Ujung Senja

8 0 0
                                    

Saat itu hujan turun dengan derasnya. Membasahi tanah gersang yang sebelumnya tertimpa terik yang menyengat. Di bawah atap halte, aku berteduh dengan beberapa orang. Ku nikmati momen itu dengan tenang dan damai. Sampai akhirnya aku melihat Dinda yang juga sedang berteduh di halte. Ia duduk di kursi lain yang berada di ujung halte.

Saat itu aku tersenyum. Pikirku ini takdir. Karena hampir dua minggu ini , aku tak bertemu dengannya. Membuat rindu ini menumpuk bagai PR Pak Imron. Tapi belum sampai aku membuat langkahku untuk menghampiri Dinda, mataku melihat sosok lain yang duduk persis di samping Dinda. Dia adalah Anton—sahabatku.

Mereka duduk sangat dekat bahkan terlihat seperti menempel. Dan tak hanya itu, mereka saling bergandengan tangan. Seketika suara bising hujan yang menghunjam atap halte, tak kurasakan bisingnya. Suara-suara kendaraan yang lalu lalang. Dan obrolan tak jelas beberapa orang, seperti lenyap.

“Bagaimana bisa?”

Nafasku menjadi berat. Lidahku terasa keluh. Aku seperti tidak mengerti apa yang sedangku lihat sekarang ini. Apakah ini sebuah mimpi? Atau khayal yang tercipta karena aku terlalu lelah. Aku akui, dua minggu ini aku belajar dengan sangat giat untuk bisa mendapatkan beasiswa ke Universitas ternama yang aku idamkan. Sehingga waktuku untuk bertemu Dinda hampir tak ada.

Aku lelah, otakku terasa penat mempelajari semua buku-buku yang seolah tidak ada habisnya. Tapi pikirku, semua lelahku itu akan terbayar. Penatku akan terobati. Setelah lulus tes beasiswa, aku bisa beristirahat sejenak dan aku berniat menghabiskan banyak waktu dengan bunga cinta yang selalu ku kagumi keindahannya itu.

Tapi sepertinya aku melupakan sesuatu. Bunga mawar itu, selain indah dan wangi, juga memiliki duri. Dan sepertinya aku kurang berhati-hati.

Ku tutupi wajahku. Aku tidak mau sampai Dinda melihatku. Aku tidak mau terlihat menyedihkan di hadapan mereka yang dengan jahatnya melukaiku dari belakang. Sahabat yang sudah aku kenal 5 tahun. Dan pujaan hati yang aku kagumi selama hampir 2 tahun.

Aku tahu, tak banyak yang bisa aku berikan kepada Dinda. Saat sedang jalan berdua di malam minggu, aku tak mampu mengajaknya ke tempat yang bagus atau membelikan makanan yang mahal. Uang jajanku hanya 5 ribu, mana bisa aku membelikan sesuatu yang mewah. Sedang Dinda, adalah wanita cantik yang selalu menjadi pujaan para lelaki di sekolah.

Aku jadi heran, kenapa bisa aku mendapatkan hati Dinda. Wanita yang bahkan mungkin, tidak memiliki kecacatan. Cantik, pintar dan juga kaya.

Langit mendung masih menghiasi langit. Ku lihat awan gelap itu. Aku kira hujan akan turun agak lama.

“Pengecut!” ucapku lalu berlari menembus hujan yang masih turun lebat. Aku tidak peduli jika tubuhku basah. Aku tidak peduli kalau seragam yang besok masih aku pakai basah. Aku tidak peduli. Aku hanya khawatir, aku tidak bisa menahan kesedihan ini dan menangis di sana. Aku tidak mau terlihat cengeng. Aku tidak mau terlihat lemah. Oleh karena itu aku berlari bersama hujan. Berharap air mataku bisa mengalir dengan bebas tanpa ada yang tahu. Dan berharap hujan yang mengguyur bisa menjernihkan kepalaku.

Selama seminggu, ku simpan rapat2 rahasia ini. Rahasia yang membuatku tersiksa. Rahasia yang membuat nafasku terasa sakit dan sesak. Aku ingin tahu seberapa hebat aku menahan rahasia yang menyakitkan ini. Hingga pada akhirnya, aku menyerah.

Malam ini aku sengaja berbohong kepada Dinda. Padahal selama 2 tahun menjalin cinta dengannya, tak pernah sekalipun aku membohonginya. Ku katakan kepadanya kalau malam ini harus aku belajar. Dan seperti yang telah aku duga, ia membiarkan aku belajar. Hebatnya ia tak lupa memberiku ucapan semangat dengan emot love dan kecupan. Aku hampir muntah melihat emot itu. Membuatku semakin ingin segera mengakhiri hubungan ini.

Malam ini aku tahu Dinda dan Anton akan bertemu di sebuah kafe. Ada kafe baru di sekitar taman Bungkul. Dan di mana ada kafe baru yang langsung terkenal, Dinda akan pergi ke sana. Dan informasi ini juga di-iya-kan oleh teman dekat Dinda, si Della.

Kehadiranku di kafe itu membuat Dinda langsung berdiri dari duduknya. Mukanya yang sebelumnya terlihat begitu bahagia, kini tampak sedikit pucat saat ia melihatku. Sedangkan Anton membuang pandangan dariku seolah tidak menyadari kehadiranku. Atau mungkin ia masih memiliki rasa malu karena aku telah memergokinya bersama dengan Dinda di kafe?

“Sayang, aku bisa jelaskan–” kata Dinda panik.

“Tidak perlu, lanjutkan saja. Aku ke sini hanya untuk melepas penat usai menghafal kosa kata bahasa Jepang.”

“Bro, aku hanya mengantar Dinda ke sini. Della enggak bisa menemani Dinda dan kebetulan aku lagi longgar, kamu juga kan lagi belajar. Jadi–”

“Kenapa kamu menjelaskannya? Apa kamu pikir aku ke sini untuk menuduh kalian bermain cinta di belakangku? Kau sahabatku, aku tidak akan berpikir buruk seperti itu.”

Anton seketika salah tingkah.

“Bukan begitu, Bro. Aku hanya tidak mau kamu salah paham. Makanya aku jelaskan.”

“Iya sayang. Benar apa yang Anton katakan. Maaf kalau aku tidak bilang kamu dulu. Aku juga takut kamu salah paham.”

Aku tertawa kecil mendengar keduanya sama-sama bekerja sama untuk menutupi kebusukan mereka.

“Oh iya Ton. Bagaimana kabar  Friska? Aku dengar, kamu sukses menyatakan cintamu ke dia, ya?”

Wajah Anton berubah tegang. Matanya melirik Dinda sekilas. Sedangkan Dinda terlihat terkejut. Namun ia segera menyembunyikan rasa terkejut itu dan bersikap seperti tidak ada masalah.

“Kamu tahu dari mana kabar itu bro?”

“Dari Friska. Dia cerita semua. Kamu nembak dia di atap sekolah sambil menyanyikan lagu romantis dan membawakan seikat bunga. Sangat romantis,” ucapku sambil melepas senyum paling lebar.

Anton tersenyum canggung.

“I-iya Bro. Aku enggak nyangka dia mau menerima pernyataan cintaku.”

“Lalu kenapa kamu tidak memberitahuku dan mentraktir aku sesuatu?”

“I-itu karena kamu sibuk, i-iya, karena kamu terlalu sibuk. Aku jadi sungkan kalau mau mengganggumu.”

Aku kembali tersenyum.

“Kamu ini aneh, saat sahabat bahagia, sudah seharusnya aku juga turut bahagia. Lagi pula merayakannya tidak akan menghabiskan waktu belajarku. Apa kau lupa kalau otak temanmu ini encer?”

“I-iya juga sih. Oh bagaimana kalau sekarang saja aku traktir kamu?”

“Boleh, aku mau es Aloe Vera.”

“Baiklah, biar aku pesankan.”

Anton segera ke kasir untuk memesan minuman yang aku minta. Sedangkan Dinda, langsung menggeser tempat duduknya agar lebih dekat denganku.

“Sayang, aku kangen banget sama kamu,” ucapnya sambil melingkarkan lengannya ke lenganku.

‘Aku baru tahu, ternyata selain penipu, ia juga tak tahu malu. Tadi ia sangat mesra dengan Anton, kini jadi sangat menempel denganku. Apa dia tidak memperhatikan orang-orang di sekitarnya?’ batinku.

“Begitukah?”

“Kok begitukah? Apa kamu enggak kangen aku juga?” tanya Dinda dengan muka cemberut.

Jujur saja aku ingin menyiram muka itu dengan air kencing.

“Aku yang sekarang, seperti seekor burung dalam sangkar, yang sangat merindukan awan biru dengan kepingan awan putihnya. Dan siap untuk lepas ke angkasa.”

Kening Dinda mengerut.

“Maksudnya?”

“Bukan apa-apa,” kataku dengan senyum penuh makna.

Tak lama setelah itu Anton kembali dengan membawa segelas es Aloe Vera yang penuh dengan es. Melihatnya saja membuatku bisa membayangkan betapa segarnya minuman itu.

“Ini Bro,” ucapnya meletakkan es itu di hadapanku.

“Makasih, Bro,” ucapku.

Setelah Anton duduk kembali, aku langsung meneguk minumanku. Rasa segar langsung mengalir di kerongkonganku.

“Ah.... segar sekali! Kamu tahu, Bro? Ini minuman paling segar dan paling unik yang pernah aku minum.”

“Oh ya?”

“Yups! Kamu tahu kenapa?” tanyaku setelah meletakkan gelas itu dengan sedikit keras. Membuat Anton dan Dinda menjingkat kaget.  Dan orang-orang di sekitar seketika menoleh dengan rasa ingin tahu.

“Ke-kenapa Bro?”

“Coba kamu bayangkan. Kamu duduk di sini, di posisiku. Lalu diberi minuman oleh sahabatmu sendiri yang sudah menikamu dari belakang. Rasanya unik, aneh dan sulit untuk dijelaskan,” kataku dengan sebuah senyum yang tak terlihat seperti senyum juga. Entahlah.

“Maksudmu apa Bro? Menikam? Maksudnya apa? Memang aku melakukan apa ke kamu, Bro?” tanyanya sambil tersenyum bego.

“Aku yakin kamu pasti tahu.”

“Bagaimana aku bisa tahu Bro? Kalau aku ada salah, katakan. Dan aku akan meminta maaf padamu.”

Aku tersenyum tipis sambil melirik ke arah Dinda sekilas. Aku bisa melihat bulir peluh di kening gadis bermata bening itu. Padahal kafe ini lumayan dingin karena dilengkapi 4 buah AC. Mungkin, ia sudah menyadari bahwa aku telah mengetahui dosanya bersama Anton.

“Minggu lalu, saat hujan turun, di bawah atap halte, sepulang sekolah. Aku melihat kalian berdua, duduk dengan sangat dekat,” ucapku.

Untuk 3 detik, tak aku dengar suara Anton maupun Dinda. Bahkan suara nafas mereka juga tak terdengar. Mereka tak bergerak sama sekali. Yang aku lihat, wajah mereka seketika menengang bagai Mungkin karena keduanya sama-sama terkejut dengan apa yang telah aku ungkapkan. Menurutku ini wajar. Siapa pun akan terkejut saat ketahuan telah berbuat dosa.

“Be-benarkah? Mungkin kamu salah lihat Sayang. Aku tidak pernah—”

“Ah iya Bro. Itu memang kami,” sela Anton.

“Anton!” celetuk Dinda panik.

Ku lirik Dinda, lalu mataku beralih kembali pada Anton. Keduanya memiliki mimik wajah yang berbeda. Dinda terlihat sangat panik. Dan Anton terlihat tegang. Jelas sekali kalau Anton mencoba untuk bersikap lebih tenang. Aku cukup kenal dengannya, ia sangat cerdik saat situasinya terjepit. Tapi aku datang bukan untuk kalah darinya. Aku ingin ia mengalami hal yang serupa seperti yang telah aku alami.

“Sayang, aku bisa jelaskan. Apa yang Anton katakan—”

“Sudah Din. Jangan buat Awan menjadi salah paham. Aku memahami situasi ini,” sela Anton kembali.

Anton menatapku lurus dengan mata serius.

“Biar aku jelaskan agar tidak salah paham Bro.”

Aku menyandarkan punggungku dan bersikap lebih tenang. Aku siap mendengarkan semua kebohongannya.

“Sebenarnya, waktu itu jemputan Dinda mengalami masalah. Mobil yang biasa digunakan untuk menjemput Dinda mengalami masalah mesin. Jadi waktu itu dia bertemu denganku di halte. Ia hendak pulang dengan kendaraan umum. Jadi wajar kalau kami sedang bersama saat itu. Tapi hanya sekedar teman, Bro. Kita tidak melakukan hal yang kau pikirkan sekarang. Dan kamu sendiri sedang sibuk belajar. Lalu bagaimana Dinda bisa pulang kalau aku tidak membantunya? Lagi pula, jika kamu melihat kami, mengapa kamu tidak mendatangi kami saja? Jadi kamu tidak akan salah paham seperti ini.”

Aku tersenyum.

“Kamu benar-benar cerdas. Tapi dengan bukti ini, bagaimana bisa kau akan menjelaskannya?” tanyaku lalu melempar dua lembar foto yang sama.

Bola mata Dinda dan Anton secara spontan melirik ke arah foto. Dan keduanya sama-sama terkejut saat melihat foto mereka yang sedang berciuman di belakang sekolah tempo hari.

“Ada penjelasan? Aku bisa menunggu kalian menjelaskan sampai kafe ini tutup. Hari ini aku cukup belajar dan sedang ingin melepaskan penat yang aku pikul selama seminggu lebih ini.”

“Sayang, aku tidak bermaksud saat itu situasinya–” bibir Dinda tercekat. Mungkin ia tak mendapati alasan yang tepat.

Aku hanya tersenyum. Aku tahu Dinda tidak akan bisa memberikan pembelaan. Aku lebih tertarik mendengar pembelaan dari Anton. Aku tahu dia akan memberikan perlawanan yang sengit.

“Aku minta maaf Bro. Aku tidak bermaksud. Saat itu kami hanya main-main saja. Kami tidak memiliki rasa apa-apa. Hanya main-main saja,” kata Anton.

Untuk beberapa detik, aku hanya diam menatapnya. Jujur, dalam hati aku merasa kecewa dengan pembelaan yang ia berikan.

“Apa hanya itu saja? Kau berciuman dengan Dinda dan kau hanya memberiku alasan bahwa kau hanya main-main saja dengan Dinda? Apa otak licikmu itu sudah tumpul? Atau kau sudah pasrah dengan dosamu?”

Sorot mata Anton seketika berubah tajam.

“Apa maksud perkataanmu? Apa kau mencoba mempermainkan aku?” tanyanya pelan namun mukanya tampak murka.

“Kamu menuduhku, atau menuduh dirimu sendiri?”

“Lalu apa maumu?” tanya Anton.

“Sayang, aku minta maaf,” ucap Dinda memelas.

Aku hanya meliriknya sekilas lalu kembali menatap Anton.

“Sebenarnya aku ingin kamu memberikan sedikit perlawanan. Memberikan kebohongan yang indah hingga membuatku tercengang dan hampir percaya. Tapi kau malah menyerah. Mengatakan bahwa kau dan Dinda hanya main-main.”

“Lalu apa kamu berharap aku dan Dinda menjalin hubungan yang serius?”

“Aku rasa itu lebih baik. Akan jauh terdengar kejam jika kau hanya main-main saja. Aku tidak masalah jika hubungan kalian menjadi serius. Aku akan turut bahagia.”

“Sayang!” kini air mata membasahi mata bening Dinda.

Namun aku tak lagi peduli.

“Aku tidak bisa menjalin hubungan yang serius dengan Dinda, Wan. Aku sudah punya Friska. Kamu tahu, bahwa sudah lama aku mengincarnya. Lagi pula, Dinda benar-benar mencintaimu.”

“Hubunganku dan wanita ini, sudah berakhir sejak aku memasuki kafe ini. Jangan libatkan dia. Aku lebih suka kita mengobrol sampai asa sebuah kesepakatan.”

“Kesepakatan? Kesepakatan apa?”

“Kesepakatan untuk sama-sama merasakan kekecewaan. Aku sudah kecewa karena telah dikhianati dua orang yang sangat aku percaya. Kini giliranmu untuk merasakannya juga.”

Anton diam memperhatikan aku dengan muka bingung.

“Apa kau tak memahami maksud perkataanku?”

“Apa kau ingin hubungan pertemanan kita berakhir? Kalau itu memang bisa membuatmu lega maka akan aku lakukan. Setelah ini, aku tidak akan muncul di hadapanmu lagi.”

“Bukan itu. Aku tetap ingin untuk kau tetap menjadi sahabatku. Agar batinmu merasakan sesak setiap bersama denganku. Rasa bersalah itu, akan membuatmu tersiksa.”

“Lalu apa yang kau mau dariku?” tanya Anton.

“Tinggalkan Friska,” jawabku lugas.

Anton tertawa tak percaya.

“Aku sudah katakan aku tidak bisa. Aku mencintainya Wan. Setelah 2 tahun berusaha akhirnya aku bisa mengungkapkan perasaanku. Aku tak mau melepaskan Friska.”

“Mau tidak mau, bukan kamu yang menentukan,” kataku lalu menunjukkan layar hapeku kepada Anton.

Mata Anton langsung mendelik begitu melihat layar hapeku.

“Awan! Jangan Wan! Please, Wan!” pinta Anton.

Entah kenapa, aku sedikit puas saat melihat Anton yang mulai panik.

“Awan! Kita sudah menjadi teman selama lebih dari 5 tahun. Jangan bersikap kejam seperti ini Wan!”

“Kau tahu, Ton? Orang paling kejam adalah orang baik yang disakiti. Kau harus menuai apa yang kau tanam. Ini sudah hukum alam,” kataku lalu tanpa ragu mengirim foto ciuman Dinda dan Anton.

Dan tak perlu waktu lama, Friska memutus hubungannya dengan Anton hanya lewat pesan suara 

“Tega kamu Wan! Kenapa kamu libatkan Friska?!” teriak Anton lalu membanting hapenya hingga pecah berkeping-keping.

Orang-orang di sekitar mulai bereaksi. Mereka memprotes apa yang baru saja Anton lakukan.

Aku berdiri sebelum kondisi kian tidak stabil. Namun sebelum meninggalkan kafe, aku sempatkan membalas kata-kata Anton.

“Tega? Aku rasa tidak, Ton. Aku hanya menyampaikan surat dari Tuhan. Bahwa karma itu nyata. Dan ini, hanya awalnya saja.”

***
Ini hanyalah potongan cerita. Aku buat cerita pendek seperti ini. Cerita yang lebih panjang, akan hadir. Tapi entah kapan.
Terima kasih telah hadir dan membaca.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 07 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ujung SenjaWhere stories live. Discover now