Aku dan Kamu 9B

202 4 0
                                    

Perasaanku mulai tidak enak.
“Kau yakin karena itu? Bukan karena kau
tertarik pada Jeong Hoon-ssi?” Tanyanya
dengan mimik wajah menyebalkan.
APA-APAAN ORANG INI?! Batinku berteriak
heboh. Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan
rasa terkejut diwajahku. Kalau saat ini kursi
yang aku duduki tidak memiliki sandaran,
mungkin saja aku sudah jatuh terjungkal
dengan posisi yang sangat tidak elit.
“Mwoo?! Bagaimana bisa kau berpikiran
seperti itu? Apa kau yakin otak bodohmu itu
tidak tertinggal disuatu tempat atau tertiup
angin saat kau berada diperjalanan menuju
kemari?!” Umpatku dengan kesal. Kalau
tatapan bisa membunuh, mungkin saat ini
Yesung sudah tergeletak tidak berdaya
dilantai karena tatapanku. Dan sialnya,
bukannya merasa takut atau setidaknya
terintimidasi, Yesung dengan cueknya hanya
mengedikan bahu sambil kembali menatap
kedepan.
“Aku ‘kan hanya penasaran. Melihat
bagaimana kau selalu terlihat kesal dan
terganggu jika ada gadis yang mendekatimu,
dan setahuku kau hanya dekat dengan Dara.
Ya walau tidak bisa dibilang dekat dalam arti
positif juga sih, mengingat bagaimana Dara
juga tidak ada bedanya dengan siswi-siswi
lainnya yang menggilaimu, hanya saja dia
sepertinya lebih…beruntung, kau tahu.”
Jawabnya kalem.
Ish, dasar bodoh. Untuk apa pula ia menyebut-
nyebut nama gadis menyebalkan itu?
Memangnya siapa juga yang dekat dengannya.
Kalau saja Appa bukan rekan bisnis Ayahnya,
mungkin aku sudah menculik gadis itu lalu aku
ikat dan aku hanyutkan di laut. Tapi…
sudahlah. Biarkan saja orang ini berasumsi
macam-macam, aku sedang tidak mood untuk
meladeninya.  Lebih baik sekarang aku segera
menemui Agnes karena kalau tidak salah,
didalam pesan yang Jeong Hoon kirimkan
padaku itu juga  mengatakan bahwa Agnes
akan menungguku di halaman belakang
sekolah setelah mereka semua selesai
melakukan kegiatan mari-beri-ucapan-selamat
pada Agnes. Dan yang aku lihat dari ekor
mataku, Agnes sudah tidak ada diantara
kerumunan siswa-siswi kelas kami yang tadi
memberinya ucapan selamat.
‘Lebih baik aku pergi sekarang sebelum lima
orang bodoh lainnya datang bergabung
denganku dan Yesung.’ Pikirku. Menghadapi
Yesung saja sudah membuatku kesal setengah
mati, apalagi kalau ditambah dengan Kangin
dan yang lainnya.
“Terserah kau saja mau beranggapan apa.
Tapi yang jelas aku ini masih normal. Dan
kalaupun aku tidak, aku akan lebih memilih
memacari Sungmin ketimbang Jeong Hoon.”
Balasku asal sambil berdiri. Ah masa bodoh,
yang penting sekarang aku bisa pergi. Saat
Yesung hanya diam menanggapi jawabanku
tadi, aku langsung menggunakan kesempatan
itu untuk segera pergi menemui Agnes.
“Sungguh suatu keajaiban aku tidak gila
karena berteman dengannya selama belasan
tahun” gerutuku saat sudah berada didepan
pintu. Aku masih saja menggerutu tidak jelas
selama perjalanan menuju halaman belakang.
Dan gerutuanku itu baru terhenti saat aku
melihat bidadariku sedang berdiri dibawah
pohon maple tua. Kalau saja ini semua terjadi
seperti di film-film, mungkin sekarang suasana
disekitar kami bergerak dengan efek slow
motion dengan latar belakang indahnya musim
semi.
Ah bagaimana mungkin aku tidak
menggambarkan keadaan saat ini dengan
berlebihan seperti itu, kalau yang aku lihat
adalah hal yang sangat mengagumkan? Agnes
memang bukan gadis paling cantik di dunia ini
tapi, bagiku dia tetap yang terbaik dan
tercantik setelah Eommaku. Di duniaku hanya
ada dua perempuan yang paling cantik dan
paling berharga, yaitu Agnes dan mendiang
Eommaku.
Aku tidak pernah tahu malaikat itu seperti apa
tapi, seandainya aku diberikan kesempatan
untuk melihat sosoknya, aku yakin seperti
inilah sosoknya. Seperti Agnesku.
“Hei….” sapaan lembut bak semilir angin di
musim semilah yang menyadarkanku dari
imajinasi berlebihan tadi. Ah, betapa aku
mencintai pemilik suara itu, kataku dalam hati.
Dengan senyum manis yang terukir sempurna
di wajah, aku mulai melangkah mendekat.
“Hei….” balasku sembari meraih tangan
kanannya dengan tangan kiriku, sementara
tangan kananku sudah dengan nyaman
melingkar di pinggang rampingnya.
Menariknya untuk merapat. Satu ciuman
lembut di dahi segera kuberikan tak lama
setelahnya. Kami berada dalam posisi seperti
ini selama beberapa menit, hingga akhirnya
tangan kirinya yang semula beristirahat diatas
perutku mulai merambat naik hingga akhirnya
berdiam diri dibelakang leherku. Posisi bibirku
telah digantikan oleh keningku sendiri yang
kini tengah menempel dengan keningnya,
sementara kedua bola mataku terfokus pada
wajah malaikat gadis dipelukanku ini. Tangan
kanannya yang semula kugenggam mulai
kuarahkan ketempat dimana tangan kirinya
berada.
Seandainya bisa, ingin sekali rasanya aku
menghentikan waktu, sehingga aku tak perlu
menyampaikan kenyataan yang menyakitkan
padanya di menit berikutnya. Seandainya aku
bisa membawanya lari dari kenyataan.
Seandainya….
Tapi kenyataan tak selalu semanis kembang
gula. Takdir tak selalu memilih jalan yang
sama dengan keinginanmu.
“Kau mengagumkan sekali tadi” gumamku,
memecah keheningan yang kami ciptakan
berdua. Sebagai balasan, aku mendengarnya
tertawa kecil, tawa yang selalu aku sukai,
sebelum sedikit menjauhkan wajahnya dan
sedikit mendongak untuk menatapku, sehingga
sekarang aku bisa menatap wajahnya dengan
sempurna.
“Apa sekarang kau sedang menggodaku?”
Tanyanya dengan wajah yang dibuat
cemberut, walaupun begitu aku tetap bisa
melihat senyum diujung bibirnya.
Mendengarnya bertanya seperti itu
membuatku tak bisa untuk tidak nyengir. Ah
dia memang mengenalku. Walau sebenarnya
yang aku katakan tadi tidak bisa dibilang
sepenuhnya hanya gombalan, karena
kenyataannya dia memang tampil memukau
saat pertunjukan tadi.
“Rayuan atau bukan, apa yang aku katakan
tentangmu adalah kenyataan. Selalu seperti
itu” balasku disertai dengan senyuman genit
seperti yang biasa aku tunjukan jika sedang
menggodanya. Tawa kecilnya kembali setelah
mendengar kata-kataku tadi, namun kali ini
diiringi dengan semburat merah di pipi
putihnya. Aaah menggemaskan sekali!!
Batinku heboh. Tapi, sayangnya semua itu tak
berlangsung lama karena tiba-tiba saja
keceriaan yang sesaat lalu terpancar di
wajahnya, kini tergantikan dengan raut
bingung bercampur kecewa. Dengan suara lirih
bahkan nyaris menyerupai bisikkan, ia berkata,
“Tapi kenapa hari ini Ayah, Ibu dan Kak Steve
tidak datang? Padahal mereka berjanji untuk
langsung menuju kesini begitu mereka sampai
di bandara. Tapi…kenyataannya tidak ada
satupun diantara mereka yang menepati janji”
Deg!
Jantungku rasanya langsung jatuh ke tanah
begitu aku mendengarnya berkata seperti itu.
Pembahasan yang sejak tadi aku hindari, pada
akhirnya tetap saja muncul ke permukaan.
Seandainya Hye Sun Noona tidak memutuskan
untuk memberitahu Agnes, mungkin sekarang
aku sudah mengubur diri agar aku tidak perlu
menjawab pertanyaannya.
Aku tersenyum tipis, sebisa mungkin
membuatnya terlihat normal, sebelum
mengecup keningnya sekali lagi.
“Kau nanti akan tahu. Sekarang lebih baik kita
segera berangkat ke suatu tempat yang
dimana Hye Sun Noona dan yang lainnya
sudah menunggu.” Kataku menjelaskan.
Ia hanya menatap bingung kepadaku selama
beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk.
Dalam hati aku mengucap syukur berkali-kali,
karena setidaknya ia tidak bertanya macam-
macam lagi. Kamipun segera berpisah arah.
Aku menuju mobilku yang ada di parkiran
sekolah sedangkan Agnes menungguku di
tikungan jalan yang berjarak lumayan jauh dari
gerbang sekolah. Karena tentu saja kami tidak
ingin ada yang tahu kalau kami pulang
bersama, ingat, di sekolah ini hanya teman-
teman dekat Agnes yang tahu mengenai
hubungan kami.
.
.
.
Sesampainya di Rumah Sakit, kebingungan
semakin terpancar di wajah Agnesku. Namun
sebelum ia sempat bertanya, aku segera
mengajaknya keluar dan segera menuju ke
tempat di mana Hye Sun Noona dan yang
lainnya berada.
“Siwon, untuk apa kita ke rumah sakit? Siapa
yang sakit?” Agnes bertanya dengan nada
bingung bercampur khawatir. Aku
mengeratkan genggaman tanganku padanya.
“nanti kau juga akan tahu” kataku. Sebisa
mungkin terlihat tenang. Agnes adalah
tanggung jawabku, maka aku harus menjadi
kuat untuknya.
Beruntung Agnes tidak bertanya lagi dan
hanya mengikuti kemana langkahku
menuntunnya, hingga akhirnya kami sampai di
tempat tujuan kami, Ruang ICU, yang dimana
Hye Sun noona dan yang lainnya sudah
menunggu di depan pintu ruangan tersebut.
Eun Hye hanya tersenyum sendu saat melihat
kedatangan kami. Tak jauh beda dengan Jeong
Hoon. Sementara Hyun Joong hanya diam
menatap Agnes dengan tatapan yang tidak
aku ketahui maksudnya. Lalu Hye Sun noona…
dia segera menghampiri Agnes dan
menariknya kedalam sebuah pelukan dengan
berurai air mata.
“Eonni, ada apa ini? Kenapa kau menangis?”
Agnes bertanya seraya melepaskan pelukan
Hye Sun noona perlahan. Kedua matanya
secara bergantian menatap bingung kearahku,
lalu Hyun Joong, Jeong Hoon dan Eun Hye,
hingga akhirnya kembali menatapku lagi. Aku
hanya tersenyum seraya kembali
menggenggam tangannya karena mulutku
tidak kuasa untuk menjelaskan apa yang
terjadi.
“Kau akan tahu setelah masuk kedalam” ujar
Hye Sun Noona, seolah mengerti bahwa
diantara kami berempat tidak ada yang
sanggup memberitahu Agnes. Aku
mengangguk mengiyakan saat tatapan ragu
bercampur bingung kekasihku ini kembali
bertemu pandang denganku.
Masih dengan menggenggam tangannya, aku
menuntun Agnes memasuki ruang ICU
tersebut. Dapat aku rasakan tangannya sedikit
gemetar dalam genggamanku. Namun saat ia
melihat tiga orang yang terbaring disana,
seketika tangan kecilnya terlepas dari
genggamanku. Dengan tubuh yang terlihat
gemetaran, ia menghampiri Jenny Ahjumma.
Ya tuhan… aku tidak sanggup melihatnya,
terlebih saat air mata mulai menetes dari
kedua mata indahnya.
“Mereka bertiga mengalami kecelakaan saat
dalam perjalan pulang dari Bandara menuju ke
sekolahmu dan semuanya tidak bisa
diselamatkan” Hye Sun-noona berkata dengan
suara bergetar. Sesaat setelah berkata
demikian, tangisnya pecah. Eun Hye segera
memeluknya saat tangisannya tak bisa ia
tahan lagi. Sementara Jeong Hoon berusaha
menenangkan keduanya.
Sementara aku dan Hyun Joong hanya diam
terpaku ditempat kami masing-masing. Dari
sudut mataku, aku dapat melihat tangannya
terkepal erat. Aku tahu apa yang ia rasakan.
Agnes adalah gadis yang sama-sama kami
cintai, dan saat ini kami seolah tidak bisa
melakukan apapun untuk membuat segalanya
menjadi lebih baik untuknya.
“Sayang-” aku tak dapat melanjutkan
perkataanku karena detik berikutnya Agnes
sudah berlari meninggalkan ruangan.
“Agnes!!” Ucap Eun Hye dan yang lainnya
bersamaan. Akupun segera berlari keluar
untuk mengejarnya, sebelum Hyun Joong
melakukan hal yang sama.
Agnes sudah berlari cukup jauh saat aku
keluar ruangan dan membuatku sedikit
kesulitan mengejarnya karena banyaknya
orang yang berlalu lalang di koridor rumah
sakit ini.
Ia terus berlari hingga akhirnya berhenti di
depan pintu sebuah gereja yang berada di
rumah sakit ini. Aku dapat melihatnya berjalan
masuk dengan langkah yang terlihat begitu
berat.
Dengan sebisa mungkin tidak menimbulkan
suara, aku mengikutinya masuk kedalam. Ia
terus berjalan perlahan hingga akhirnya
sampai di hadapan tuhan. Melihatnya seperti
ini membuat jantungku bagai dipukul berkali-
kali.
“Tuhan… sejak kecil aku selalu percaya bahwa
setiap orang memiliki kebahagiaannya
masing-masing. Tapi, setelah apa yang terjadi
padaku hari ini, membuatku ragu dengan
kepercayaanku itu. Apa aku memiliki
kebahagiaanku sendiri? Apa aku masih bisa
bahagia setelah kau melakukan ini padaku?”
Agnes berkata dengan gemetaran.
Hatiku mencelos mendengarnya. Mataku ikut
memanas melihatnya. Tanpa sadar air mataku
menetes.
Aku sudah tidak sanggup lagi melihatnya
seperti ini. Dengan cepat aku berjalan
menghampirinya lalu memeluknya dengan erat
dari belakang. Tubuhnya gemetaran dalam
pelukanku. Air matanya terus menetes disertai
isak tangis yang membuatku semakin terpukul.
Berkali-kali kukecup pelipisnya sembari
membisikkan kata-kata menenangkan dengan
harapan bisa membuatnya merasa lebih baik
walaupun aku tahu itu sia-sia saja.
‘Kenapa harus dia tuhan? Kenapa harus
Agnesku?’ Batinku pilu..
.
.
.
Aku menatap rumah kekasihku sesaat sebelum
mengalihkan tatapanku pada gadis yang saat
ini hanya diam menatap kosong kedepan. Aku
menatapnya dengan raut bingung bercampur
khawatir. Aku bingung karena aku tidak tahu
apa yang harus aku katakan, dan aku khawatir
karena ia tidak mau bicara sama sekali.
Bahkan saat pemakaman kedua orang tua dan
kakaknya berlangsung pun, ia hanya diam saja.
Menghela napas panjang untuk menenagkan
pikiranku, akhirnya aku memutuskan untuk
membiarkannya seperti itu untuk saat ini.
Mungkin ia masih butuh waktu untuk
menerima kenyataan. Aku memutuskan untuk
menggendongnya masuk kedalam karena ia
tidak bereaksi sama sekali saat aku
membukakan pintu mobilku untuknya.
Aku berjalan perlahan memasuki rumah yang
sekarang terasa begitu dingin dan sunyi. Tidak
ada lagi sapaan hangat Ahjumma dan Ahjussi
yang biasanya menyambutku tiap kali aku
berkunjung ke rumah ini. Ataupun candaan
Steve Hyung yang selalu menggodaku dan adik
semata wayangnya yang saat ini bahkan
terlihat tak lebih baik dari hari sebelumnya.
Bahkan mungkin lebih buruk.
Rumah ini terasa begitu luas dan sunyi
sekarang. Anak tangga yang saat ini
kupijakpun terasa begitu banyak. Padahal dulu
tidak terasa selama ini saat aku hendak
menemui kekasihku ini di kamarnya. Dan suara
langkahku tidak pernah terdengar senyaring
ini. Mungkin karena dulu yang tinggal di rumah
ini bukan hanya satu orang, batinku
mengingatkan. Apalagi dengan adanya
beberapa pelayan yang dulu masih bekerja
disini. Tidak seperti sekarang.
Aku menghela napas lega saat akhirnya kami
sampai di depan pintu kamar Agnes setelah
menaiki tangga yang -entah kenapa- terasa
begitu lama. Aku segera membuka pintunya
dan melangkah dengan perlahan memasuki
kamar yang didominasi dengan warna putih
dan merah muda lembut ini.
Perlahan aku mendekati ranjang berukuran
queen size yang terletak disudut dekat
jendela. Dengan lembut aku membaringkan
kekasihku ini lalu menarik bed covernya yang
berwarna pink lembut bermotif bunga sakura
untuk menyelimuti tubuhnya hingga bawah
dagunya, lalu kemudian aku berlutut
disamping ranjangnya, membelai rambutnya
dengan lembut dan hati-hati.
“Sayang…kau tidak boleh diam seperti terus
menerus. Aku dan yang lainnya
mengkhawatirkanmu. Aku mengerti kau sangat
merasa kehilangan karena aku juga pernah
merasakannya tapi, bukan berarti kau harus
menyembunyikan kesedihanmu seperti ini. Kau
boleh menangis sebanyak dan sesering yang
kau mau. Terkadang menjadi lemah tidak ada
salahnya,” aku menghela napas sejenak,
“Kau masih punya aku, Hyun Joong, Eun Hye,
Jeong Hoon juga Hye Sun-noona. Kau bisa
mengandalkan kami.”
Ia tetap saja tak bergeming. Masih menatap
kosong tanpa ekspresi. Haah, aku menghela
napas frustasi. yasudahlah, pikirku. Mungkin ia
memang masih membutuhkan waktu untuk
sendiri.
“Baiklah kalau kau memang masih ingin
menenangkan diri, aku mengerti. Nanti aku
akan meminta Hye Sun noona atau Eun Hye
untuk tinggal disini sementara waktu, untuk
menemanimu. Aku tidak akan tenang kalau
kau tinggal seorang diri disini.” Kataku, lalu
berdiri sebelum kemudian merunduk untuk
mengecup keningnya.
“Aku pulang dulu, ne?” Pamitku yang tentu
saja tidak mendapat tanggapan darinya, lalu
kemudian berbalik dan mulai melangkahkan
kakiku menuju pintu.
“Siwon…”
Kakiku langsung berhenti melangkah begitu
mendengarnya memanggilku. Dengan segera
aku menoleh padanya yang hanya berjarak
empat langkah dari tempatku berdiri. Ia tidak
bergerak sama sekali dari posisi berbaringnya
dan masih tidak menatapku melainkan
menatap kosong ujung kakinya yang tertutup
selimut. Dengan sabar aku menunggunya
untuk kembali bersuara.
“Temani aku disini. Aku tidak ingin sendirian
saat ini.”
Dan itu sudah cukup untuk membuatku tetap
tinggal, karena sejujurnya akupun tak ingin
meninggalkannya sendiri dalam kondisi seperti
ini. ‘Kalau sampai terjadi sesuatu padanya,
bisa-bisa aku langsung menyusul Ahjumma
dan Ahjussi ke liang lahat,’ batinku dengan
dramatisnya.
Dengan cepat kulepaskan kedua sepatuku
sebelum merangkak naik keatas tempat tidur
lalu merebahkan diri disisinya dengan posisi
menyamping menghadapnya. Sebelah
tanganku kulingkarkan dibagian tengah
tubuhnya, sementara keningku bersandar pada
sisi kepalanya. Menghirup aroma rambutnya
yang seharum bunga sakura, bunga
kesukaannya. Sesekali kuciumi rambut dan
pelipisnya sembari menggumamkan lagu
pengantar tidur. Lambat laun kedua kelopak
matanya mulai tertutup hingga tak lama
kemudian napasnya mulai terdengar begitu
dalam dan teratur.
Dia sudah tidur, batinku lega sembari
mengulas senyum tipis.
Sebenarnya sejak kemarin ada sesuatu yang
membuatku tidak tenang. Keadaan kekasihku
ini juga membuatku khawatir, tentu saja, tapi
bukan itu masalahnya. Sejak kemarin aku
merasa kecelakaan yang menimpa Orang tua
kekasihku terasa janggal. Hatiku terus
menerus mengatakan bahwa ini semua ada
sangkut pautnya dengan Appa. Tapi… ‘tidak
mungkin apa tega melakukan ini ‘kan?’ Batinku
bertanya.
‘Tapi mungkin saja ia memang ada sangkut
pautnya mengingat Appa tidak menyukai
hubunganku dengan Agnes.’ Sisi lain hatiku
buru-buru menyahut.
‘Ah tidak.. tidak. Appa tidak mungkin
melakukannya. Ia tidak akan sejahat itu. Appa
tidak mungkin…sejahat…itu… iya ‘kan?’
Batinku, kembali menyangkal pemikiran buruk
itu. Namun semakin lama aku menolak
pemikiran itu, justru semakin besar keraguan
yang aku rasakan.
Ah, sudahlah… mungkin aku hanya kelelahan
sehingga memikirkan hal yang tidak-tidak
seperti itu, pikirku.
Setelah berhasil mengusir pemikiran-
pemikiran jelek itu, kantuk mulai
menyerangku. Hingga perlahan aku pun mulai
jatuh ke alam mimpi.
.
.
.
.
Sebulan sudah berlalu, dan sepertinya
suasana hati kekasihku sekarang sudah lebih
baik dari sebelumnya. Ia sudah mulai kembali
tersenyum dan bicara banyak meskipun aura
kelabu masih sesekali menguar dari dirinya.
Tak apalah, pikirku, yang penting sekarang ia
tidak lagi “bisu dan mendung” seperti tempo
hari. Lagipula, hari ini ulang tahun henry. Aku
dan yang lainnya sepakat untuk merayakannya
dirumahku karena -untungnya- hari ini sampai
seminggu kedepan Appaku sedang ada urusan
bisnis keluar negeri. Benar-benar kebetulan
yang menyenangkan. Kenapa? Karena tentu
saja Agnesku tidak akan mau datang kalau ada
Appaku disini, ‘seperti Appamu mau
mengijinkan saja,’ itu yang ia katakan padaku
saat aku memberitahunya soal rencana
perayaan ulang tahun Henry dirumahku dan
dengan -kemungkinan- adanya Appaku di hari
itu. Tapi untungnya aku sedang beruntung.
Sebenarnya sih, kejutan kecil-kecilan untuk
Henry ini sengaja aku rencanakan bukan hanya
untuk menyenangkan keponakanku, yang
tinggal berjauhan dengan kedua orang tuanya
yang tinggal di Jepang yang seringkali lebih
ingat akan pekerjaan ketimbang kedua
anaknya (Zhoumi dan Henry), tetapi juga
bentuk usahaku untuk membantu Agnes
melupakan kejadian pilu yang menimpanya
sebulan lalu. Dan aku yakin hari ini ia tidak
akan menampakan wajah sendunya lagi,
karena bagaimanapun Agnes pasti tidak ingin
menampilkan wajah sedihnya di hari istimewa
bocah kesayangannya itu.
Dan disinilah kami; Aku, Agnes, Hyun Joong,
Jeong Hoon, dan Eun Hye, di ruang baca
pribadiku, menunggu kedatangan Henry yang
saat ini sedang dijemput oleh Zhoumi ke
rumah mereka.
Ruang baca pribadiku yang biasanya -
menurutku- membosankan, kini telah sedikit
dipercantik dengan balon berwarna warni -
terimakasih pada Agnes dan Eun Hye- yang
ditempel ditiap sudut ruangan dan di langit-
langit bagian tengah ruang bacaku ini, yang
dibawahnya, dilantai maksudku, terdapat meja
persegi dengan kue ulang tahun dan kado
untuk Henry yang sudah kami taruh disana.
Sederhana memang, tapi, Henry bukanlah
anak kecil yang selalu ingin ulang tahunnya
dirayakan secara besar-besaran -tentu saja
bukan karena orang tuanya tidak mampu,
tetapi karena ia memang lebih suka suasana
kekeluargaan yang hangat; yang penuh kasih
sayang dan perhatian.
Aku ingat saat tahun lalu ia menangis
semalaman karena ulang tahunnya di rayakan
disebuah hotel mewah yang sudah dibuat oleh
orang tuanya -tepatnya orang tuanya yang
merencanakan dan memerintahkan itu tapi
bawahan kepercayaan merekalah yang
melaksanakannya- tetapi orang tuanya tidak
bisa hadir dan hanya memberinya kado yang,
lagi-lagi, tidak mereka berikan langsung
melainkan mereka titipkan pada salah satu
orang kepercayaan mereka.
Miris sekali. Anak itu hanya butuh perhatian
dari orang tuanya, batinku.
‘Meski sebenarnya keadaanku jauh lebih
memprihatinkan dari bocah itu’, aku
mendengus sinis dalam hati.
“Sebaiknya kita matikan lampunya sekarang”
perkataan Eun Hye menyadarkanku dari
pemikiran-pemikiran tidak penting tadi. Aku
dan yang lainnya hanya diam sambil
menatapnya. Seolah mengerti arti tatapan
kami, ia menjelaskan
“Baru saja Zhoumi mengirim pesan padaku
dan mengatakan ia dan Henry baru saja
memasuki gerbang rumahmu, tapi…” ia
menggantungkan kalimatnya dengan
memasang wajah malas.
“Tapi apa?” Tanyaku penasaran, mewakili yang
lainnya.
Eun Hye mendengus sebal sebelum berkata
dengan enggan,
“Dara ikut bersama mereka.”
“Mwo?!”
Untuk sesaat suasana menjadi hening.
Sepertinya hanya aku saja yang berlebihan
menanggapi ucapan Eun Hye, karena sekarang
semua orang yang ada di ruangan ini,
termasuk Agnes, menatapku seolah-olah
dileherku tumbuh kepala baru.
‘Shit! Kenapa yang lainnya tidak terkejut juga?
Aku ‘kan malu’ rutukku dalam hati.
“Apa?” Aku bertanya dengan malas setelah
berhasil mengembalikan imej coolku lagi.
Memecah keheningan sesaat tadi.
“Kenapa kau harus terkejut seperti itu? Dara-
ssi sudah tahu mengenai hubunganmu dengan
Agnes ‘kan? Jadi untuk apa terkejut seheboh
itu?” Si menyebalkan Hyun Joong berkata
dengan pandangan meremehkan. Ingin sekali
aku menginjak wajahnya itu.
“Tsk, bukan karena itu, bodoh. Aku hanya tidak
suka dengan kehadirannya yang selalu
menempel padaku seperti debu tiap kali ada
kesempatan” jawabku cuek.
“Apa kau bilang? Aku bodoh?” Geramnya. Dari
sudut mataku dapat kulihat wajahnya
memerah menahan kesal. Kalau saja Jeong
Hoon tidak menahannya mungkin ia sudah
mencekikku sampai mati. Haha, biarkan
sajalah… toh aku memang sengaja
membuatnya kesal untuk melupakan rasa malu
tadi. Khekhekhekhe, aku tertawa jahat dalam
hati.
“Kau tidak tuli ‘kan?” Pancingku, memanas-
manasi. Kekanakan memang, tapi masa
bodohlah. Puas sekali melihat wajahnya yang
seperti akan meledak itu.
“Siwon…” suara lembut kekasihku segera
menghentikan otakku yang dengan bahagianya
sedang membayangkan Hyun Joong menari
dengan kostum pinguin, juga menahan segala
sumpah serapah yang -sepertinya- baru akan
keluar dari mulut Hyun Joong.
“Ne?” Sahutku malas, karena aku yakin ia pasti
akan membela Joongie tersayangnya itu. Cih,
menyebalkan.
“Tidak bisakah kau sedikit menunjukan sikap
bersahabat pada Joongie? Ia ‘kan hanya
bertanya, kau tidak perlu menjawab dengan
ketus begitu.”
See? Aku benar ‘kan? Pasti selalu Hyun Joong
yang ia bela. Selalu dan selalu. Terkadang aku
tidak percaya bahwa aku ini benar-benar yang
menjadi kekasihnya, bukannya cowok
menyebalkan yang saat ini sedang
menyeringai dengan -juga- menyebalkan
kearahku.
‘Kenapa bukan dia saja yang mati sebulan
lalu?’ Geramku, yang tentu saja hanya
kulakukan dalam kepalaku. Aku mana berani
mengatakannya dengan mulutku di depan
Agnes, bisa-bisa aku yang mati betulan dihajar
olehnya karena mengharapkan joongie
tersayangnya itu untuk bersemayam dalam
tanah.
“Siwon” panggilnya lagi, kali ini dengan nada
perintah. ‘Cih! Menyebalkan!’ Geramku dalam
hati karena lagi-lagi aku harus ‘kalah’ oleh
Hyun Joong.
“Baiklah…baiklah. Aku yang berlebihan. Aku
tidak akan begitu lagi. Aku hanya tidak suka
dengan pertanyaan bodoh yang ia lontarkan
tadi” balasku setengah berbohong, tanpa
mengalihkan tatapanku pada pintu ganda
ruang baca pribadiku ini.
Ya, setengah berbohong. Karena pada
kenyataannya aku tidak sekesal itu pada Hyun
Joong karena pertanyaan bodohnya, lebih
tepatnya bukan itu yang membuatku kesal
dan… khawatir. Aku kesal karena Zhoumi
malah membawa gadis itu kemari padahal
sudah jelas-jelas aku katakan padanya untuk
tidak bilang apa-apa soal perayaan ulang
tahun Henry ini pada gadis itu. Tapi,
mengingat bagaimana sifat gadis itu, aku
sudah bisa menebak pastilah ia yang memaksa
ikut, toh ia memang tahu tanggal ulang tahun
Henry. Dan pasti sudah menebak aku akan
memberikan kejutan karena ia tahu aku sangat
menyayangi Henry. Tapi tetap saja aku kesal
pada si tiang listrik itu. Masa menangani satu
gadis gila saja ia tidak bisa? Ck, lain kali akan
kugergaji kaki kelewat panjangnya itu, geram
batinku.
Aku bukannya takut kalau Dara tahu mengenai
hubunganku dengan Agnes, karena seperti
kata Hyun Joong, ia sudah tahu soal itu. Dan
aku juga tidak berbohong bahwa aku memang
tidak suka dengan kehadirannya yang selalu
menempel bagai debu padaku setiap kali ada
kesempatan.
Aku memang tidak perlu khawatir hubunganku
dengan Agnes akan ketahuan oleh Dara
karena ia memang sudah tahu sejak kami
masih SMP meskipun ia tidak satu sekolah
denganku dan Agnes. Kenapa bisa begitu?
Mudah saja. Karena Dara adalah anak dari
salah satu sahabat sekaligus rekan bisnis
Appaku.
Dulu, saat Appaku belum membenci Agnes
seperti sekarang, ia dan Park Ahjussi, Ayah
Dara, selalu membuat lelucon tentang
menjodohkanku dengan Dara. Aku tentu saja
tidak menyukainya, sedangkan Dara malah
sebaliknya. Namun tentu saja -saat itu-
Appaku tidak serius, karena saat aku
mengenalkan Agnes padanya, ia terlihat
begitu menyukainya sampai-sampai aku
seperti tidak mengenali Appaku yang suka
seenaknya itu. Bayangkan saja, ia yang
biasanya begitu keras dan suka seenaknya
mengatur-ngatur hidupku itu bisa berubah
menjadi sosok yang sangat manis dan hangat
terhadap Agnesku. Ia -dulu- selalu
menyempatkan waktu untuk membeli oleh-
oleh untuk Agnes tiap kali ada urusan bisnis ke
luar negeri, bahkan sampai mengambil cuti
selama seminggu untuk berlibur bersamaku
dan Agnes ke salah satu pulau pribadi kami. Ia
juga sering mengundang Agnes untuk makan
malam bersama termasuk saat makan malam
bersama Park Ahjussi dan Dara. Dan disitulah
Dara mengenal Agnes. Appaku dengan
bangganya mengatakan bahwa Agnes adalah
calon pendamping yang sempurna untukku.
Kau ingin tahu bagaimana reaksi Dara saat
mendengarnya waktu itu? Kalau tatapan bisa
membunuh, aku yakin Agnes sudah terkapar
bersimbah darah saat itu. Jelas sekali tidak
terima namun ia tidak bisa berkata apa-apa
karena Ayahnya sendiri, Park
Ahjussi, kelihatan tidak terganggu dengan
ucapan Appaku. Kelihatannya ia juga -dulu-
tidak serius ingin menjodohkanku dengan
putrinya. Dan setelah makan malam selesai,
sebelum aku berpamitan untuk mengantar
Agnes pulang, aku sempat memojokkan Dara,
tentu saja bukan seperti adegan-adegan
romantis sepasang kekasih yang dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi seperti yang
sering terlihat di film-film roman picisan. Aku
memojokkannya karena saat itu aku meminta,
mengancam tepatnya, agar ia tidak
memberitahukan perihal hubunganku dengan
Agnes kepada teman-teman dekatku -Zhoumi
dan Henry adalah pengecualian- atau
siapapun. Aku mengancamnya dengan
mengatakan bahwa aku bisa saja membuatnya
tidak bisa satu SMA denganku. Dan untunglah
ia bisa menjaga mulut bawelnya itu sehingga
saat kami memasuki SMA yang dimana ia dan
sahabat-sahabatku bersekolah di sekolah yang
sama denganku, Agnes, dan ketiga
sahabatnya, tidak ada yang tahu mengenai
hubunganku dengan Agnes. Kenapa sahabat-
sahabatku juga ada disana? Karena Yesung
dan yang lainnya kembali ke Korea setelah
lulus SMP dan memutuskan -kalau tidak ingin
dibilang memaksaku- untuk satu sekolah
denganku yang dimana benar-benar dibuktikan
oleh mereka.
Lalu kenapa kami ingin sembunyi-sembunyi
saat SMA? Dulu, alasannya sederhana saja.
Karena kami tidak ingin menjadi pusat
perhatian (gosip) seperti saat di SMP. Tapi
sekarang, alasannya menjadi lebih rumit
karena sekarang Appaku tidak seperti dulu
lagi. Sampai sekarang hanya kami ;aku dan
Agnes, keluarga kami dan sahabat-sahabat
kekasihku yang tahu. Lalu bagaimana dengan
teman-teman se-SMP kami? Tentu saja ada
sebagian yang memilih SMA yang sama
dengan kami tapi karena mereka tahu siapa
aku, jadi tak ada satupun dari mereka yang
berani bergosip tentang hubunganku dan
Agnes.
Aku tersenyum kecut mengingat semua itu.
Mengingat bagaimana dulu sikap Appaku
terhadap Agnes. Betapa takdir bisa seenaknya
merubah keadaan.
Dan karena perubahan itulah sekarang aku
merasa khawatir. Aku khawatir kalau Dara
memberitahukan keberadaan Agnes disini
kepada Appaku. Memang sih Appaku tahu
bahwa kami masih berhubungan tapi, tetap
saja aku takut kalau ia bertindak yang macam-
macam kalau tahu Agnes ada disini. Dulu
memang Appaku tidak serius ingin
menjodohkanku dengan Dara dan gadis itupun
tidak memiliki kesempatan untuk dekat-dekat
denganku. Tapi, sekarang keadaannya sudah
berbeda. Appaku dengan kurang ajarnya
memberi akses pada gadis sialan itu untuk
terus menempel atau mengikuti kemanapun
aku pergi, yang tentunya dengan -sangat-
senang hati ia lakukan. Cih! Menjijikan.
‘Ia sekarang jadi suka seenaknya dekat-dekat
denganku walau saat ada Agnes didekatku
sekalipun’ aku membatin, geram. Tentu saja
aku geram. Dia menempel padaku seperti
belatung, tsk.
“Sudahlah. Ini hanya masalah kecil, lupakan
saja. Lagipula aku sudah terbiasa dengan
perkataan ketusmu padaku, Choi.” Perkataan
santai dengan nada menyebalkan itu
membuyarkan lamunanku akan masa lalu. Aku
menoleh kearah si pemilik suara dengan raut
sebal namun kuputuskan untuk tak membalas
perkataannya dengan tak kalah ketus. Aku
hanya mendecih menanggapi ucapannya
barusan.
“Daripada meributkan hal konyol, lebih baik
sekarang kita matikan lampunya karena aku
bisa mendengar langkah kaki menuju kemari.
Kalian bisa melanjutkan perdebatan bodoh
kalian nanti.” Celetuk Jeong Hoon dengan
wajah bosan. Aku melotot kearahnya. Aish, dia
sama menyebalkannya dengan Hyun Joong
kalau sudah memasang tampang aku-benar-
dan-aku-tidak-menerima-protes diwajah
kecilnya itu.
Baru saja aku hendak membalas perkataannya
itu namun Agnes keburu menyela umpatan
yang sudah tertahan diujung lidahku untuk
Jeong Hoon.
“Lebih baik kita melakukan apa yang Jeong
Hoon katakan daripada kau ribut seperti anak
kecil begitu, Siwon-ah.”
Aku mencebikkan bibir mendengarnya. Kalau
sudah kekasihku yang bicara, aku bisa apa
selain mendengarkan dan menurut? Salahku
sih karena terlalu mencintai gadis galak tapi
terlalu baik hati(?) ini.
Aku bisa babak belur kalau ia tahu aku
mengatainya galak, batinku sambil bergidik.
Aku pasti sudah gila kalau membuatnya lebih
kesal lagi, mengingat sekarang suasana
hatinya masih buruk.
Tanpa berkata apa-apa lagi aku segera
melangkah mendekati saklar lampu yang
terletak disamping lukisan wajah Eommaku
yang tertempel di dinding sebelah kanan
ruangan. Dengan segera aku mematikan
lampu. Seketika ruangan berubah gelap total.
Aku tetap berada ditempatku tanpa
melepaskan tangan kananku dari saklar lampu
untuk memudahkan menyalakannya kembali,
sementara Agnes dan yang lainnya tetap
berada ditempat semula, di tengah-tengah
ruangan dengan posisi berdiri dibelakang
meja.
Samar-samar kami bisa mendengar langkah
kaki dan suara Henry yang mendekat kemari.
“Gege, kenapa aku harus menunggu Siwon-
hyung di ruang bacanya? Aku tidak suka
berada disana, membosankan. Kenapa aku
tidak boleh menunggu di kamarnya saja
seperti biasa, ge?” Aku tersenyum kecil
mendengar suara childish keponakanku. Dari
suaranya saja aku sudah bisa menebak, pasti
wajahnya sedang cemberut.
“Nanti kau akan tahu sendiri setelah masuk ke
dalam.” Zhoumi menjawab sekenanya.
Sementara Henry tetap mengeluarkan
keluhan-keluhan kecilnya. Aku terkekeh
mendengarnya. Namun kekehanku tak
berlangsung lama karena setelahnya aku
mendengar suara sok manis dari orang yang
sangat tidak ingin aku temui sekarang atau
sampai kiamat sekalipun.
“Henry chagi, kau tidak boleh terlalu sering
bermain di kamar Siwon. Kan tidak lucu kalau
nanti aku sedang berduaan dengannya dan
kau tiba-tiba datang mengganggu.”
Mwo?!!! Apa-apaan dia berkata seperti itu?
Kalau Agnes sampai berpikir yang tidak-tidak
‘kan bisa gawat. Memangnya siapa juga yang
akan mengijinkannya masuk ke kamarku?!
Dasar bitc-
“Diam kau, bitch! Siwon-hyung sudah punya
Agnes-noona. Kau itu hanya sampah.”
Aku tertegun mendengarnya. Kalau saat ini
aku sedang berkaca pasti wajahku konyol
sekali saking kagetnya. Hey, bagaimana aku
tidak kaget kalau kata-kata barusan itu keluar
dari mulut si kecil Henry? Aku tidak yakin apa
aku harus marah atau senang karena
perkataannya tadi.
“Mwoya?! Kau-”
“Henly-yah, kau tidak boleh bicara seperti itu,
chagi. Itu tidak sopan. Kalau Appa dan Eomma
tahu, nanti mereka bisa marah. Mengerti?” Si
tiang listrik menasehati adik semata
wayangnya itu, sebelum Dara sempat
menyelesaikan kata-katanya. Tsk, sok kalem
sekali. Padahal dari suaranya saja sudah
sangat jelas bahwa ia tidak sungguh-sungguh
berniat menasehati adiknya agar tidak kurang
ajar pada Dara. Aku yakin, dibanding merasa
tidak enak hati karena perkataan adiknya, ia
malah merasa puas karena perkataan Henry
pasti membuat cewek rese itu kesal bukan
main.
Dasar koala jelek, batinku sambil menyeringai.
Toh tidak akan ada yang melihat. Kalau ada
yang melihatpun tak masalah. Karena
kenyataannya semua sahabat-sahabatku
memang tidak menyukai Dara. Seringaiku
makin melebar saat mendengar kikikan kecil
yang berasal dari tengah-tengah ruangan.
Siapa lagi kalau bukan Eun Hye dan Jeong
Hoon? Karena Agnesku tidak mungkin merasa
senang Henry, atau siapapun, berkata kasar
seperti itu meski pada gadis menyebalkan
yang jelas-jelas tidak suka padanya. Kadang
aku gemas sendiri karena kekasihku itu terlalu
baik hati. Bukannya aku tidak senang karena
kekasihku itu memiliki hati yang luar biasa
tapi, ‘sesekali tidak berbaik hati pada orang
yang memang seharusnya tidak diperlakukan
manis, tidak apa-apa ‘kan?’ Pikirku gemas.
Sedangkan Hyun Joong? Lupakan. Dia mana
suka ikut-ikutan kalau sudah mengatai orang
begitu. Tidak seru.
Suara pintu yang dibuka terdengar tak lama
setelah Zhoumi ‘menasehati’ Henry. Tanpa
aba-aba aku langsung menyalakan lampu
begitu mendengar pintu terbuka.
“SAENGIL CHUKKAEHAMNIDA, HENRY-
CHAGII” koorku dan yang lainnya, begitu
Henry hanya menatap terkejut dengan mulut
yang sedikit terbuka, sementara Zhoumi hanya
terkekeh melihat reaksi adik semata
wayangnya, lalu Dara yang… ish, lupakan saja.
Aku malas melihat kearahnya yang saat ini
sedang menatapku dengan tatapan yang
menjijikan. Aku masih menatap Henry sembari
tersenyum hangat, begitupun dengan yang
lainnya.. lalu tak lama setelahnya tubuhku
jatuh tersungkur dengan Henry berada diatas
tubuhku, dan memelukku erat sambil
menangis. Aish, bocah ini. Kebiasaan.
“Yah! Kau pikir tubuhmu masih sekecil saat SD,
hah?” protesku main-main,sambil terkekeh dan
mengusap kepalanya, yang ditanggapi
gerutuan tak jelas dari Henry dan suara tawa
ketujuh orang lainnya yang juga berada disini.
.
.
.
“Aku harus pulang sekarang.” Agnes berujar
setelah memutuskan sambungan teleponnya
dan kembali duduk di sebelahku. Kami berdua
memilih duduk di sofa yang terletak dipojok
ruangan setelah memberikan kado dan
mengecup pipi bulat keponakanku. Dara sudah
pulang karena untungnya Park Ahjushi
menelepon gadis pengganggu itu dan
memintanya untuk segera pulang tak lama
setelah Henry membuka kadonya yang kedua,
Sementara yang lainnya sedang membantu
Henry membuka kado-kado yang lumayan
banyak. Karena meskipun disini hanya ada
tujuh orang, tapi Appaku, orang tua Henry,
dan keenam sahabatku; Yesung, Kangin,
Kyuhyun, Sungmin, Donghae, dan Eunhyuk juga
memberikan kado yang mereka titipkan
padaku.
Aku mengernyit mendengarnya. Dapat kulihat
ada kecemasan diraut wajahnya, membuatku
berkesimpulan bahwa siapapun yang
menelponnya tadi telah mengabarkan hal yang
tidak mengenakan.
Aku melirik Hyun Joong dan yang lainnya
sekilas sebelum menanggapi ucapannya tadi.
“Ada apa? Siapa yang menelepon?” Tanyaku
dengan suara pelan. Jarak antara kami berdua
dengan yang lainnya memang cukup jauh tapi,
aku merasa tetap harus melakukannya, untuk
berjaga-jaga agar yang lain tidak mendengar.
Entah mengapa aku memiliki firasat tidak enak
mengenai apa yang akan Agnes sampaikan
padaku selanjutnya.
“Kim Junghwan Ahjussi. Dia adalah pengacara
keluargaku sekaligus teman baik Ayah sejak
SMA dulu. Dia bilang…” Agnes
menggantungkan kalimatnya. Ia hanya
menghela napas lelah sembari mengalihkan
tatapannya pada lantai ruang bacaku ini.
“Dia bilang apa?” Aku menariknya mendekat,
merengkuhnya dalam dekapanku dan
mendaratkan satu kecupan singkat dipuncak
kepalanya. Aku semakin bertambah khawatir
dibuatnya.
“Dia bilang sekarang dia sudah ada dirumahku
bersama Hye Sun Eonnie, dan menyuruhku
untuk segera pulang menemuinya.” Tuturnya,
melanjutkan perkataannya yang menggantung
tadi.
Benar ‘kan firasatku?
“Apa…ini menyangkut kematian orang tuamu
dan Steve- hyung?” Tanyaku hati-hati. Topik
ini masih menjadi topik sensitif diantara kami,
dan aku tidak ingin membuat hatinya kembali
bersedih karena itu.
Ia menggeleng pelan dalam pelukanku.
“Entahlah. Junghwan Ahjushi hanya
mengatakan bahwa ia dan Hye Sun Eonnie
sudah berada di rumah dan memintaku untuk
segera pulang.” Jelasnya. Aku mengangguk
sekali sebelum mengalihkan tatapanku pada
yang lainnya.
“Baiklah. Aku akan mengantarmu. Kau
berpamitan dulu saja pada Henry dan yang
lainnya, aku akan menunggu di bawah.”
Kataku, seraya berdiri. Ia mengangguk samar
dan segera menghampiri Henry sementara aku
langsung berjalan keluar ruangan menuju
halaman rumah dimana mobilku terparkir.
Kurang lebih 15 menit kemudian Agnes muncul
dibalik pintu utama rumahku dan tergesa-gesa
menghampiriku dengan raut tidak enak hati.
“Mianhae membuatmu menunggu lama. Tadi
Henry merengek memaksaku untuk tetap
tinggal, dia juga kesal karena kau tidak
pamitan padanya. Tapi untung saja Zhoumi
bisa memberinya pengertian sehingga dia
membolehkanku pulang meski dengan
tampang cemberut.” Jelasnya sambil
tersenyum minta maaf. Aku tersenyum
maklum mendengarnya.
“Gwenchana. Henry hanya terlalu
menyukaimu. Lagipula ini rumahku, untuk apa
pamitan padanya? Yang ada ia akan merengek
untuk ikut kalau aku bilang akan mengantarmu
pulang.” Aku terkekeh kecil mengingat
keponakanku itu,
“Salahmu juga yang terlalu memanjakannya.”
Lanjutku seraya tersenyum jahil. Ia memutar
bola matanya dengan jenaka mendengar
balasanku tadi.
“Hey…lihat siapa yang bicara? Kau bahkan
pernah rela jauh-jauh pergi ke Jepang untuk
menemui orang tua Henry dan memohon pada
mereka untuk mampir sebentar ke Korea,
hanya karena anak itu mengancam tidak mau
makan seharian kalau hari itu dia tidak
bertemu orang tuanya. Padahal kau sendiri
tahu ia sudah makan di rumahku saat itu.”
Kini giliranku yang memutar bola mataku
setelah mendengar ucapannya yang memang
benar adanya itu. Aku menegakkan tubuhku
yang semula bersandar pada mobilku, lalu
melempar seringai padanya sesaat sebelum
beralih untuk membukakan pintu untuknya.
“Aku memang tidak akan pernah menang
dalam urusan adu mulut denganmu…kecuali
adu mulut dalam artian yang sebenarnya.”
Kataku, yang sukses membuat wajahnya
memerah. Ia buru-buru masuk ke dalam mobil
dengan wajah cemberut setelah sebelumnya
menyempatkan diri untuk mencubit lenganku.
Aku terkekeh pelan melihat tingkah lucunya,
sebelum menutup pintu dan segera berjalan
menuju pintu yang satunya.
.
.
.
Sesampainya di rumah Agnes, Pengacara Kim
dan Hye Sun-noona memang sudah ada
disana, sedang menunggu kami di ruang
tengah. Kami segera menghampiri mereka
tanpa menunggu salah satunya meminta kami
untuk bergabung.
“Ada apa ahjushi?” Agnes langsung bertanya
begitu kami duduk dihadapan pria yang
sepertinya seusia dengan ayahku. Pria paruh
baya dengan wajah ramah itu tersenyum tipis
sebelum menjawab pertanyaan kekasihku.
“Baiklah… aku juga tidak ingin berbasa-basi.”
Jawabnya. Ia berdehem sebentar sebelum
melanjutkan ucapannya.
“Begini Agnes-ah, aku datang kesini untuk
menyampaikan bahwa hak kepemilikkan
perusahaan Ayahmu sudah berpindah tangan,
begitupun dengan aset-aset lain yang dimiliki
ayahmu seperti villa, perkebunan, dan 3 panti
asuhan yang be-”
“Apa?!” Perkataan Pengacara Kim terputus
karena seruanku.
Lagi. Sama seperti saat di rumahku beberapa
waktu lalu, hanya aku yang terkejut.
‘Shit! Kenapa lagi-lagi malah aku yang terkejut
berlebihan? Bukankah seharusnya dalam hal
ini Agnes, atau minimal Hye- Noona, yang
lebih pantas terkejut?’ Pikirku heran sekaligus
kesal. Dengan kesal pula aku melirik Agnes
yang berada disampingku dan Hye Sun noona
yang ada didepanku bergantian. Kekasihku
terlihat tenang sekali, sama halnya dengan
Hye Sun noona yang hanya diam sembari
menatap lantai, seolah apa yang disampaikan
Pengacara Kim tadi tidak berpengaruh apa-
apa padanya.
Apa-apaan ini?! Batinku makin geram.
Untuk sesaat tidak ada yang bersuara. Hanya
terdengar detak jarum jam setiap detiknya,
membuat suasana mendadak canggung.
Memutuskan bahwa suasana seperti ini sangat
membuat tidak nyaman, aku kembali bersuara,
“Agnes-ah ini-”
“Lanjutkan ahjushi” Agnes memotong
ucapanku dengan tenangnya. Aku menelan
kembali geraman yang sudah berada diujung
tenggorokanku. Memutuskan untuk diam dan
mendengarkan pembicaraan mereka, meski
sebenarnya aku sudah gatal untuk
meneriakkan ketidak-terimaanku atas
informasi yang disampaikan Pengacara Kim
dan juga reaksi kekasihku terhadap berita ini.
Pengacara Kim berdehem dan melirikku sekali
sebelum melanjutkan perkataannya tadi.
“3 Panti asuhan yang berada di jepang. Hanya
rumah ini yang tidak.” Lanjutnya yang diakhiri
dengan sorot mata yang menunjukkan
penyesalan. Sementara aku hanya bisa
mengepalkan tangan mendengar semua itu.
“Kenapa semua ini bisa terjadi, Ahjushi?
Kenapa begitu tiba-tiba?” Agnes bertanya
setelah beberapa menit berlalu. Nada
suaranya masih tetap tenang seperti
sebelumnya, yang membuatku tak habis pikir.
Kenapa ia masih bisa setenang ini?! Jeritku
dalam hati.
“Begini…Seminggu sebelum kecelakaan itu
terjadi, Ayahmu datang menemuiku dan
menceritakan rahasia yang hanya diketahui
oleh Ayah dan Ibumu. Ia menceritakan padaku
bahwa sebenarnya dua tahun yang lalu
perusahaan Ayahmu pernah nyaris bangkrut,
dan Ayahmu memutuskan untuk meminta
bantuan ke salah satu dari tiga perusahaan
terbesar di negara ini.”
Deg!
Perasaan kesalku tiba-tiba luruh saat aku
mendengar penjelasan dari Pengacara Kim,
tepatnya setelah ia mengatakan tiga
perusahaan terbesar di negara ini. Jantungku
berdetak tidak karuan karena cemas menanti
kelanjutan dari perkataan Pengacara Kim tadi,
karena yang jelas aku -dan semua yang ada
disini- tahu adalah Perusahaan Ayahku
merupakan yang terbesar di negara ini.
Sedangkan dua lainnya adalah perusahaan
Ayah Kyuhyun dan Sungmin. Aku hanya bisa
berharap semoga perusahaan yang dimaksud
adalah dua perusahaan sisanya.
Dengan cemas aku melirik Agnes dari sudut
mataku tapi, ia tidak menunjukkan ekspresi
yang berarti. Entah aku harus merasa lega
atau malah sebaliknya melihat itu.
Setelah melihat tidak ada tanggapan berarti
selain tatapan dari Agnes yang seolah
menyuruhnya untuk menyelesaikan
penjelasannya, Pengacara Kim melanjutkan,
“Akhirnya Ayahmu membuat perjanjian dengan
pemilik perusahaan tersebut bahwa Ayahmu
bersedia menyerahkan hak milik perusahaan
dan aset-asetnya yang lain, kecuali rumah ini,
kepada perusahaan tersebut kalau ia tidak
bisa melunasi hutangnya dalam waktu dua
tahun. Perjanjian yang sebenarnya konyol
menurutku. Maksudku, perusahaan Ayahmu
baik-baik saja selama dua tahun terakhir ini,
setidaknya itu yang kulihat, sehingga rasanya
tidak mungkin hutang itu belum terlunasi,
tetapi kenyataannya Ayahmu tidak pernah
membayar sepeser pun hutang itu hingga
kecelakaan itu terjadi.” Pengacara Kim
menghembuskan napas lelah sembari memijat
pelipisnya.
“Aku tidak mengerti jalan pikiran Ayahmu. Aku
yakin ia bisa melunasi hutang kepada
perusahaan itu tanpa harus menyerahkan
perusahaan dan aset-aset miliknya yang lain
meskipun jumlah hutangnya memang sangat
besar. Dan aku mengatakannya pada Ayahmu
tapi ia hanya tersenyum dan mengatakan
bahwa memang sudah seharusnya seperti itu.
Ia bahkan memintaku untuk tidak
memberitahukan perusahaan mana, dari tiga
perusahaan terbesar di negara ini, yang ia
mintai bantuan itu kepada siapapun…meski itu
kau sekalipun, Agnes-ah. Bahkan yang akan
memimpin perusahaan Ayahmu bukanlah
pemilik perusahaan itu sekarang melainkan
salah satu orang kepercayaannya.” Pengacara
Kim menyelesaikan penjelasannya dengan
hembusan napas berat.
Untuk sesaat aku hanya diam setelah
mendengar semuanya. Sedikit lega
sebenarnya karena setidaknya Pengacara Kim
tidak menyebutkan perusahaan mana yang
mengambil alih perusahaan Ayah kekasihku
ini. Tapi disisi lain, aku merasa iba dengan
keadaan ini. Baru sebulan kabar duka itu
berlalu dan sekarang kekasihku harus
menerima kenyataan yang hampir sama
buruknya dengan kejadian sebulan lalu.
Bagaimana hidup Agnes kedepannya kalau
semua yang dimiliki Ayahnya sekarang sudah
menjadi milik orang lain? Batinku, miris.
Dan aku tidak tahan untuk tidak menanyakan
perihal itu,
“Lalu bagaimana dengan Agnes? Ah,
maksudku… kami masih bersekolah dan
untuk…err kau tahu… untuk…” Aku
kebingungan memilih kata yang tepat untuk
mengungkapkan kekhawatiranku. Tapi
sepertinya Pengacara Kim mengerti apa yang
aku pikirkan.
“Untuk masalah itu kalian tenang saja. Karena
selain untuk menceritakan masalah hutang
dan perjanjian itu, Ricky juga menitipkan
simpanan uang miliknya dan Jenny untuk masa
depan Agnes dan Steve. Tadinya rencana
mereka seperti itu, tapi ternyata takdir
berkata lain. Steve juga harus menjadi korban
dalam kecelakaan itu” Pengacara Kim diam
sesaat setelah mengatakan itu. Ada gurat
kesedihan di wajahnya yang sekilas -
menurutku- mirip dengan Ayah Yesung.
Gurat kesedihan yang juga menghiasi wajah
cantik kekasihku. Dengan halus kugenggam
tangannya yang saling bertautan diatas
pangkuannya. Berharap itu bisa mengurangi
kesedihan yang ia rasakan sekarang.
“Dan karena Kakakmu sekarang tidak ada,
maka semua uang itu adalah milikmu Agnes-
ah.” Lanjut pengacara Kim.
“Tapi…ada hal yang tidak kumengerti. Ayahmu
mengatakan bahwa ia memang sengaja tidak
pernah membayar hutang itu sama sekali
karena memang sudah seharusnya hutang itu
tidak ia bayar. Katanya, semua yang ia
pertaruhkan dalam perjanjian itu memang
sudah seharusnya ia lepaskan sejak dulu,
maka ia sengaja tidak mengganti uang yang ia
pinjam agar perjanjian itu tetap berlaku. Dan
karena itulah ia sengaja menyimpan sebagian
kekayaan yang ia miliki, untuk masa depanmu
dan kakakmu kelak, karena ia memang sudah
merencanakan perjanjian itu tetap berlaku
hingga batas waktu yang ditentukan. Karena ia
memang ingin semuanya berjalan sesuai
perjanjian yang telah dibuat olehnya dan si
pemilik salah satu perusahaan terbesar disini
itu.” Kuasa hukum keluarga kekasihku itu
menarik napas dalam-dalam kemudian
menghembuskannya perlahan, seraya memijat
pangkal hidungnya.
Berhenti sejenak dari ceritanya, sementara
kami hanya diam menyimak dan
menantikannya untuk melanjutkan apapun itu
yang telah dikatakan Ricky-ahjussi padanya.
“Aku tidak mengerti maksud dibalik semua
yang dikatakan Ayahmu. Ia hanya menjelaskan
bahwa meskipun ia sengaja merencanakan
agar perjanjian itu tetap berlaku hingga batas
waktu yang ditentukan, dengan kata lain
semua yang ia pertaruhkan akan benar-benar
lepas dari kuasanya, tapi ia tidak akan
membiarkan kalian; kau dan steve, hidup
dalam kesulitan. Aku benar-benar tidak
mengerti jalan pikirannya.” Pengacara dengan
wajah ramah itu menyelesaikan ‘ceritanya’
dengan hembusan napas lelah.
Hening. Tidak ada satupun dari kami yang
bersuara setelah Pengacara Kim
menyelesaikan ceritanya. Agnes dan Hye Sun
eonnie hanya diam menatap lantai, entah apa
yang mereka pikirkan sekarang, sementara aku
terlalu sibuk mencerna semua yang kudengar
tadi. Sama seperti Pengacara Kim, aku juga
tidak mengerti kenapa Ricky-ahjussi
melakukan semua ini. Tapi di sisi lain, aku juga
lega karena setidaknya aku tak perlu khawatir
lagi mengenai masa depan kekasihku.
Bukannya aku atau yang lain tidak bisa
membantu masalah financial, jika kekasihku
membutuhkannya, tetapi karena kekasihku ini
pasti tidak mau menerimanya karena ia paling
tidak suka menyusahkan orang lain. Padahal
‘kan aku tidak merasa direpotkan sama sekali,
dan lagipula aku dan sahabat-sahabatnya ‘kan
bukan orang lain.
“Soal panti asuhan yang ada di Jepang…apa
Ahjussi tahu apa yang akan dilakukan pemilik
perusahaan Ayah sekarang terhadap panti
asuhan itu? Apa panti asuhan itu bisa kita
dapatkan kembali kalau kita membelinya?”
Agnes yang pertama membuka suara,
memecah keheningan yang sempat tercipta
beberapa menit yang lalu.
Ah, panti asuhan milik keluarganya itu ya?
Batinku. Aku pernah mendengar tentang 3
panti asuhan yang berada di Jepang, yang
dibangun oleh orang tua Agnes sejak ia masih
duduk di bangku sekolah dasar. Disana pulalah
semua pelayan yang semula bekerja di rumah
kekasihku berada. Entah apa alasannya tapi,
Ricky-ahjussi memindahkan mereka semua
untuk bekerja di sana dua bulan sebelum
kecelakaan itu terjadi.
Eh? Tunggu dulu… tadi dia bertanya apa? Bisa
atau tidaknya membeli kembali panti asuhan
itu, ya?
“Soal panti asuhan itu…setahu Ahjussi pemilik
baru perusahaan Ayahmu itu telah membuat
rencana untuk membangun Hotel dan pusat
perbelanjaan disana, dengan kata lain
bangunan panti asuhan itu akan dihancurkan.
Kenapa kau menanyakan hal itu, Agnes-ah?”
Pengacara Kim menjawab sekaligus bertanya
dengan tatapan menyelidik. Kentara sekali ia
curiga terhadap maksud dibalik pertanyaan
kekasihku.
Sama halnya denganku. Aku sudah curiga-
was-was mungkin tepatnya, sejak mendengar
pertanyaan kekasihku tadi.
Deg!
Aku tersentak saat satu pemahaman melintas
dikepalaku. Jangan bilang kalau…
“Apa.. uang simpanan yang Ayah siapkan
untukku cukup untuk membeli 3 panti asuhan
itu?”
“Mwo?!” Seruku dan Hye Sun-noona
bersamaan, tidak percaya akan pertanyaan
yang baru saja kami dengar. Apa-apaan ini?
Jangan bilang kalau ia memang berniat untuk
mengambil kembali panti asuhan itu dengan
menggunakan uang yang sudah disiapkan
Ricky-ahjussi untuknya itu.
“Eoh? Ah…tentu saja cukup, bahkan lebih
Agnes-ah. Tapi untuk apa kau bertanya seperti
itu?” Pengacara Kim menjawab dengan tenang
pertanyaan gila kekasihku itu, meski
tatapannya masih tetap penuh selidik.
Aku menggeram frustasi didalam kepalaku.
Kenapa dia malah memberikan jawaban
seperti itu?!
“Kalau begitu, gunakan uang simpanan Ayahku
untuk membeli 3 panti asuhan itu, dan berikan
semua sisanya pada pengurus panti sebagai
dana untuk memenuhi semua yang dibutuhkan
oleh panti asuhan.”
“Agnes-ah!!” Bentakku yang lagi-lagi
bersamaan dengan Hye Sun-noona. Apa yang
aku perkirakan ternyata benar.
Berbeda denganku dan Hye Sun-noona yang
begitu terkejut, Pengacara Kim hanya diam
saja. tidak terlihat terkejut sama sekali
mendengar permintaan gila kekasihku ini. Tsk,
Apa-apaan itu? Kenapa ia malah tenang saja
mendengar permintaan tak masuk akal dari
gadis yang duduk disampingku ini, yang sejak
tadi tidak bergeming sama sekali.
Dengan gusar kualihkan kembali  tatapanku
pada Pengacara Kim, berharap agar ia
mengatakan sesuatu yang sekiranya bisa
membuat kekasihku ini berubah pikiran.
Pengacara Kim menatapku sekilas sebelum
kemudian menghembuskan napas pelan
sesaat sebelum kembali menatap kekasihku
dengan senyum lelah dibibirnya.
“Ternyata yang dikatakan Ricky benar. Kau
memang tidak akan diam saja kalau sudah
menyangkut panti asuhan itu. Ricky memang
tidak memintaku untuk memaksamu menerima
uang yang telah ia titipkan padaku tapi, tetap
saja ini menyangkut masa depanmu Agnes-ah.
Apa kau benar-benar yakin dengan
keputusanmu?”
“Tapi…Pengacara Kim…” Aku benar-benar
tidak tahu harus berkata seperti apa setelah
mendengar jawaban dari Pengacara Kim.
Kepalaku benar-benar pusing.
“Aku sangat yakin, Ahjussi. Mengenai masa
depanku, Ahjussi tidak perlu khawatir. Aku
memiliki tabungan sendiri yang aku rasa
jumlahnya cukup untuk membiayai hidupku
hingga aku kuliah nanti. Selain itu, untuk
masalah bagaimana dengan sekolahku, aku
bisa mencoba untuk mendapatkan beasiswa
hingga lulus nanti.” Jawaban yang
dikemukakan oleh Agnes semakin membuat
pikiranku tidak karuan. Aku hanya bisa
menatapnya dengan mulut terkatup rapat.
Berusaha menahan mulutku agar tidak
berteriak padanya dan mengatakan seberapa
gilanya pemikirannya itu.
Sementara Hye Sun-noona hanya diam saja.
Aku yakin ia juga pasti kesal dan tidak terima
dengan keputusan tidak masuk akal dari
Agnes.
Helaan napas berat terdengar dari arah
tempat pengacara Kim duduk saat ini,
membuatku mengalihkan tatapanku dari
Agnes kearahnya.
“Baiklah kalau memang itu sudah menjadi
keputusanmu, aku tidak memaksa. Tapi kau
harus ingat, bahwa tangan dan pintu rumahku
selalu terbuka untukmu. Kau sudah kuanggap
anak sendiri, Agnes-ah” kata pengacara Kim
sembari beranjak dari duduknya, yang juga
diikuti olehku dan yang lainnya. Sebisa
mungkin kutahan kekesalanku yang sepertinya
sudah sampai ke ubun-ubun.
Agnes mengangguk seraya tersenyum, lalu
memberikan pelukan singkat pada Pengacara
Kim.
“Akan kuingat. Terima kasih Ahjussi.”
Jawabnya. Pengacara Kim mengelus pelan
pucuk kepalanya dan menepuk singkat
pundakku, sebelum berpamitan untuk pulang.
Hye Sun-noona yang sedari tadi diam saja
juga menghampiri Agnes dan memeluknya.
“Aku juga pamit pulang. Mian tidak bisa
menginap untuk menemanimu karena tugas
kuliahku sedang menumpuk. Besok aku akan
menginap lagi di sini, sekaligus ada hal yang
ingin aku bicarakan.” Pamit serta beritahunya
setelah melepaskan pelukan, lalu melempar
senyum tipis padaku. Agnes kembali
mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban,
lalu mengantarkan mereka hingga kedepan
pintu. Sedangkan aku lebih memilih
melangkah mendekati jendela besar di
ruangan ini. Berdiri menatap keluar jendela
dengan kedua tangan tenggelam dalam saku
celana.
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan
keputusan kekasihku. Apa yang sebenarnya
ada didalam kepala cantiknya itu? Aku tahu ia
memang sangat menyayangi anak-anak di
panti itu tapi, bukan berarti ia harus
mengorbankan apa yang ia miliki terlebih jika
itu menyangkut hidupnya setelah ini.
Suara derap langkah yang mendekat dan
berhenti tak jauh dibelakangku membuat
amarahku semakin naik. Dengan cepat aku
berbalik dan mendapati Agnes berdiri dengan
jarak kurang lebih satu meter didepanku.
Dengan geram aku melangkah mendekatinya
yang saat ini pun tetap memasang wajah
tenangnya.
“Apa yang kau pikirkan?!” Bentakku akhirnya,
dengan kedua tangan berada dipinggangku.
“Apa kau tidak menghargai apa yang sudah
dilakukan Ayahmu untuk masa depanmu?! Apa
kau pikir dengan membuat keputusan seperti
itu maka semuanya akan baik-baik saja, dan
kehidupan akan berjalan sesuai keinginanmu?!
Dia sudah kehilangan semuanya tapi kau
malah menyia-nyiakan apa yang masih bisa ia
berikan untukmu!” Dengan geram aku
membuang wajahku kesamping seraya
menutup mata. Berusaha menenangkan
napasku yang memburu setelah meneriakan
apa yang ada dipikiranku sejak  mendengar
keputusannya beberapa waktu lalu. Aku
mengambil napas dalam-dalam untuk mengisi
paru-paruku yang terasa sesak, lalu membuka
kedua mataku dan kembali menatap gadis
didepanku yang saat ini tengah menunduk
menatap lantai. Aku menatapnya dengan
pandangan kecewa.
“Aku benar-benar tidak mengerti jalan
pikiranmu. Kau selalu saja bertindak sen- “
“Aku tahu apa yang kulakukan memang bodoh.
Kau dan yang lainnya berhak marah padaku.”
Sahutnya dengan suara bergetar, menyela
ucapanku.
Deg!
Hatiku langsung mencelos saat ia mulai
mengangkat wajahnya dan menatapku dengan
air mata yang sudah menggenang di kedua
matanya. Sesak yang kurasakan sesaat lalu
karena amarah, berganti dengan sesak yang
lebih menyiksa karena rasa bersalah.
Napasku tercekat ditenggorokanku saat
akhirnya air mata itu perlahan jatuh ke
pipinya.
“Sayang, maaf aku-”
“Tapi apa yang bisa dilakukan gadis 17 tahun
sepertiku untuk membuat segalanya menjadi
lebih baik? Apa yang bisa aku lakukan kalau
Ayahku sendiri yang menginginkan semuanya
berjalan seperti ini? Aku hanya berusaha
melakukan apa yang aku bisa.” Lirihnya.
Aku segera menghampirinya dan menarik
tubuh kecilnya kedalam pelukanku. Mengelus
punggungnya dengan harapan itu bisa
membantu menenangkan hatinya yang tengah
kalut.
“Tapi kau tidak perlu sampai melakukan itu.
Aku tahu panti asuhan itu memiliki begitu
banyak kenangan akan keluargamu, dan
betapa kau menyayangi anak-anak disana, tapi
kau juga harus memikirkan dirimu.” Bisikku tak
kalah lirih di telinganya.
Dengan lembut kudorong kedua bahunya guna
menatap wajah cantiknya, tanpa melepaskan
genggaman tanganku dibahunya. Kutatap
dalam-dalam kedua manik hitamnya yang
selalu membuatku tersesat dalam
keindahannya.
“Aku tahu ini berat untukmu. Tapi kau masih
memiliki kami, aku dan sahabat-sahabatmu,
yang bisa kau andalkan untuk membagi beban
yang saat ini kau tanggung. Dan sesekali
menjadi egois untuk dirimu sendiri tidak ada
salahnya.” Bisikku serak, seraya menghapus
jejak air mata di pipinya.
“Aku hanya tidak ingin merepotkan kalian…dan
Kau salah kalau menurutmu aku tidak peduli
pada apa yang telah dilakukan Ayah untukku.
Kalau aku tidak peduli untuk apa aku
melanggar salah satu isi perjanjian itu,
dengan meminta Junghwan Ahjussi merebut
kembali 3 panti asuhan yang berada di
Jepang? Seandainya bisa, aku pun ingin
mengambil kembali apa yang menjadi milik
Ayahku, milik keluarga kami. Mungkin
semuanya akan lebih mudah kalau saja Ayahku
tidak mengatakan pada Junghwan Ahjussi
bahwa ia menginginkan perjanjian itu tetap
berlaku sebagaimana semestinya. Aku hanya
mencoba untuk menerima keputusan Ayahku.”
Jelasnya yang diakhiri dengan senyum pahit.
Hatiku semakin terenyuh mendengarnya.
“Kau yang seperti ini membuatku takut. Kau
membuatku terlalu banyak percaya bahwa
semua akan baik-baik saja” sahutku pelan,
nyaris menyerupai bisikkan. Ia menatapku
dengan raut bingung yang tergambar di wajah
polosnya. Dadaku semakin sesak kala
mengingat kenyataan pahit yang kini dialami
gadis sebaik dan sepolos ini.
“Bagaimana kalau ternyata perusahaan yang
dimaksud Pengacara Kim adalah perusahaan
Appaku?” Tanyaku pada akhirnya, dan
sepertinya kekasihku baru menyadari
kemungkinan itu, terlihat dari raut wajahnya
yang sekarang tampak terkejut.
Aku tersenyum pahit melihatnya. Dengan
perlahan kulepaskan tanganku yang sedari
tadi berada dipundaknya, lalu berbalik dan
kembali menghampiri jendela besar yang ada
diruangan ini, seperti beberapa saat lalu.
Mengusap pelan keningku dengan tangan
kanan sesaat, sebelum kuletakan kedua
tanganku dipinggang, lalu mendongak untuk
beberapa saat menatap langit-langit rumah ini
dengan perasaan tak keruan.
Aku menghembuskan napas dengan gusar dari
mulutku, dan kembali menatap keluar jendela.
“Aku takut Agnes-ah. Aku takut kau akan
membenciku seandainya memang perusahaan
Appaku yang dimaksud Pengacara Kim. Aku
takut kau meninggalkanku karena itu.”
Ungkapku, setengah berbohong, karena
kenyataannya ada hal lain yang membuatku
jauh lebih takut.
Ya, hal lain. Karena sesungguhnya yang
membuatku benar-benar takut bukanlah
tentang perusahaan siapa yang dimaksud
Pengacara Kim. Apa yang terjadi sekarang
adalah dampak dari keputusan yang dibuat
Ricky-ahjussi, sehingga Appaku tidak terlalu
terkesan brengsek seandainya memang
perusahaannya yang dimaksud Pengacara Kim,
karena semua yang dilakukan pemilik
perusahaan Ricky-ahjussi sekarang memang
sudah sesuai perjanjian.
Hal lain yang kumaksud adalah kecelakaan
yang menimpa keluarga Agnes sebulan lalu.
Kecelakaan yang entah kenapa membuat
firasatku terus mengatakan bahwa Appaku
ikut andil dalam peristiwa itu.
Hening sempat menyapa setelah aku
mengungkapkan kegusaranku tadi, hingga
suara langkah kaki terdengar menghampiriku,
dan akhirnya berhenti tepat dibelakangku yang
disusul dengan sepasang lengan yang
memelukku dari belakang. Aku refleks
memejamkan mataku saat merasakan sisi
wajah Agnes menempel dipunggungku.
“Seandainya pun memang perusahaan Ayahmu
yang dimaksud Junghwan Ahjussi…yang
terlibat adalah Ayahmu, bukan kau. Dan
bagiku tidak masuk akal jika aku harus
membencimu karena itu. Karena Seperti
kataku tadi, aku mencoba untuk menerima
semuanya. Aku yakin Ayahku pasti memiliki
alasan kuat dibalik tindakannya, dan aku
percaya apapun alasannya itu… bukanlah
untuk membuatku membencimu.” Katanya
lembut, seraya mengeratkan pelukannya
padaku. Mendengarnya membuatku tak tahan
untuk tidak tersenyum miris. Kugigit bibir
bawahku seraya menggenggam tangannya
yang berada diperutku.
Bukan itu, Agnes-ah. Bukan itu yang
sebenarnya membuatku takut
kehilanganmu.
.
.
.
.
Aku mengernyit tidak suka saat sinar matahari
menyeruak masuk ke kamarku. Aku
menyusupkan wajahku ke bantal dan
mengerang tak suka.
“Tutup kembali tirainya.” Gerutuku yang sedikit
teredam oleh bantal.
Aku bukannya tipe orang yang susah bangun
pagi, hanya saja sekarang hari minggu dan aku
ingin beristirahat lebih lama di kamarku.
“Maaf tuan muda, tapi tuan besar meminta
saya untuk membangunkan tuan muda
sekarang. Tuan besar meminta tuan muda
untuk menemui beliau di ruang kerja beliau.”
Sahut seorang maid yang aku yakini salah satu
maid di rumahku.
Aku menggeram sebal sekali lagi sebelum
dengan malas membuka kedua mataku yang
terasa berat sekali, lalu bangkit ke posisi
duduk sembari mengucek kedua mataku.
Setelah merasa nyawaku sudah terkumpul
semuanya, aku menatap malas pada maid itu
dan mengangguk singkat sebelum
menyuruhnya untuk segera keluar dari
kamarku–yang segera saja dipatuhinya.
Setelah maid itu menghilang dibalik pintu
kamarku, aku segera bangkit dan melangkah
menuju kamar mandi yang berada di sisi kiri
ruangan ini. Sesekali aku mendumal saat
mengingat yang dikatakan maid tadi.
“Kenapa Appa memintaku untuk menemuinya
di ruang kerjanya segala, sih?” Dumalku saat
hendak menyalakan shower.
Untuk apa pakai acara menemuinya di ruang
kerja segala, padahal biasanya juga dia yang
menemuiku setiap kali ada hal yang ingin dia
bicarakan– atau lebih tepatnya– hal yang ingin
ia sampaikan, karena Appaku itu selalu saja
semena-mena dalam memutuskan ini-itu yang
berkaitan dengan hidupku. Aku mendengus
kesal.
Menyusahkan saja. Mana ini masih pagi sekali,
keluhku dalam hati. Tidak rela sebenarnya
harus bangun sepagi ini. Tadi sebelum masuk
ke kamar mandi aku sempat melirik jam digital
yang tertempel di dinding atas pintu kamarku,
dan kalau aku tidak salah lihat jarum pendek
jam itu menunjuk pada angka 7 dan jarum
panjang tepat berada di angka 12. Great.
“Tidur indahku harus berakhir sepagi ini
karena orang tua itu. Sial!” umpatku kesal,
bercampur was-was sebenarnya, dibawah
guyuran air yang meluncur dari shower
diatasku.
Tadi malam adalah pertama kalinya dalam dua
minggu ini aku bisa tidur dengan ‘wajar’
setelah mendengar kabar yang disampaikan
Pengacara Kim, dan juga keputusan kekasihku
mengenai itu, di hari ulang tahun Henry dua
minggu yang lalu itu. Sejak hari itu aku jadi
susah tidur karena selalu memikirkan
kekasihku, dan diperburuk dengan dugaan-
dugaan yang melintas di kepalaku mengenai
kecelakaan yang dialami kedua orang tua
kekasihku dan kakanya itu.
Dan sekarang Appa ingin bicara denganku
sepagi ini di ruang kerjanya, sementara
pikiranku masih dipenuhi dengan kecurigaanku
padanya mengenai kecelakaan yang dialami
keluarga kekasihku itu. Damn! Tidak salah ‘kan
kalau detak jantungku sekarang menggila
karena was-was terhadap apa yang ingin
dibicarakan Appaku?
“Aku hanya bisa berharap apa yang ingin Appa
bicarakan denganku tidaklah sama dengan
yang ada dipikiranku.” Gumamku penuh harap.
Aku keluar dari kamar mandi kurang lebih 15
menit kemudian dan segera menuju lemari
pakaian yang berada di pojok sebelah kanan
sembari mengeringkan rambutku, lalu memilih
kaos hitam polos dan celana baggy sebatas
lutut. Tentu saja aku tidak mau selalu
berpakaian rapih seperti Appaku. Setelah
selesai berpakaian dan memastikan
penampilanku sudah oke, aku bergegas keluar
kamar dan berjalan kearah tangga untuk ke
ruang kerja Appaku yang berada dilantai dua.
Saat sudah setengah jalan, aku berpapasan
dengan Heechul Hyung, pengacara sekaligus
penasehat keluargaku, yang sedang berjalan
menuruni tangga. Ia tersenyum ramah ketika
akhirnya tatapannya yang semula menatap ke
bawah, bertemu pandang denganku.
“Selamat pagi, Siwon-ah” sapanya hangat,
masih dengan senyum yang setia terukir
dibibir pria berusia awal 30 itu.
Aku balas tersenyum padanya.
“Pagi ahjusshi. Habis bertemu Appa, ne?”
Balasku sekaligus bertanya sambil
menyeringai jahil. Aku tahu ia tidak suka
dipanggil Ahjusshi olehku.
“Yak! Sudah kubilang panggil aku hyung! Dasar
sial kau.” Protesnya tak terima. Aku terkekeh
melihatnya.
Ia mencibir melihat ketidak sopananku
padanya.
“Dan ya. Aku habis menemui Ayahmu,
membicarakan soal perusahaan seperti biasa.
Ada tuan Park Young guk juga disana.”
Lanjutnya ketus. Raut -pura-pura-  sebal masih
terlukis di wajah cantik tapi juteknya itu.
Eh? Young guk Ahjusshi juga ada disini? Untuk
apa? Jangan bilang kalau mereka sedang
membicarakan rencana perjodohan konyol
antara aku dan Dara. Aku mendengus sinis.
“Untuk apa Young guk Ahjusshi ada disini?”
Tanyaku tanpa repot-repot menyembunyikan
rasa tidak suka dalam suaraku. Toh Heechul
Hyung juga tahu kalau aku tidak suka dengan
orang itu terlebih putrinya. Heechul-hyung
mengangkat bahu dengan raut tak peduli. Tapi
entah mataku yang salah lihat atau
bagaimana, wajah Heechul-hyung terlihat
sedikit tegang tadi.
“Entahlah. Aku juga tidak peduli apa yang
dilakukan orang tua itu disini, dan lagi dia juga
tidak berbicara apa-apa padaku saat aku
menemui Ayahmu.”
Aku mengernyit mendengar jawabannya.
Sedikit tidak percaya sebenarnya tapi, ya
sudahlah. Aku juga tidak mau tahu apa yang
dilakukan orang tua itu di rumahku sepagi ini.
“Ya sudah kalau begitu. Hyung pulang dulu,
ne?” Katanya lagi sembari menepuk bahuku
pelan–yang hanya aku tanggapi dengan
anggukan singkat–lalu kembali melanjutkan
langkahnya menuruni tangga. Begitupun
denganku.
Aku baru saja hendak mengetuk pintu ruang
kerja Appakh, saat sebuah suara dari dalam–
yang aku yakini sebagai suara Young guk
Ahjusshi–menghentikan gerakanku.
‘Kau memang tidak pernah segan-segan untuk
melenyapkan siapa saja yang menurutmu
mengganggu’
Deg!
Jantungku langsung berdetak dengan gilanya
setelah mendengar itu. Melenyapkan?
Melenyapkan apa? Siapa? Batinku bertanya
dengan was-was.
Aku semakin merapatkan telingaku ke pintu
untuk mendengar lebih jelas. Tak lama setelah
Young guk Ahjusshi bicara, terdengar tawa
kecil menanggapi ucapannya. Itu suara
Appaku.
‘Itu semua juga berkat kau. Bahkan aku
mendapat bonus, karena tanpa kusangka
sebelumnya ternyata putra pertama mereka
juga ada dalam mobil itu. Sedikit disayangkan
karena kekasih putraku tidak berada
didalamnya.”
Deg! Deg!
Lututku rasanya tiba-tiba kehilangan tenaga,
kalau saja aku tidak segera menopang tubuh
pada dinding mungkin sekarang aku sudah
jatuh berlutut.
Aku menggeleng kuat-kuat sembari terus
merapalkan kata ‘Tidak mungkin’ layaknya
sebuah mantra. Berusaha meyakinkan hatiku
bahwa yang kudengar barusan adalah salah.
Bahwa kecurigaanku tidak dibenarkan dengan
perkataan Appaku tadi.
Tapi kenyataan mengkhianatiku. Karena apa
yang kudengar setelahnya, menghancurkan
semua penolakkanku atas kenyataan saat ini.
‘Ah, ya. Aku juga sedikit menyayangkan karena
gadis bernama Agnes itu tidak ikut mati
bersama kedua orang tua dan kakaknya’.
Brakk!!
Entah mendapat kekuatan dari mana, tubuhku
yang semula terasa bagai kertas kini sudah
kembali bangkit berdiri dan tanpa pikir
panjang langsung mendobrak pintu ruang
kerja Appaku.
Persetan dengan rasa hormat! Aku sudah tidak
peduli.
“APA MAKSUD DARI SEMUA INI?!!”
Bersambung…
#krik krikk


Aku dan KamuWhere stories live. Discover now