Bab 42

1.8K 302 226
                                    

Ares sudah menduga ujung-ujungnya akan seperti ini. Apa yang ia takutkan benar-benar terjadi. Cuti panjangnya terasa sia-sia, saat tidak ada satu pun dari ketiga wanita itu yang berhasil menimbulkan kesan berbeda di hatinya.

Semuanya zonk.

Sebenarnya mereka semua wanita berpenampilan menarik, hanya saja ia tidak menangkap getaran itu. Apa mungkin Kirana yang kelewat kuat di hatinya atau memang matanya saja yang rewel? Tapi jika ini soal mata, seharusnya mereka semua lolos seleksi awal.

Fayre, Edrea, dan Medina, mereka semua tergolong good looking walau tidak berada pada level kecantikan seperti Kirana. Ares menyadari, kecantikan Kirana memang berada di level yang berbeda. Tetapi ia sedang tidak mencari pembanding Kirana, sungguh tidak. Tidak secantik Kirana pun tidak apa-apa. Tapi masalahnya, hatinya tidak merasakan debaran-debaran yang membuatnya ingin bergerak lebih jauh. Mereka semua enak dilihat, tapi ternyata semua itu tidak cukup kuat untuk membuat rasa takjubnya terseret.

Tidak ada pujian khusus di hatinya. Ia tidak larut tenggelam saat menatap mereka. Bagi Ares, mereka semua sama aja. Ares tahu mungkin memang matanya yang rewel, bahkan terhadap wanita yang sebenarnya sudah memenuhi kualifikasi berpenampilan menarik. Ia bahkan tidak terkesan dengan manik abu-abu Fayre. Ia memang sempat memperhatikan sejenak ketika Fayre muncul dengan manik abu-abu, tetapi herannya tidak menimbulkan kesan yang sama seperti saat ia melihat Ais. Pikirannya malah terpecah karena manik abu-abu itu kerap membawa wajah Ais ke hadapannya.

Ares sendiri bingung dengan dirinya. Kenapa jadi Ais?

Maksud Ares, softlens memang membuat mata para wanita menjadi lebih indah. Tetapi rasanya baru pada Ais, ia menemukan softlens abu-abu bisa terlihat sangat berbeda. Ia bahkan sempat mengecek rekomendasi softlens di Tiktok. Ada yang cokelat, hijau, abu-abu terang, dan seketika membuat mata terlihat menjadi lebih besar. Tapi, tidak ada yang mirip Ais. Maksud Ares, kesan yang ditimbulkan.

Kenapa Ais lagi? Ares mengerjapkan mata saat lagi-lagi mengingat Ais. Gara-gara softlens, ia jadi teringat-ingat. Ares sungguh tidak mengerti, ketika entah sejak kapan wajah Ais jadi lebih sering membuntutinya, bahkan di saat ia sedang cuti. Mulai dari ia bangun tidur di apartemen Radi, kemudian berangkat ke bandara, naik pesawat, hingga mendarat di Jakarta. Tidak biasanya ia memikirkan sekretaris saat sedang cuti.

Ares merasa, sedang ada yang tidak beres pada dirinya sehingga tiap kali bayangan wajah Ais muncul, ia akan mengerjap dan menggeleng kecil supaya tidak semakin teringat-ingat. Saking seringnya, Radi sampai menanyainya saat mereka menunggu pesawat take off.

"Lo kenapa? Kok dari tadi kayak....." Radi menirukan gerakan kepalanya.

"Telinga gue kemasukan air," jawabnya berbohong. Padahal, ia sedang mengusir bayangan Ais yang entah sejak kapan menjangkiti bak wabah. Sungguh bayangan yang bandel, berkali-berkali muncul tanpa diundang.

Diam-diam Ares menyimpan cemas, entah cemas akan apa. Yang jelas, ia mulai sedikit ketakutan. Tidak jelas takut akan apa. Ares hanya berusaha agar kekuatan lain entah apa itu tidak mengambil alih pikiran, hati, dan jiwa raganya.

Kini cutinya sudah selesai. Besok pagi ia kembali ke Surabaya. Ares masih berusaha menguatkan hati, jika mungkin harus tetap menikahi salah satu dari ketiga wanita kenalannya demi melanjutkan hidup. Usianya sudah tiga puluh tujuh tahun. Ia ingin menikah dan memiliki anak sebelum mengejar target-target lain dalam hidupnya. Ares sudah memikirkan alur hidupnya matang-matang. Ia ingin melanjutkan rencana-rencananya yang sempat tertunda karena menunggu Kirana.

Dari balkon kamarnya, Ares menatap kolam renang di bawah sambil memikirkan sedalam apa hatinya mampu pura-pura cinta? Seumur hidup itu lama. Mana yang lebih mengerikan? Menua sendirian atau pura-pura cinta seumur hidup?

POINT OF VIEWWhere stories live. Discover now