Mikayla menatap pantulan dirinya di cermin kamarnya. Jika bisa, ingin dia tertawa keras untuk mengutuk keadaannya. Apa yang lebih merana dari perasaan yang saat ini sedang menyiksanya? Mikayla rasa tidak ada. Entah patah hati seperti apa yang biasanya didefinisikan orang-orang di luar sana, namun yang dia rasakan kini adalah yang terburuk menurutnya. Setiap napas rasanya tidak lengkap jika tidak dibarengi dengan air mata yang membanjiri pipinya. Hanya dalam hitungan detik, dia akan berujung menangkup wajahnya dan menangis sepuasnya.
Guna memberi energi untuk dirinya, Mikayla habiskan satu cangkir kopi dengan kadar pahit yang lebih dari biasanya. Setelah itu, Mikayla panggang tiga roti untuk dia makan tanpa selai. Setidaknya, hidup membutuhkan tenaga untuk terus bergerak dan menghadapi hari-hari yang pahit.
Pagi-pagi sekali Mikayla dikabari oleh Mama Nakala bahwa Nakala sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan menjalani perawatan dari rumah. Ketika Mikayla tanya bagaimana perkembagan kekasihnya itu, Mama Nakala menjawab Nakala masih belum mau bicara dan selalu memilih untuk tidur saja.
Sebelum berangkat ke kampus, Mikayla memutuskan untuk menemui Mama Nakala ke rumahnya untuk memberinya dukungan. Mau bagaimanapun, Mama tetaplah Mamanya Mikayla. Rasanya tidak pantas jika Mikayla membiarkan Mama sendirian saja mengurus Nakala selama satu minggu penuh sebelumnya.
Dengan langkah yang gontai, Mikayla jinjing tas kuliahnya dan tas satunya lagi yang berisi buah-buahan untuk dibuat jus sesampainya di rumah Nakala nanti.
Walaupun baru satu minggu tidak mengunjungi Nakala di rumah sakit, namun ada kerinduan tersendiri di hati Mikayla. Sungguh, Mikayla benci untuk mengakui itu.
***
Mikayla parkirkan mobilnya di halaman rumah besar Nakala.
Seperti yang biasa dia lakukan, dia akan menemui Mama dan Papa untuk dia sapa sebelum akhirnya menuju ke kamar kekasihnya. Pagi itu, Mikayla cari keberadaan Papa di halaman belakang. Biasanya Papa akan bersantai dengan bacaannya sambil menikmati kopi pagi sebelum akhirnya bersiap untuk berangkat kerja. Namun, pagi itu Papa sedang fokus ke layar laptopnya yang menunjukkan informasi mengenai proses penyembuhan operasi tulang rusuk Nakala yang baru saja dilakukan minggu lalu.
"Kayla," sapa Papa.
Mikayla tersenyum. "Aku parkir di belakang mobil Papa."
Papa mengangguk. "Sudah ketemu Mama?"
"Belum. Mama lagi di kamar Nana."
"Kenapa Kayla gak masuk aja?"
Mikayla menggelengkan kepalanya. "Tunggu Mama keluar aja. Ditinggal dulu ya, Pa."
Dia telusuri dapur untuk menunrunkan buah-buahan yang baru saja dia beli di hari sebelumnya. Sudah dua tahun lebih Mikayla bersahabat dengan dapur di rumah Nakala. Mikayla menemukan kesenangan dan ketenangan setiap kali dia harus bertarung demi sebuah hidangan yang sudah dia rencanakan bersama dengan Mama Nakala. Terkadang Nakala juga turut bergabung untuk membantu sebisanya.
"Kayla?"
"Mama," sapa Mikayla.
"Mau ketemu Nana?"
"Nanti aja. Nana udah bisa sarapan apa selama ini? Aku bawa buah nih."
"Jus dan bubur. Kayla mau buatin jusnya? Biar Mama siapin bubur dulu."
Mikayla mengangguk lalu mengambil blender di rak bawah.
"Nana gak banyak bicara, La. Dadanya suka sakit. Maaf ya kalo Nana masih banyak diamnya."
"Iya, Mama. Aku ngerti," jawab Mikayla menenangkan Mama.
