milikku.

Aku menghela napas panjang dan mengambil satu karton jus mangga dan tiga buah gelas. Joey dan Drew tidak akan berhenti menatapku saat aku lupa memberikan mereka jus buah kesukaannya.

"Hey, apa yang kau pikirkan?" Drew mengecup pipiku dan duduk di bangku sembari menatapku penuh minat.

Aku hanya tersenyum tipis, "Mana Joey?"

"Oh, dia sedang berdandan. Kau tahu, aku rasa dia akan menjadi seorang playboy!" keluh Drew yang mengundang tawa geliku. Aku tahu pasti apa yang anakku lakukan sekarang, bercermin dan memuji dirinya sendiri betapa tampannya ia.

"Joey, I know you're good looking, but please stop praising yourself! You're four years kid, God!" aku tertawa geli saat Drew memprotes Joey yang sedang bercermin di lemari kaca, saat ia akan berjalan menuju meja makan.

"Thanks dad, I know already." Ucap Joey santai. "I love you Mom." Ia mengecup pipi ku dan mulai berkonsentrasi dengan makanannya.

"I love you too, sweetheart."

"Joey..." protes Drew sembari menyodorkan pipinya.

Joey mendengus kesal, lalu melipat tangannya di depan dada. "I'm a man now, Dad. And a 'man' doesn't kiss another man, unless he is a gay. And I'm totally straight, so I'm sorry."

001. Passing ByWo Geschichten leben. Entdecke jetzt