Prolog - Usai.

12 1 0
                                    

"Kali ini serius, mari kita sudahi hubungan ini, Sereia."

Ku tatap nanar lelaki yang berada di hadapanku saat ini. Rasanya benar-benar sakit. Aku marah, aku kecewa. Seperti dihujam ribuan pisau diwaktu yang bersamaan. Menyakitkan. Dengan susah payah 'ku tahan air mata, walau sebetulnya ingin sekali aku tumpah ruah.

"Aku sudah bilang, aku tidak mau." aku menolaknya mentah-mentah.

Sudah keberapa kalinya Sagara menyakitiku hingga membuatku menangis dengan ajakan putusnya itu. Aku bahkan tidak ingat sudah berapa kali aku menolak ajakannya.

"Aku minta maaf, Sereia. Di sini aku juga terluka. Aku menyayangimu melebihi apapun. Tapi selamanya juga kamu tidak akan bisa aku miliki." ujarnya.

"Kenapa? Kenapa tidak bisa?"

"Kenapa kamu masih bertanya?"

Benar. Kenapa aku masih mempertanyakannya?

Tentu saja kami tidak bisa saling memiliki. Aku hanya berusaha mengelaknya dan mengulur waktu untuk perpisahan itu. Aku belum siap.

"Kalau kamu belum punya jawaban, aku akan bertanya lagi minggu depan." ujar Sagara.

Aku menghela napas berat, masih berusaha menahan tangis. Ku tatap matanya dengan angkuh seolah aku bisa menerima tatapan matanya. Semakin tajam aku menatapnya, semakin jelas pula emosi yang tersirat di mataku.

"Aku bilang, A-KU TI-DAK MA-U!" ujarku dengan penuh penekanan. Aku sudah tidak bisa mengendalikan emosiku. Dengan perasaan kesal aku berlalu dari hadapan Sagara, berjalan menuju mobil kami.

Nampaknya lelaki itu ikut kesal. Ia terlihat menendang tembok di belakangnya sebelum menyusulku masuk ke dalam mobil.

Selama perjalanan pulang, kami saling diam. Baik aku maupun Sagara tidak ada yang memulai percakapan. Tentu saja, memang apa lagi yang mau kami bicarakan?

Aku benar-benar marah padanya. Sagara telah mempermainkanku. Tadi pagi ia buru-buru membangunkanku dengan alasan ingin mengajakku menonton film di bioskop. Memang benar, bahkan dia sampai mengajakku berkeliling mall kemudian membeli sepatu couple yang nantinya akan kami pakai saat pergi bersama. Aku sangat senang.

Tetapi kesenangan itu hanya berlangsung sesaat karena setelahnya ia langsung mengajakku putus saat kami masih berada di tempat parkir mobil. Benar-benar tidak punya hati.

Aku kira ia sudah melupakan ajakan itu karena beberapa minggu ini Sagara tidak pernah menanyakannya. Tetapi hari ini, tepat di samping mobil kami, ia mengulanginya lagi.

"Kalau kamu mengajakku pergi hanya untuk mengatakan hal seperti tadi, jangan pernah mengajakku pergi lagi. Aku sudah senang walau hanya duduk berdua denganmu di sofa ruang keluarga." ujarku memecah keheningan. Mengubah fokus Sagara dari jalanan, kini ia menoleh ke arahku.

"Maaf, Sereia. Aku hanya berusaha membuat suasana hatimu baik agar bisa kuajak bicara." tatapan penyesalan tampak dari kedua mata Sagara. Tapi itu tidak menggoyahkan hatiku, aku tetap pada amarahku.

"Mau sebaik apapun suasana hatiku, permintaanmu itu akan selalu menghancurkannya. Jadi, cukup basa-basinya, Saga. Dan berhenti memanggilku dengan nama itu. Apakah aku se-asing itu bagimu?" celotehanku berhasil membungkam mulut manis Sagara. Baguslah, aku cukup puas.

"Maaf, Reia. Itu tidak akan terjadi lagi. Aku benar-benar minta maaf." kali ini permintaan maafnya terlihat lebih tulus.

Aku menganggukkan kepalaku lalu menoleh ke jendela, untuk menghindari kontak mata dengannya. Sungguh, meskipun aku terlihat keras dalam menghadapi Sagara, sebetulnya aku benar-benar lemah terhadapnya. Aku tidak pernah bisa berlama-lama mengabaikannya. Maka dari itu, aku berusaha untuk terlihat tak acuh untuk mendapatkan perhatiannya kembali.

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: May 10 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

Don't Blame Our Fate Onde histórias criam vida. Descubra agora