"Lima ratus ribu," jawabnya jutek.

Aku mengambil uang sejumlah lima ratus ribu dari dompetku dan memberinya pada Cinta. "Balikin duit yang lo copet sekarang."

Cinta hanya mengamati uang itu tanpa ada sedikit pun minat untuk mengambilnya.

"Lo nggak perlu nyopet lagi." Aku berkata serius. "Udah gue bilang kan, kalo lo perlu duit, lo bisa bilang ke gue. Anggep aja itu utang. Lo boleh bayar kapan pun kalo lo udah punya duit."

Cinta tersenyum sinis. Lalu menolak uang yang sudah aku sodorkan padanya. "Gue nggak butuh duit lo. Gue bisa cari sendiri."

"Tapi nggak dengan cara nyopet!" Sial. Aku kelepasan lagi membentaknya.

"Terus dengan cara apa? Minta ke ortu kayak lo lakuin setiap hari? Gitu? Ha?"

Aku tersikap mendengarnya. Baru kali ini aku merasa sangat dipermalukan.

"Cowok manja kayak lo itu nggak pantes ngomongin hal-hal kayak gitu ke gue!" Cinta mendengus jijik, lalu berkata tajam, "Karena lo nggak tau, gimana kerasnya hidup kayak gue!"

"Terus hal yang bener menurut lo itu kayak gimana? Jadi pencopet yang sok baik dengan mulangin lagi duit yang udah dicopet? Gitu?" Aku tahu, Cinta sedang menahan amarahnya dalam-dalam. Tapi, semuanya sudah kepalang tanggung, cewek keras kepala itu tidak akan mengerti. "Sekali pencopet, mau lo balikin tuh duit kek, tetep aja judulnya pen-co-pet!"

PLAKK!

Bisa kurasakan pipi kananku yang panas akibat tamparan Cinta. Tapi aku membiarkannya.

"Bacot doang kerjaan lo dari awal kenal gue! Gue udah sering denger hal-hal kayak gitu. Jadi nggak perlu lo omongin lagi, gue udah paham!" Mata Cinta berkilat marah. "Lo itu baru kenal gue kurang dari sebulan! Jadi jangan sok tau apa pun tentang hidup gue!"

Dia lalu berlari ke luar. Entah aku harus mengerjarnya atau tidak. Awalnya aku tidak ingin mengerjarnya, memangnya apa yang aku harapkan dari cewek itu? Tapi setelah menyadarinya ... Cinta menangis. Hal yang tidak pernah dia lakukan sejak aku mengenalnya. Jadi dengan perasaan bersalah, aku langsung mengejarnya.

"Cinta!" Dia tetap berlari di depanku. Rambutnya yang dikuncir asal-asalan semakin terlihat berantakan. "Cinta, denger dulu!"

Dia berbalik setelah aku berhasil menggapai tangannya. Dia berkata sambil mengelap sisa-sisa air matanya. "Apa? Belom cukup ngehina guenya?"

"Denger gue." Cinta langsung menatapku tajam. "Kalo lo perlu duit, lo tinggal bilang ke gue. Ya?"

"Mulai sekarang mending lo berhenti deh bilang hal-hal sok baik kayak gitu." Dia berkata dengan suara parau. "Gue nggak butuh omong kosong!"

"Omong kosong apanya?"

"Adek gue kecelakaan tadi pagi," katanya getir. "Tapi lo di mana? Gue udah coba nelponin lo terus-terusan kayak orang kesurupan. Tapi lo dimana?! Ha?!"

Rasanya seperti ada sesuatu yang langsung meremas-remas hatiku. Membuatnya langsung diterpa rasa bersalah yang tak mau hilang. Aku menyesal telah memarahinya. Aku menyesal telah membentaknya. Aku menyesal tidak mendengarkan penjelasannya. Aku ... menyesal tidak bisa ada untuknya.

"Gue ... sorry."

"Nggak apa-apa." Aku benci mendengarnya berkata seperti itu. "Gue udah sering dikecewain."

Aku menelan ludah dengan susah payah "Terus adek lo gimana?"

"Udah di rumah." Aku menghembuskan napas lega. Dia lalu berkata setengah menyindir, "Udah ditanganin Dokter pake duit hasil nyopet."

Behind Every LaughWhere stories live. Discover now