01- Prolog

320 14 2
                                        




Angin malam yang begitu dingin dihiraukan oleh gadis yang tengah berjalan di sebuah gang bersama seorang gadis lain. Langkah keduanya terlihat cepat tapi senyap, seolah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Gang yang mereka lewati gelap dan sempit, mungkin bagi orang yang tak sengaja melihat, akan mengira mereka adalah makhluk halus.

Di ujung gang sudah terdapat sebuah mobil sedan berwarna hitam, yang langsung saja dimasuki oleh keduanya. "Sialan, lama banget datengnya" Ucap gadis bermata bulat, Adhyna Lulu.

Di kursi kemudi, seorang gadis berdarah campuran Indonesia-Tionghoa, berkulit putih lengkap dengan mata sipitnya menoleh ke arah dua orang di kursi belakang mobil, Arthena Jessica Abigail. "Eh, kalian berdua tau sendiri mobil ini suka 'rewel' kan?" Cibir Thena dengan mata yang memutar malas.

"Ayo berangkat, capek banget klien kali ini ga jelas" Sela gadis berambut coklat tua, Anolla Dinandra.

"Aku nanti mau langsung mandi, bau darah semua badanku" tambah Lulu yang melepas jaket biru dongker yang sudah berlumuran darah, menyisakan kaos polos berwarna hitam dan celana pendek yang menutupi setengah pahanya. Mendengar itu Thena segera tancap gas menuju basecamp, ahh... lebih terasa seperti "rumah" mereka.





Seorang wanita muda yang identik dengan rambut coklat muda dan kain batik yang kerap ia pakai sebagai bawahan, duduk di kursi kayu yang berada di ruang tamunya, Fransisca Widyarama. Rumahnya yang bergaya Jawa tradisional itu terlihat nyaman dengan sirkulasi udara yang baik, membuat suhu di dalam rumah selalu ideal.

Tak hanya duduk santai, Sisca terlihat sedang menghitung lembaran lembaran uang yang baru saja ia keluarkan dari sebuah amplop coklat. Terlihat nominal uang yang dihitung tidak sedikit, satu persatu lembaran itu ia tata dan ia hitung dengan baik, tanpa terkecuali.

Ditengah kegiatan menghitung uang, telinganya terganggu oleh suara berisik dari luar rumahnya. Sisca membereskan uang yang berserakan, mengganjalnya dengan sebuah vas bunga agar tidak beterbangan, ia berjalan ke pintu utama dan membukanya. Dirinya mendapati Anolla dan Dhyna malah mengusili Thena dengan menginjakkan sepatu mereka pada sepatu putih Thena.

Brak!! Sisca memukul pelan kusen pintu, berharap ketiga gadis itu menyadari kehadirannya. Usaha dari Sisca membuahkan hasil, ketiga gadis itu langsung berhenti, menunduk dengan takut.

"Kalian tau ini sudah malem kan?" Sisca menatap ketiga gadis di depannya, "Bisa bisanya kalian malah berisik sekali. Tau sopan santun tidak?" Ketiga gadis di depannya masih menunduk takut, jangankan untuk bicara, untuk membuka mulut saja mereka tak berani.

"Ruang rapat" Sisca memimiringkan badannya, memberi mereka jalan untuk mereka masuk.

Anolla masuk lebih dahulu di ikuti kedua gadis lainnya. Tanpa penjelasan lebih, mereka paham kalau sang ibunda ingin mereka menunggu di ruang rapat.





Ruangan bertembok putih tulang, dengan berbagai kertas tertempel di setiap tembok yang ada, tepat di tengah ruangan ada sebuah meja besar dengan dokumen, alat tulis dan kertas-kertas yang berserakan di atasnya.

Ketiga gadis itu duduk di sofa panjang yang berada di salah satu sudut ruangan. Anolla meregangkan tangannya, merangkul Thena yang duduk di tengah.

"Stop Anolla, tangan kamu bau darah" tolak Thena yang melepaskan rangkulan Anolla di lehernya. "Apasih alay, tiap hari juga nyium bau darah" Anolla lagi lagi mengantungkan tangannya ke leher Thena.

Kriet... Suara pintu terbuka, Sisca muncul dengan sebatang rokok diantara bibirnya, tangannya sibuk membagi uang uang berwarna merah. Sisca berjalan mendekati sofa, memberi Thena, Anolla dan Lulu lembaran lembaran uang sesuai jatah mereka.

Sisca mundur beberapa langkah, bersandar pada meja di belakangnya. "Evaluasi hari ini, Thena seharusnya kamu mempersiapkan mobil lebih awal sayang.... Eksekusi malam ini jadi sedikit terlambat karena kesalahanmu" Sisca menatap tajam pada Thena. Sisca menjentikkan jarinya, sebuah kertas foto terbang dari laci meja, mendekat ke arahnya sebelum diambil begitu saja oleh Sisca.

"Anolla Dinandra.... kembali berulah?? Bisa bisanya kau mengunakan sihir hanya untuk berbelanja di minimarket? Apa yang kamu pikirkan saat itu?" Ujar Sisca yang menunjukkan sebuah foto dimana beberapa snack berterbangan di sekitar Anolla tanpa ia sentuh sama sekali. Melihat foto itu mata Anolla terbelak, saat itu ia bahkan tak sadar jika ada yang memotret dirinya.

Sisca menghela nafasnya, foto di tangannya ia remas dan ia lemparkan ke udara, dengan ajaib foto itu terbakar tanpa tersisa. "Kalian itu terpilih, saya beri kalian kemampuan menjadi penyihir bukan berarti bisa kalian gunakan sembarangan.... bisa dimengerti?" Tegas Sisca pada ketiga gadis di hadapannya.

Mereka hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sisca mendekati mereka, mencium kening mereka satu persatu sebelum pergi keluar dari ruang rapat, "Jangan tidur terlalu larut" ucapnya sebelum menutup kembali ruang rapat.

Suasanya yang sebelumnya hening menjadi sedikit rusuh karna Lulu yang memukuli lengan Anolla. "BODOH!! KOK BISA KAMU PAKE SIHIR DI SEMBARANG TEMPAT SIH?!!" Pekik Lulu pada Anolla yang berusaha menghentikan pukulan dari Lulu.

"A-aduhh!! Ampun sakit Lulu!!"

"Anolla BODOH!! Gimana kalo tuan besar tau!!" Ucap Lulu yang masih setia memukuli lengan Anolla.

Tak kuasa mendengar pertengkaran Lulu dan Anolla, mau tak mau Thena yang berada ditengah mereka mendorong mereka berdua dari sofa. "Hei bocah bocah, mending kalian mandi, udah bau badan, bau darah lagi"

"Thena bangsatt!!" Tak terima di dorong begitu saja, Anolla dan Lulu bangkit hanya untuk mendorong Thema dari sofa, kemudian tertawa bersama.





Lulu baru saja keluar kamar mandi, ia berjalan ke arah dapur yang berada di samping kamar mandi, ia hendak mengambil segelas air putih. Ternyata, disana ada Thena sedang fokus membaca buku di meja makan dengan penerangan lilin kecil di sampingnya.

"Lampu dapur rusak lagi?" Tanya Lulu yang masih mengeringkan rambutnya dengan handuk.

Mendengar suara Lulu, ia mendongakan kepalanya, ternyata Lulu sudah duduk didepannya. "Ngga, aku cuma lagi suka pakai lilin aja" Thena tersenyum simpul kepada Lulu, kemudian kembali fokus pada buku yang ia baca.

Lulu mengangkat tangannya, ia mengarahkan ke rak peralatan makan, ia mengambil sebuah gelas tanpa menyentuhnya. Ia menuangkan air dari sebuah teko sebelum meminumnya. Ia sedikit melirik ke arah buku yang dibaca Jessi.

"Teknik duel sihir jarak dekat? Remidi lagi?"

Thena tertawa kecil sebelum menangguk setuju "Iya, aku kayaknya emang ga jago buat duel deh, remidi mulu" tambahnya. "Tapi kamu jago ngeracik ramuan, tanpa racikan dari kamu, mungkin aku sama Anolla udah mati dari dulu" jawab Lulu sambil terkekeh pelan.

"Semenjak aku disuruh bunda buat bantu ngeracik ramuan buat kalian, aku.... jadi jatuh cinta sama dunia racik meracik" Sambung Thena yang kini sudah tidak bisa fokus pada buku yang ia baca.

Lampu dapur yang semula mati tiba tiba menyala, Thena dan Lulu menoleh ke arah saklar lampu. Terlihat Anolla yang memegang sekotak susu di tangannya.  "Dih' ngga ngajak?" Ucap Anolla pada kedua sahabatnya.

Lulu menarik kursi di sebelahnya, memberi isyarat pada Anolla untuk duduk disebelahnya. "Gak jadi deh, ngantuk"

"Dihh, gak jelas kamu" Cibir Thena dan Lulu yang mengacungkan jari tengah mereka pada Anolla.

☆☆☆

Singkat saja, saya comeback bukan berarti rajin upload

Jujur aku salut banget sama kalian yang mau nungguin hiatusku hehehe, kek kalian ngapain nungguin aku? Ga penting banget jujur😃😃

Tapi gapapaa, makasih ya teman teman😄😄

-Floo🦁

Who's The TargetDonde viven las historias. Descúbrelo ahora