"Good? That's all?" Seolah dapat melihat ketidaktulusan Rinel, manik mata terang Lakhan menyiratkan kedongkolan. Baru beberapa menit berinteraksi dengan gadis itu, ia sudah merasakan banyak ketidakcocokan di antara mereka.

Bukan hanya perkara respons asal-asalan terhadap ruang kerjanya, karakter Rinel sendiri cukup menjadi masalah baginya. Saat dulu Lakhan memilih Badi menjadi sekretarisnya, ia tidak hanya menilai dari kemampuan mumpuni pemuda itu, tapi juga melihat dari kepribadian Badi yang terbuka dan ekspresif. Lakhan lebih suka bekerja bersama dengan manusia bertipe open book*—terutama untuk seseorang yang akan menjadi tangan kanannya.

(*Orang yang transparan, mudah mengetahui apa yang dipikirkan atau dirasakannya.)

Membayangkan dirinya menghabiskan sebagian besar waktu dengan orang yang terlalu tenang dan minim ekspresi seperti gadis di hadapannya, Lakhan sontak bergidik. Nope. Not possible. It must be really boring!

"Ehm, ehm .... Bos?" Di sampingnya, Badi berdeham sedikit keras. Meski tampak canggung, si sekretaris berusaha mencairkan suasana kaku di antara dua orang itu. "Can we start the test now?"

"Oh, you still here?" Lakhan melirik sekilas. Gara-gara sibuk memikirkan kekesalannya terhadap Rinel, ia sampai mengabaikan sekelilingnya.

Ya, Tuhan. Badi menahan diri untuk tidak mengelus-elus dada. Bagaimana bisa Lakhan melupakan keberadaannya begitu saja?

"Yeah, let's get it done quickly."

Nada bicara Lakhan yang tak serius membuat Badi sontak memandang Rinel. Ia yakin gadis itu juga bisa merasakan keapatisan Lakhan yang cukup frontal. Namun, kekhawatiran Badi langsung berganti menjadi kekaguman saat menyaksikan Rinel yang tetap duduk dengan bahu tegak. Whoa, she's strong.

What a dull person. Berlawanan dari sekretarisnya, Lakhan tak memiliki hasrat untuk bercakap-cakap lebih jauh. Lebih dari itu, ia sama sekali tak menyukai cara Rinel memandangnya.

Sambil menyandarkan punggungnya dengan hempasan kasar, Lakhan mengingat-ingat profil kelima peserta yang ditunjukkan Badi saat mereka berada di dalam lift. Menurut data yang dibacanya, Rinel baru menginjak usia 27 tahun sekitar tiga bulan lalu. Bukankah itu berarti Rinel empat tahun lebih muda darinya? Jadi, kenapa Rinel malah menatapnya dengan ekspresi penuh kesabaran dan pemakluman, layaknya wanita dewasa yang sedang menghadapi bocah tantrum? Hah, yang benar saja.

Tak mau mengulur-ulur waktu, Lakhan segera memutar salah satu monitor komputernya, lalu mengajukan pertanyaan seperti yang ditanyakan ke peserta sebelumnya. "What do you think about this?"

Alih-alih menjawab, Rinel justru terpegun dalam diam. Sepasang manik mata gelap itu dengan cepat bergerak ke kanan dan kiri, nyaris tak berkedip saat memandangi puluhan aktivitas yang terekam di CCTV. Meski tak mengharapkan apa pun dari si kandidat, Lakhan tak melewatkan setiap ekspresi yang terlukis di wajah itu.

Detik demi detik berlalu, sampai akhirnya Rinel buka suara. "This is amazing, Sir."

Kalimat bernada takjub yang meluncur dari bibir Rinel berhasil memicu reaksi tak biasa dari sang penguji. Dengan mata memicing, Lakhan menghentikan kegiatannya memutar-mutar kotak permen di tangan kanan. "What's amazing?"

"All of this." Tak menyadari tatapan ganjil Lakhan yang kini terpaku padanya, Rinel masih memandangi monitor dengan senyum yang semakin mengembang. Wajahnya pun tampak lebih bersinar dibanding sebelumnya, seakan ia telah menemukan sesuatu yang membuatnya antusias. "Saya mulai memahami kenapa departemen ini dinamakan Silma* Bridge. Tempat ini merupakan 'mata' The Capital. Badan pengawas yang memiliki kontrol penuh dalam memantau perusahaan—how can that not be considered amazing?"

Silma BridgeOnde histórias criam vida. Descubra agora