1. My Life Right Now

12.6K 535 21
                                    

Seminggu setelah Papa meninggal, aku menuntut cerai. Untuk apa mempertahankan pernikahan yang seharusnya tidak pernah terjadi sejak awal? Pernikaham itu ada karena ego Papa, ambisinya untuk mengembangkan bisnis.

Dan juga, karena ambisiku ingin mendapatkan hak yang seharusnya jatuh ke tanganku, tapi diabaikan hanya karena aku perempuan. Jika menikah bisa membuatku membuktikan diri, kenapa tidak?

Fuck my patriarchal family.

Or they're just simply... toxic.

Ketika Papa meninggal, aku tidak meneteskan air mata sedikit pun. Tidak ada perasaan kehilangan. Sebaliknya, aku merasa lega karena tidak ada lagi sosok yang selalu membuatku merasa tidak pantas. Sosok yang tidak pernah bisa menilai secara objektif, dan menganggapku tidak layak memimpin perusahaan hanya karena aku bukan anak sulung, dan juga bukan anak laki-laki.

Aku juga tidak menangis saat bercerai. Begitu hakim mengetuk palu, Erick menarik napas lega. Tjdak ada lagi yang menghalanginya untuk menjalin hubungan dengan Vanya, perempuan yang dicintainya. Erick juga tidak menginginkan pernikahan ini. Dia melakukannya karena tidak ingin kehilangan warisan. Sekarang, dia mendapatkan semuanya, warisan dan juga perempuan yang dicintainya.

Aku tidak bersedih karena Erick. Sepuluh tahun menikah, dia sudah menjadi sahabatku. Hanya dia yang mengerti alasanku bertahan di pernikahan itu.

"Let's still be friends," ujar Erick sebelum berpisah denganku di ruang sidang.

Aku tidak menangis untuk hidupku.

Namun, aku menangis untuk anak kecil yang hidup di dalam diriku, anak kecil yang selalu berusaha keras untuk mendapat pengakuan dari orang tuanya, tapi sampai di usia pertengahan 30-an, pengakuan itu tidak pernah didapat.

Aku menangis untuk anak kecil yang selalu menanggung kecewa hingga tidak lagi berani berharap ada tang tulus menyayanginya.

Aku menangis untuk anak kecil yang selalu dikecewakan hingga hatinya mati rasa.

Malam ini, aku ingin mengucapkan selamat tinggal untuk anak kecil itu.

"Kita mau ke mana?" Aku setengah berteriak untik meningkahi musik yang memenuhi mobil agar Jihane mendengarku.

"Party, Babe."

"Satu jam," ucapku.

"What?" Jihane berteriak.

"Gue kasih waktu satu jam, setelah itu kita pulang."

"What? I can't hear you."

Jihane jelas mendengarku, dia hanya tidak mau mengikuti permintaanku. Sejak dulu, Jihane selalu melabeliku party pooper.

Dia sepupu sekaligus sahabatku. Meski aku dan Jihane bertolak belakang. Aku serius belajar sementara Jihane lebih senang nongkrong. I'm a straight A student, Jihane terpaksa mengandalkan suap dari orang tuanya agar lulus sekolah. Aku serius, Jihane is the light of the party. Jihane penyeimbang untuk hidupku yang berantakan.

Jihane menghentikan mobil di depan klab di Seminyak. Dia menyerahkan kunci ke petugas valey sebelum menarikku masuk.

"Okay, this isn't you." Aku memandang sekeliling, mengamati kondisi klab yang berbeda dari yang biasa dikunjungi Jihane.

Jihane langganan Potato Head. Sedangkan klab ini terlalu kecil untuk party people seperti Jihane.

"This is special, Babe." Jihane mengerling sebelum meninggalkanku di meja.

Aku memandang sekeliling. Meski beberapa kali menikmati nightlife, aku merasa out of place di tempat seperti ini. Dulu aku mati-matian belajar demi mendapat nilai bagus, dengan begitu Papa percaya aku bisa menggantikannya dj perusahaan. Aku bekerja dari bawah, untuk membuktikan diri. Aku bekerja mati-matian untuk dilihat dan diakui. Dan sekarang, setelah kakakku menyerahkan posisinya, aku ditunjuk menjadi CEO, aku bekerja lebih keras lagi karena posisi itu bisa diambil begitu saja dari tanganku. Aku berjuang mati-matian untuk mendapatkannya, dan aku tjdak akan menyerahkannya karena pria toksik di jajaran direksi yang tidak percaya perempuan bisa jadi pemimpin.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang