#14 Sate Cinta-eh, Sate Ayam

Start from the beginning
                                    

Kusudahi saja drama murahan ini karena laper banget! Kunaikkan rambutku lalu menguncirnya. Aku lalu menepuk bahu bang Jack palsu. Dia membuka matanya, menyalakan lampu di grobaknya—membuat suasana langsung terang benderang—dan aku langsung menyemprotnya. "Siapa yang setan sih? Gue cantik begini juga."

Aduh, apa tidak papa bergue-elo sama bang Jack palsu ini? Tapi dia masih muda banget. Paling beda umur kita dua atau tiga tahun doang. Dan dia... Ganteng banget! Alisnya tebel. Matanya bagus. Bibirnya merah banget minta dicium. Sebenernya dia siapasih?

Dia melihatku dari atas sampai bawah lalu balik lagi ke atas. Duh kenapa jadi salting gini. Aku kan biasa diliatin kayak gitu sama cowok-cowok. "Berapa tusuk?"

Aku langsung gelagapan. "Sepuluh." Dia mengangguk lalu menyiapkan satenya. Kalo sepuluh pasti cepet jadinya. Nggak bisa ngobrol deh. "Eh dua puluh deh."

"Sepuluh atau dua puluh?" Katanya sabar, lalu tersenyum. Buset, manis banget.

"Du... Dua puluh!" Kataku lalu menyerahkan piringku padanya yang langsung diterimanya sambil mengangguk.

Apa yang harus aku katakan untuk memulai pembicaraan? Nama. Ya. Aku harus tau namanya. Masa aku memanggilnya bang Jack palsu melulu?

"Ini gerobaknya bang Jack bukan sih?" Dia menoleh sebentar, mengangguk lalu kembali mengipasi sateku. "Terus lo siapa? Lo ngebajak gerobaknya bang Jack ya?"

"Nggak lah." Dia terkekeh masih sambil mengipasi sateku. "Bokap gue lagi sakit. Terus gue gantiin deh. Tapi tenang aja, sama enaknya kok."

"Apanya yang enak?" Bodoh! Ambigu sekali.

"Satenya dong."

Aku mengangguk-angguk. Untuk dia tidak berpikiran macam-macam. "Kok lama banget ke sininya?"

"Iya. Tadi di komplek sebelah rame."

"Ramelah." Kok aku malah bete? "Pasti rame gara-gara tukang satenya ganteng."

"Hm?"

Mampus kelepasan!

"Kenalan dong." Aku ini kenapa? Memalukan sekali. Harusnya nggak boleh begini. Akukan Citra. Cewek paling cantik di sekolah! Bodo amatlah. Toh teman-teman sekolahku nggak ada yang tau. "Gue Citra."

"Bimo." Dia berkata singkat.

"Masih kuliah atau gimana?"

"Kuliah. Kebetulan lagi libur jadi bisa gantiin bokap yang lagi sakit." Aku manggut-manggut. "Kalo lo? SMA ya?"

Aku langsung kegirangan. "Iya. Kok tau?"

"Keliatan." Aku mengerutkan kening. Keliatan? Keliatan apanya? "Keliatan banget masih polos." Oh. Tanpa bisa kucegah wajahku langsung memerah.

"Sorry tadi gue sengaja jadi setan-setanan." Aku tertawa mengingat ekspresi takutnya. "Abis lo datengnya lama banget. Gue laper."

"Sorry juga gue ngira lo setan." Dia juga tertawa. "Abis tengah malem ginikan. Ngeri juga masih ada yang beli sate."

Aku harus bilang apalagi nih? Masa dia sama sekali nggak tertarik sih? Nanyain nomer handphone kek. Nawarin delivery kek.

"Pedes apa enggak?"

"Terserah lo aja deh."

"Kok terserah gue? Gue tuang semua sambelnya mau?"

"Kalo lo tega."

Dia tertawa. "Yaudah sedeng aja deh ya." Aku hanya mengangguk. "Pake lontong berapa? Terserah gue lagi?"

"Iya." Aduh, kenapa aku jadi bete gini gara-gara seteku udah jadi. Berarti dia mau pergi. Besok pasti udah bang Jack deh yang jualan lagi.

"Nih udah jadi. Sate spesial buat Citra." Rasanya aneh mendengarnya menyebut namaku. Tapi aku suka! Aku menerima piring yang disodorkan oleh Bimo dengan senyum dipaksakan, lalu aku mengeluarkan uang lima puluh ribuan.

"Nggak usah. Gratis buat lo." Aku mengerjapkan mataku. Serius? "Itung-itung pelanggan tercantik. Hahahaha."

Sialan. Aku jadi deg-degan. "Beneran nih?"

"Iya." Dia mengangguk yakin.

"Oke." Haduh apa aku tanya aja ya nomor handphonenya? Tapi... Malu. "Makasih ya."

"Sipdeh. Selamat makan." Dia tidak kunjung mendorong gerobaknya. Aku menunggunya sambil menimbang-nimbang, harusnya aku yang bertanya nomer handphonenya? "Boleh tau nomer handphone lo nggak?"

Aku melongo. Serius dia meminta nomer hanphoneku? Serius? Aaaaaaaaa. Dengan semangat aku langsung membacakannya. Dia langsung menyimpannya di handphonenya lalu memissed callku agar aku tau nomor handphonenya. Ah senangnya.

"Oke, Citra. See you." Dia lalu mendorong gerobaknya. Aku mengikutinya dengan mataku sampai dia dan gerobaknya menghilang di balik belokan.

Oke, Bimo. See you too.

Aku lalu menggigit satu tusuk sate buatannya. Ah benar. Rasanya enak sekali. Iya. Memang cuman sate ayam. Tapi ini berbeda. Soalnya ini... Sate ayam rasa cinta.

┗(^0^)┓THE END┏(^0^)┛

Behind Every LaughWhere stories live. Discover now