(preview) Kenangan 2015

1.2K 183 8
                                    

...
...
...

Hari ini februari, tahun 2015.

Sebentar lagi sekolah libur, setelah kami melaksanakan ujian kenaikan kelas yang cukup melelahkan. Tapi aku masih belum bisa bernafas lega karena belum menerima rapor, takut beberapa mata pelajaran ada yang nilainya menurun. Jika itu terjadi, papa dan mama tentu akan menghukumku.

Aku selalu peringkat 1 sejak masih Sekolah Dasar hingga kini Menengah Pertama, terakhir kenaikan kelas 2 kemarin aku juga peringkat 1 lagi. Tentu saja aku bersyukur karena terlahir dengan kepintaran seperti ini, tapi tetap saja semuanya tidak mudah, banyak sekali jerih payah yang tak dilihat orang-orang di baliknya, dan beberapa dari mereka mengatakan bahwa aku memiliki privilege atas kepintaranku, karena itu aku selalu peringkat 1 dengan mudah.

Ya ampun.

Mereka tidak tahu jika nilaiku turun sedikit saja, papa dan mama akan memarahiku habis-habisan, dan aku dipaksa belajar tanpa boleh tidur.

Mereka sayang padaku, tapi mungkin mereka hanya tegas dan disiplin. Mungkin.

Line~

Oh.

Jeno-ya
Aku boleh main?
19.00

Ke rumah kamu
19.02

Jeha tiba-tiba mengirimiku chat, dan aku agak terkejut melihat isinya. Dia memang tidak pernah main ke rumah lagi, terakhir saat dia masih bayi, katanya.

"Jen, ayo turun! Waktunya makan malem!"

Suara panggilan mama di lantai satu membuatku terkejut. Aku bergegas keluar kamar dan berlari kecil menuruni tangga, melihat mama sedang menyajikan masakannya di meja makan saat itu. Ku lihat, papa juga melipat korannya dan bangkit dari sofa.

Lalu saat aku baru saja duduk di kursi makan, aku melihatnya, anak laki-laki dengan kaos hitam itu terlihat baru saja keluar dari dapur setelah selesai mencuci piring. Berkontak mata denganku sesaat, dia cepat-cepat menaiki tangga menuju lantai dua.

Sementara mama dan papa tak bereaksi apapun, seolah mereka menganggap Jaemin adalah hantu penunggu rumah yang tak kasat mata. Hal itu membuatku tiba-tiba menjadi canggung sendiri dan duduk dengan tidak nyaman.

"Em, pa."

Papa tak menoleh, hanya menggumam untuk menyahuti panggilanku. Beliau tampak sibuk dengan ponselnya, seperti sedang membalas pesan seseorang.

"Itu... aku suruh dia turun ya?"

Bahkan sepertinya tidak sampai satu detik, papa langsung menoleh ke arahku, memandang dari balik kacamata bening tanpa bingkainya. Ku lihat, alisnya tampak bergerak samar, seperti mengatakan jika ia terganggu dengan pertanyaanku.

"Nggak."

"Emang kenapa pa? Kan sekalian makan bareng—"

"Kamu ini tuli apa gimana? Papa udah bilang nggak?" Nadanya meninggi, membuatku agak bergetar. "Gausah sok baik kamu itu."

Sejujurnya, aku agak tersinggung. Apa maksudnya sok baik? Aku hanya ingin mengajak saudara tiriku itu makan bersama karena sekalian saja.

"Emang kita pernah makan sama anak itu? Nggak pernah kan? Jadi kamu nggak usah sok ngajakin dia makan."

Aku tak menjawab lagi, karena nampaknya papa benar-benar marah.

"Dia bisa makan sendiri nanti, kamu ngapain peduli sama dia?" Mama menyahut, intonasinya yang datar dan dingin tak berbeda dari papa.

"Kamu pikir papa nggak tau kalau kamu sering ngasih makananmu ke dia?" Sambungan papa membuat jantungku seperti terhenyak sesaat. Tunggu, bagaimana papa tahu tentang itu?

"Pa, aku—"

"Kalau mama suruh kamu makan ya makan aja, nggak usah ngasih makanan kamu ke dia. Papa tau kamu bohong beberapa kali ke mama."

Pada akhirnya, aku hanya menunduk, sampai lupa membalas chat Jeha yang ku abaikan sejak tadi sampai anak itu spam.

"Kamu denger atau nggak? Taruh hp-nya!"

...
...
...

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 23 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dear, you [DEAR J II]Where stories live. Discover now