Chapter 3 - Poisonous Apple

118 28 12
                                    

Bukan hal baru bila seekor kambing hitam akan dikorbankan ketika sebuah kasus tidak berjalan sesuai harapan. Hidup Biba saat ini sedang berada di ujung tanduk. Dia menyesal karena telah mengatakan bahwa suatu hari Frank akan benar-benar menghancurkan hidupnya. Dia menyesal karena dia merasa seperti telah membuatnya jadi kenyataan karena mengucapkannya keras-keras.

Tubuh Biba gemetar hebat dalam ikatannya tatkala tangan dingin putra mahkota mengangkat wajahnya, memaksa Biba untuk menatap iris biru yang dulunya terlihat indah di mata Biba. "Kau juga punya mata yang sama denganku rupanya. Mengapa aku baru menyadarinya sekarang?"

"Yang Mulia, menghabisi seseorang yang lemah dan tidak ada hubungannya seperti saya tidak akan mencegah bencana yang sama terulang lagi di masa depan."

"Aku juga mengetahuinya, tapi aku tidak punya pilihan. Tolong jangan terlalu membenciku. Salahkan saja nasib burukmu yang menyebabkan semua ini terjadi." Ascelo menyamankan punggungnya pada sandaran kursi. "Orang bilang, saat kau masuk istana, kau harus punya keberuntungan dan kecerdikan atau setidaknya salah satunya. Kalau tidak, kau tidak akan bisa menyelamatkan diri."

"Saya punya!" Biba mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk berseru. "Saya memilikinya!"

Pikiran Biba benar-benar kacau balau. Namun, dia tidak bisa membiarkan dirinya mati begitu saja di tempat ini dan karena sesuatu yang tidak dia lakukan. Di detik terakhir sebelum kapak algojo menyentuh kulit lehernya, Biba meminta pada putra mahkota, "Bisakah saya melihat rumput itu lebih dekat?"

Ascelo merasakan sesuatu yang menarik –yang dapat menghiburnya dalam diri Biba. Oleh karena itu, dia memberinya ijin dan membiarkannya mengendus rumput itu seperti hewan ternak.

Hewan ternak. Salah satu sudut bibir Ascelo naik. Biba saat ini memang terlihat seperti salah satunya.

"Apel," gumam Biba. "Meskipun samar-samar, saya bisa mencium aroma apel dari rumput ini, Yang Mulia."

"Apel?"

"Terkadang, kuda-kuda juga diberi buah-buahan seperti apel untuk camilan."

"Seperti dessert?"

Biba mengangguk. "Saat diberi makan apel, kuda biasanya mengunyah dengan berantakan hingga sari apelnya akan jatuh ke atas rumput di kandang. Akan tetapi, seharusnya kuda itu tidak mungkin makan apel karena–"

"Sekarang adalah Pekan Casteli," potong Ascelo.

"Benar."

"Kudaku memakan apel di hari ketika dapur istana saja tidak boleh memilikinya... Dari mana kau tahu itu adalah apel? Bagaimana aku bisa yakin kalau kau tidak hanya mengarangnya saja?"

"Saya besar di peternakan dan ayah saya juga seorang petani. Saya bisa mengenali berbagai jenis tanaman hanya dari aromanya. Selain itu..." Biba menjeda kalimatnya, ragu-ragu apakah dia boleh mengatakannya juga. Namun, tatapan putra mahkota yang tak pernah lepas darinya memaksa Biba. "Saya juga bekerja di toko ramuan pada hari libur."

"Lalu, apakah kau juga tahu racun apa yang diletakkan di sini?"

"Iya."

"Menarik." Ascelo mengangkat tangannya agar algojo menjauh dari Biba. "Aku ingin mendengarnya lebih lanjut."

Biba akhirnya dapat menghembuskan napas lega ketika kapak itu dijauhkan. "Ada satu jenis racun yang jarang digunakan, tapi cukup terkenal karena keunikannya. Nama racun itu adalah abracas. Gejala awalnya adalah halusinasi dan peningkatan suhu tubuh. Pada manusia, satu sendok saja cukup untuk membunuh. Efeknya bekerja setelah dikonsumsi selama 5 sampai 6 jam dan pada hewan bisa lebih lama. Biasanya menyisakan aroma manis yang menipu bila dicampur dengan makanan."

THE CRIMSON SAGA | TXT ft. ENHYPENWhere stories live. Discover now