3. Sakha bertanya, orang-orang menjawab

1.4K 301 59
                                    


Sakha tidak membawa satu pun koleksi kameranya, sekalipun kamera pocket yang tidak pernah ketinggalan ada di ranselnya. Dia hanya punya kamera analog yang masih tersimpan di laci kamar. Kamera pertamanya yang dia beli dari uang tabungan. Dia bawa jalan-jalan sore siapa tahu ada yang bisa dia abadikan.

Percakapan dengan Ibu masih terngiang sepanjang hari, bahkan hingga sore ini saat Sakha berjalan ke tanah lapang. Mengikuti rombongan domba yang berjalan ke tujuan yang sama. Mengatur zone focusing tanpa melihat jalan.

"Setahun lalu Binar kecelakaan tunggal. Kakinya nggak bisa jalan. Dengar dari tantenya masih bisa, cuma kecil kemungkinan dan butuh waktu lama. Dia berhenti terapi, mungkin merasa putus asa. Ibu kalau di posisi dia nggak akan kuat, Ka. Apalagi karirnya lagi bagus-bagusnya."

Sakha mengarahkan kamera ke sisi kanannya. Menangkap kawanan burung yang meninggalkan ranting pohon. Kepalanya masih memutar suara dirinya dan Ibu.

"Bukannya dia punya pacar, atau tunangan? Kenapa dia cuma sendirian. Aku mikirnya dia malah udah nikah."

"Kalau itu Ibu nggak tahu. Mungkin pas di Jakarta punya. Cantik dan berprestasi kayak dia masa nggak ada yang deketin."

"Sama sekali nggak ada yang ke rumah?"

Ibu tampak berpikir. "Apa jangan-jangan ninggalin Binar karena kondisinya yang ... pikiran Ibu kejauhan nggak sih, Ka?"

"Wajar."

"Tapi kalau kamu di posisi pacarnya Binar, kamu bakal ninggalin dia, Ka?"

Kameranya berganti ke arah lain. Domba-domba di depannya yang punya buntut lucu.

"Bukannya kalau orang yang kita sayang lagi sakit, kita ikut sakit? Aku bakal di samping dia. Lihat dia sembuh dan bahagia lagi, biar aku juga tenang."

"Kalau nggak bisa sembuh. Amit-amit. Misal nggak bisa."

"Untuk jawab pertanyaan Ibu ini, aku harus cinta ke dia dulu sih, Bu. Biar tahu sedalam apa perasaanku."

"Kamu mau coba, Ka? Biar Ibu punya menantu dekat lagi."

"Terus yang di Jakarta mau aku kemanain, Bu?"

"Belum terlalu serius, kan?"

Bahkan sekarang, Sakha masih tertawa mengingatnya. Menggeleng-geleng. Dia kira membahas tentang kondisi Binar akan benar-benar sedih. Tahunya Ibu malah berbelok ke sana-sini.

Suara tawa Sakha mengundang tolehan kepala pemilik domba. Umar dengan segera menghampiri, menyibak domba kisaran sepuluh ekor itu, masih mengenali teman sebangkunya dulu ketika SD.

"Halah, kamu ternyata. Aku udah curiga aja tak kira maling domba."

Sakha nyengir. Tidak sungkan memeluk Umar yang bau kecut. "Aku udah tertarik sama yang paling kecil."

"Sejuta aku lepas." Mereka melangkah bersisihan.

"Aku cuma pulang bentar. Kasihan Ibu mesti ngurus domba juga."

"Ibumu padahal suka domba, lho."

"Oh ya? Nanti deh aku tanya. Siapa tahu mau satu."

Sampai di tanah lapang, Umar dengan santai mengawasi ternaknya sambil duduk di rerumputan. Tali di leher domba-domba itu cuma hiasan.

"Nggak bakal lepas tuh, Mar?"

"Aman. Eh, kamu udah ketemu Binar dong?"

"Udah."

Mereka bertiga teman satu kelas saat SD.

"Kamu sering main ke rumahnya, Mar?"

"Nggak berani. Binar yang sekarang pelit senyum. Nggak ramah kayak dulu. Tapi aku maklum. Siapa yang kuat dikasih cobaan begitu. Kalau aku udah lompat ke sungai mungkin."

Love Wins All [End]Where stories live. Discover now