Rendra segera bersembunyi dengan tubuh Hutomo ke balik tangki air, menunggu.

Begitu sang pemilik langkah tiba di atap, aroma asing yang Rendra cium makin jelas.

Di atas gedung puluhan lantai, semilir angin malam kian kencang, membawa aroma tubuh dari wanita dengan kaki telanjang masuk ke hidung Rendra. Jika dideskripsikan, aromanya jernih, membuat Rendra terbayang embun hampir beku di dataran tinggi. Nyaris seperti petrikor, tapi terlapis oleh wangi pohon Aras—pasti ini dari parfum, tapi sisanya tidak. Rendra juga mencium aroma tubuh yang benar-benar membangunkan indra. Aroma tubuh wanita yang khusus hanya bisa dicium olehnya. Hanya satu di dunia.

Rendra mengerjap-ngerjap dengan detak jantung bertalu.

Jadi, seperti inikah rasanya jika mutan bertemu belahan jiwa?

Dia kembali menatap sosok wanita di depannya. Pakaian wanita itu terlihat formal dengan blus putih dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya pendek dan dikucir satu secara asal, Matanya besar, bersorot liar karena mencari-cari sesuatu di sekitar. Wajahnya agak berkeringat. Napasnya terengah. Semuanya terlihat memesona untuk Rendra.

Selain menyadari wanita itu tak mengenakan alas kaki—mungkin dia meninggalkan sepatu hak tingginya di tengah jalan—Rendra tentu menyadari hal paling penting: wanita itu membawa revolver.

Baiklah. Rendra makin sadar, situasi ini bukan situasi ideal untuk bertemu belahan jiwa. Namun, ini bukan yang terburuk.

Tak membuang waktu, Rendra pun keluar dari balik tangki air, berjalan mendekat hingga wanita itu bisa melihatnya dengan jelas.

"Siapa kamu?" tanya wanita itu, langsung mengacungkan revolvernya ke Rendra. "Apa yang kamu mau?"

Rendra menatap perempuan itu. Seluruh tubuhnya terasa relaks dan ingin menikmati tiap detik yang dia miliki saat ini. Ah, ternyata begini rasanya pas ketemu belahan jiwa. Dia hanya mau tersenyum melihat perempuan di depan, yang kini Rendra beri nama panggilan Shiro-ya dalam otaknya, karena perempuan itu berpakaian serbaputih dari blus hingga celana. Namun, meski Rendra hanya ingin tersenyum, dia yakin senyumnya di saat ada revolver mengarah ke dirinya akan disalahartikan oleh Shiro-ya. Padahal Rendra ingin tersenyum karena dia akhirnya bertemu belahan jiwanya, bukan karena dia maniak darah.

Tak ada yang membuatnya resah atau takut saat ini. Toh, peluru tak terlalu berpengaruh kepada mutan Meliora berlevel Letnan sepertinya, sebab kemampuan regenerasinya lebih cepat dibanding mutan Meliora level bawah.

Untuk membuat perempuan itu menurunkan pertahanan, Rendra menurunkan buff dari hidungnya ke leher, membuat seluruh wajahnya terlihat jelas. Hal ini membuat Shiro-ya sedikit terkejut, tetapi tetap mengacungkan revolvernya.

"Gue Rendra," ujar Rendra, mengangkat dua tangan sekilas. "Lo nyari siapa?"

Shiro-ya sempat menurunkan revolvernya, ragu. "Saya cari bapak-bapak pakai kemeja hijau. Tadi dia lari ke sini. Sembunyi di mana si Hutomo?"

"Ah, Hutomo, ya." Rendra tersenyum minta maaf. "Sori ya, gue ada urusan sama dia. Jadi gue harus bawa dia pergi."

"Saya juga ada urusan sama dia!" Shiro-ya kembali menaikkan revolver. "Di mana dia sekarang?"

Rendra tersenyum, santai. "Apa urusan lo sama dia sampai lo bawa revolver? Apa lo mau dia mati? Atau, mau siksa dia dulu sebelum dibunuh?"

Wajah Shiro-ya masih kaku, sama sekali tak terlihat relaks. Genggamannya di revolver tetap kukuh. "Kamu siapa? Pasti kamu bukan dari kepolisian kan?"

Rendra tertawa. "Jelas bukan." Dia berdeham. "Begini, gue punya ide bagus. Gue bakal ambil Hutomo pergi, dan kalau lo mau, gue bisa siksa dan bunuh dia, jadi lo nggak perlu berurusan sama mayatnya. Riwayat lo pun tetap bersih dari catatan kriminal. Gimana?"

Tumbuh dalam Runtuh (CindeRendra)Where stories live. Discover now