(preview) bagian 3

1.7K 260 25
                                    

...

...

...


Ah, papa dan mama lumayan strict dengan nilaiku di sekolah, jadi sebisa mungkin minimal nilaiku harus stabil dan tidak turun.

Haha, yah... kadang itu membuatku cukup stress, aku pernah jatuh sakit dan tak bisa belajar dengan maksimal alhasil nilaiku menurun, mama dan papa benar-benar tak mentolerirnya.

Karena itu sebenarnya aku cukup— sangat iri dengan kehidupan Jeha dan keluarganya, sebagai seseorang yang sering bertamu dengan rutin dan melihat rutinitas mereka sehari-hari secara langsung, aku cukup takjub karena keluarga mereka seharmonis itu. Orang tuanya tidak pernah mengomel dan marah-marah, selalu memberitahu dan menasehati dengan tutur kata lembut, dan tidak pernah memberi pressure pada anak-anaknya.

Aku harus menjadi orang tua yang seperti itu di masa depan nanti. Pasti.

"Habis ini kita harus belajar ekstra dan kurang-kurangin main ya," ujarku, membiarkannya menggenggam dua jariku karena tangannya jauh lebih kecil.

Sesuai dugaan, Jeha langsung mencebik, bibirnya benar-benar mirip anak bebek. "Heuhh... enggak boleh jajan-jajan lagi?"

"Aku nggak bilang gitu," gelakku. "Boleh kok jajan, pas di sekolah."

"Ih! Maksud aku jalan-jalan sore kayak biasanya! Beli jajan di pinggir jalan!"

Menyunggingkan sebuah senyum tipis, aku melirik ke bawah— ke arahnya yang masih agak kecewa, aku tahu dia mencoba untuk membuatku menarik kata-kataku kembali dengan sepasang netra berkilau mirip mutiara di dasar lautnya. Ku gelengkan kepalaku lantas.

"Nggak boleh sering-sering ya, pas weekend aja, oke?"

"Weekend aja? Nanti kita jarang ketemu dong!" Protesnya.

"Jeha-ya, kita kan ketemu tiap hari di sekolah, kan kita juga bakal belajar bareng pulang sekolah," aku tertawa, lagi.

Ah, sulit untuk menyembunyikan senyumku darinya. Gadis cilik ini selalu bisa membuat hatiku menghangat dengan tingkah menyebalkannya yang kekanakan. Sangat lucu.

Sepulang sekolah itu, kami berdua berjalan menuju minimarket untuk membeli snack, lalu akan mengantar Jeha pulang dengan bus karena kakaknya tak bisa menjemput.

Posisinya aku berjalan di belakang gadis itu dan dia sudah masuk lebih dulu ke dalam setelah aku membukakan pintu kaca minimarket, sampai akhirnya aku urung melangkah saat mataku tak sengaja melihat sosok familiar berdiri dan menuntun sepedanya di seberang jalan.

Mata kami bertemu.

Ah, anak itu...

Saudara tiriku, dia terlihat memandangi kami, entah sejak kapan berdiri di situ. Tak melakukan apapun, hanya berdiri dengan tatapan penuh arti yang tidak ku mengerti.


...

...


Apa jangan-jangan stalker Jeha?

Berdiri dari bangku, aku menyambar tas dan botol minumku. Sebenarnya kami sedang latihan basket sebentar dan aku sedang break, tapi overthinking itu tiba-tiba saja muncul dan membuatku sangat tidak nyaman.

Sedang apa Jeha di jam segini ya? Dia di rumah kan? Aku sudah mengiriminya chat 20 menit yang lalu tapi dia belum membalas—

Line~

Oh! Ini dia.


Jeno-ya

Aku lagi beli bunga

Disini yah

15.30


Location📍

15.30


"Ck!"

Memasukkan botol minum dan menyampirkan tas ke bahu, aku buru-buru pergi dari lapangan basket dan mengenakan jaketku sembari berlari.

"Lah! Jen! Mau kemana oi! Latihannya belum selesai!"

"Hoi kok pergi sih!"

Itu suara teman-teman tim basketku, ah maaf aku tidak punya waktu lagi untuk menjelaskan, aku sangat buru-buru. Jeha pergi sendirian membeli bunga dan dia tidak mengajakku— bukannya bermaksud posesif, tapi aku memiliki perasaan yang tidak baik.

Ah, kenapa juga Jeha jadi sering keluar sendiri seperti ini? Kenapa dia tidak menungguku selesai basket saja? Padahal aku mau mengantarnya meski malam.

Sialnya aku harus naik bus lebih dulu, sepertinya setelah ini aku harus belajar naik motor sendiri agar bisa membawa kendaraan saat ke sekolah, apalagi jika terjadi hal-hal seperti ini.

Semoga Jeha tetap berada di keramaian, setidaknya dia tidak boleh sendirian. Sangat menyeramkan jika benar-benar ada stalker yang menguntitnya.

Begitu turun dari bus, sepasang kakiku yang panjang berlari seperti orang gila, nyaris tertabrak mobil saat menyebrang zebra cross karena aku tidak melihat tanda lampu lalu lintas yang masih merah untuk pejalan kaki. Ugh.

Aku menuju ke lokasi yang dikirimkan Jeha padaku tadi, membawaku ke sebuah toko bunga dengan aksen rustic yang benar-benar 'Jeha' sekali. Tidak heran dia suka datang kemari.

Tapi anak itu malah tidak ada. Aku mengintip ke dalam toko melalui jendela kaca yang lumayan besar, tapi tak ada tanda-tanda kehadirannya. Sepeda keranjangnya yang imut itu juga tak berada di sana.

Tidak mungkin kan dia meninggalkanku?

"Duh, Jeha..."

Merogoh ponsel, aku hendak meneleponnya. Namun sepertinya sepasang netraku ini memiliki magnet tersendiri di dalamnya, hingga secara refleks menoleh ke seberang, melihat seorang gadis cilik sedang memetik bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitar sungai Han.

Agak jauh di seberang sana, tapi aku yakin sekali itu Jeha dari postur dan juga sepedanya.

Lantas, saat itulah sepasang mataku terbuka lebar. Seorang pria tak dikenal yang berpakaian hitam-hitam dan menggunakan masker serta topi terlihat berjalan di belakang Jeha dalam radius 15 meter. Awalnya aku mengira dia hanyalah pejalan kaki biasa, namun ketika dia ikut berhenti saat Jeha berhenti, jantungku berdebar sangat kencang.

"Jeha-ya!!"


...

...

...

Dear, you [DEAR J II]Место, где живут истории. Откройте их для себя