#8 One Day to Remember

Mulai dari awal
                                    

"Guk! Guk! Guk!"

"Mampus. Itu. Anjing. Nggak. Capek. Capek. Ngejar. Kita. Apa?" Kataku ngos-ngosan.

Nathan tidak menjawabnya. Dia sedang sibuk mengatur nafasnya.

Tiba-tiba saja aku merasakan tanganku ditarik ke sebuah belokan. Nathan yang menarikku langsung menyuruhku diam. Beruntunglah kami saat anjing gila tadi tidak berbelok dan malah berlari lurus ke dapan. Bagus. Jauh-jauh sana!

Nathan mengelap keringat yang sudah membasahi dahinya. Haduh, kenapa dia bisa terlihat begini keren sih? "Sumpah, engap banget gue."

"Tapi lo jadi nggak ngantuk kan?" Aku nyengir. "Itung-itung olahraga pagi."

"Nggak gini-gini juga, kali."

Aku mengatur nafasku sebentar lalu mengeluarkan kocokan tersebut dari dalam tas kecilku. "Sekarang giliran gue ya?" Tanpa menunggu jawabannya aku langsung mengocok kocokan tersebut dan mengeluarkan satu gulungan kertas. Dengan hati berdebar aku membukanya dan membacanya keras-keras. "Bantuin nenek Ema."

Nathan langsung menghembuskan nafas lega.

"Pilihan gue mah bagus. Emang elo?"

"Berisik."

Nenek Ema adalah seorang nenek renta yang tinggal di ujung jalan sana. Dia hidup sebatang kara. Aku sering melihat hanya duduk bengong di teras tanpa melakukan apa-apa. Terkadang aku merasa kasihan melihatnya.

Aku dan Nathan lalu mendatangi rumah nenek Ema. Nenek Ema yang awalnya kebingungan apa maksud kami datang ke rumahnya, akhirnya bisa menerima kami di sana.

Kami membantunya menyapu halaman, menyapu rumah, mengepel lantai, memasak, memasang hordeng, memijiti Nenek Ema, sampai memetik buah kelapa—yang terakhir ini sih, hanya Nathan yang melakukannya.

Sekitar jam sebelas siang kami selesai bantu-bantu di rumah Nenek Ema dan segera pamit pulang setelah sebelumnya kami disuguhi makan siang dari Nenek Ema.

Benar-benar Nenek yang baik. Kasihan dia ditinggalkan keluarganya.

"Nenek Ema kasihan ya." Aku bergumam tanpa sadar di jalan pulang dari rumah Nenek Ema. "Gue nggak kebayang kalo udah tua nanti gue digituin."

Nathan menatapku serius. "Ya makannya lo nurut sama orang tua."

Kurang ajar! Aku kan memang anak baik-baik!

Kami menepi sebentar dan duduk di trotoar jalan.

"Capek?" Nathan bertanya tiba-tiba. Aku menggeleng secepat mungkin. Tanpa sadar dia lalu mengacak-acak rambutku. Duh, kenapa aku jadi salah tingkah begini?

Untuk menghilangkan rasa grogiku, aku mengambil kocokan itu lagi dan menyerahkannya pada Nathan. Berbeda dengan kali sebelumnya, kali ini Nathan menyempatkan diri untuk berdoa terlebih dahulu. Katanya sih, biar dapetnya bagus. Dia mengocoknya dan mengambil sebuah gulungan kertas yang keluar dari sana lalu membukanya, setelah sebelumnya menatapku terlebih dahulu.

Dia menghembuskan napas lalu membacanya keras-keras. "Matiin sekring warga komplek."

Aku dan Nathan sama-sama refleks menepuk jidat masing-masing.

"Kocokan lo kok bala terus sih?" Aku cemberut.

Dia hanya nyengir bersalah lalu mengebalikan kocokan tadi padaku.

Kami lalu berjalan menuju pusat listrik warga komplek yang terletak persis di samping rumah Pak RW.

"Bisa digebukin kita." Nathan berkata takut-takut. Aku hanya terkekeh sebentar.

Behind Every LaughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang