Bagian 1

15 4 4
                                    

Langkah kaki serta deru napas terdengar jelas di koridor sepi malam itu. Seorang lelaki bertubuh tinggi berdiri di ujungnya seolah sedang memikirkan sesuatu. Wajahnya yang pucat langsung menoleh ketika seorang gadis bergaun tidur berlari mendekatinya.

“Louie! Louie!” panggil gadis itu sebelum berhambur ke dalam pelukannya dengan tubuh bergetar. “Tolong aku! Alistair. Dia ... dia membunuh semuanya.”

Lelaki bernama Louie itu diam sejenak. Tangannya terangkat untuk membalas pelukan sang gadis, mengelus rambutnya yang lurus panjang berwarna coklat muda. “Di mana Alistair sekarang?”

“Di bawah. Dia membunuh kedua orangtuaku. Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Tidak apa, Elena. Semua akan berakhir. Kau tidak perlu takut!” Louie mengeratkan pelukannya—sangat erat sampai Elena merasakan sesuatu yang berbeda dari tunangannya itu.

“Lou-ie?” panggilnya terbata, nyaris meringis.

Diam. Tidak ada lagi suara bariton sang lelaki. Mereka terjebak dalam keheningan sampai sepasang taring menancap pada leher Elena.

“Louie!” Gadis itu terpekik. “Ini bukan saatnya untuk—“ Elena terdiam begitu merasakan aura mengerikan dari Louie. Ia bergidik, meringis, dan rasa sakit menjalari lehernya.

Memang sudah biasa sesama vampir untuk saling meminum darah, tapi yang Louie lakukan kali ini berbeda dari yang pernah terjadi. Lelaki itu mengisapnya dengan kuat dan tanpa henti, hingga Elena merasa energinya ikut terkuras keluar. Tangannya mencengkeram kuat pada punggung kekar berbalut mantel hitam pekat.

“Le—pas! Louie, sudah!” erang Elena, bersusah payah mendorong tetapi tenaganya semakin lenyap. Tangannya terkulai lemas ke samping tubuh. “Kenapa?” Ia bertanya dengan nada lirih, menggunakan sisa tenaganya, tetapi belum sempat mendengar jawaban Louie, tubuh Elena berubah menjadi debu dan lenyap dalam sekejap.

Louie berdiri, mengelap sisa darah di bibirnya lantas beranjak pergi. Ingatan saat malam ketika ia dan kelima saudaranya melaksanakan kudeta terhadap orangtua mereka kembali menyeruak.

Saat itu Alistair mengungkapkan rahasia kenapa ia menjadi kuat, hingga dapat membunuh pemimpin Stanford dengan tangannya sendiri.

‘Ketika darah murni meminum darah sesama sampai ke intinya, maka ia akan semakin kuat.’

Tidak ada yang percaya, tapi mereka setuju untuk membuktikannya bersama dan itulah mengapa kediaman Loyd menjadi tujuan pertama mereka.

Sejak dahulu, Loyd dan Stanford saling menjodohkan keturunan mereka agar darah murni itu tetap terjaga. Itulah kekangan sebagai bagian dari Stanford.

Maka ketika kekuasaan Stanford telah berpindah ke tangan Alistair--sang sulung--maka kebebasan pun telah berada di tangan mereka.

"Satu kekangan telah berakhir," gumam Louie. Malam itu ia menghabisi seluruh keturunan Floyd, termasuk tunangannya sendiri demi membuktikan kekuatan yang Alistair katakan.

"Sudah selesai dengan tunanganmu?" tanya Alistair begitu Louie menuruni tangga menuju ruang utama.

"Sudah."

"Apa yang kau rasakan sekarang?"

"Tidak ada rasa apa-apa."

Alistair tersenyum tipis, lalu melangkah keluar, melewati genangan darah di lantai ruang utama mansion itu. Sebelum benar-benar pergi, ia berhenti dan berbalik. "Louie, sesuai perjanjian, sekarang kau bebas melakukan apa pun."

"Aku tahu."

Louie hanya diam berdiri di tengah ruangan, menatap empat saudaranya yang lain ikut keluar menyusul Alistair.

Sebelum membantu melakukan kudeta pada sang ayah, Alistair berjanji tak akan mengatur siapa pun di antara mereka dan Louie memutuskan untuk meninggalkan kediaman Stanford menggunakan kebebesan itu.

Louie hendak pergi tetapi bangunan itu tiba-tiba bergetar; semua perabotan berjatuhan ke lantai, pecah dan bertebaran. Ia bergegas menuju pintu tetapi saat membukanya, sebuah petir menyambar di hadapannya, menciptakan kilatan terang menyilaukan.

Saat membuka mata kembali, iris merah Louie menangkap sebuah desa yang seharusnya tidak ada. Ia tak mengenal tempat itu. Ketika berbalik untuk kembali, pintu yang ia buka sebelumnya pun menghilang, berganti menjadi tanah kosong.

Belum lengkap keanehan yang terjadi, Louie mencium aroma darah Elena. Dahinya mengernyit, vampir yang telah mati menjadi debu tak akan lagi menyisakan apa-apa.

"Hei, apa yang kamu lakukan di sana?" sapa sebuah suara lembut yang tidak asing.

Louie menoleh, matanya melebar kala Elena berdiri di hadapannya. Gadis itu baik-baik saja, malah ia tampak lebih hidup. Tidak ada kulit putih pucat layaknya vampir.

"Kamu mendengarku?" sapa gadis itu lagi.

"E-lena?" panggil Louie lirih.

"Kamu tahu namaku?"

Belum sempat Louie menjawab, sebuah tangan menembus perut gadis itu. Tubuhnya jatuh tersungkur ke tanah.

Tatapan Louie tajam ke arah seseorang yang baru saja membunuh Elena. Ia tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena tertutup bayangan rumah di sampingnya.

"Selamat datang Louie. Kamu memiliki waktu 24 jam untuk menemukan pintu keluar beserta kuncinya. Jika gagal dari batas waktu yang ditentukan, kamu akan terjebak di sini untuk selamanya," kata orang itu dengan suara berat.

"Apa maksudmu? Di mana aku sekarang?" tanya Louie.

"Semoga beruntung." Alih-alih menjawab, orang dalam bayangan itu menghilang begitu saja.

Suasana menjadi sangat hening sekarang. Tubuh gadis yang menyerupai Elena masih tergeletak tidak bergerak. Louie berlutut untuk dapat menjangkau dan mengeceknya.

"Sudah mati," gumamnya lirih.

Ia kembali berdiri, mengamati sekitar. Tempat itu begitu asing, bahkan Louie tidak mengenal aromanya. "Di mana ini?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 07 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Redemption: DiabolicWhere stories live. Discover now