5: Ingin Tidur Sebentar

13 3 0
                                    

Sepulangnya dari makan malam, Orlin diantar pulang oleh Faris dan Sherly sampai apartemennya. Selama perjalanan, hanya Faris dan Sherly yang berbicara atau bercanda, Orlin sama sekali tak menanggapi obrolan. Seolah nyawanya tak ada di tempat.

Berkali-kali Sherly menengok ke belakang--tempat Orlin duduk, tak ada ekspresi apapun dari Orlin. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Faris pun melakukan hal yang sama. Keduanya enggan mengusik pikiran Orlin yang sudah penuh.

Begitu mobil Faris terparkir di basement, Orlin baru bergerak.

"Makasih ya, Faris dan Sherly. Kalian hati-hati pulangnya," ucap Orlin tanpa memandang keduanya

Sherly menghela napas kasar tanpa bersuara apapun dari bibirnya. Enggan menanggapi Orlin, dia dan Faris turun dari mobil dan membuka pintu belakang tempat Orlin duduk.

Orlin pun tersenyum tipis. Dari situ Sherly dapat melihat mata Orlin yang sedikit bengkak dan memerah. Faris pun tak bisa berkata apapun, hanya berinisiatif membawa barang bawaan Orlin. Mereka berdua menemani Orlin hingga masuk ke dalam apartemen.

"Kalian kenapa repot-repot?" tanya Orlin, begitu barang bawaannya masuk dan kedua temannya itu duduk.

"Kita cuma mau pastiin lo nggak nyasar ke kamar orang, Kak," sahut Faris sekenanya. Nada bicaranya terdengar serius.

Orlin mendengus dengan bibir tersenyum miring. "Nggak mungkin lah, gue masih sadar!"

Faris langsung berdiri dan menarik tangan Sherly. "Yaudah kalau begitu. Sher, ayo kita pulang, Kak Orlin udah waras kok."

Sherly melepas paksa genggaman Faris sambil berdecak kesal. "Nggak peka banget deh jadi cowok!"

Gantian Faris yang berdecak. "Justru gue peka, dia butuh waktu sendiri, lo mau ganggu dia yang lagi banyak pikiran gini?" bisiknya pada Sherly.

Melihat interaksi keduanya, Orlin tertawa kecil. "Gue beneran nggak apa-apa kok, kalian pulang aja. Udah jam sebelas, besok kita kerja, besok kita masih ketemu lagi."

"Beneran nggak apa-apa? Beneran besok lo bisa masuk kerja, Kak?" tanya Sherly ragu.

Orlin mengangguk mantap.

"Kan. Udah yuk, pulang! Nyokap lo nyariin, gue nggak tanggung jawab," ajak Faris dengan ancaman.

Dengan langkah berat, Sherly mendekat pada Orlin dan memeluknya. "Istirahat ya, Kak, kalau ada apa-apa telepon gue atau Faris. Jangan dipendam sendirian!"

Orlin hanya tersenyum seolah meyakinkan Sherly. "Iyaaa."

Keduanya pun pamit, meninggalkan Orlin dan berkali-kali keduanya menoleh ke belakang hingga elevator terbuka.

***

Siapa yang tidak khawatir, mengingat Orlin tidak mengeluarkan ekspresi apapun selain menangis dalam diam sejak di restoran tadi?

Sejujurnya, sudah seminggu terakhir Orlin kehilangan jadwal tidurnya. Dia takut menderita insomnia ataupun gejala depresi seperti yang pernah dia ketahui saat kuliah dulu. Dia sungguh merasa kosong akhir-akhir ini, dan sedikit bersyukur ternyata dalang dari masalah utamanya sudah berhasil menampakkan diri. Sehingga kekosongan itu sekarang sudah terisi penuh dan berganti dengan beragam emosi.

Orlin menghela napas panjang yang terdengar teramat sesak. Dia paham bahwa selama ini dia memanipulasi isi hatinya sendiri. Hingga mengganggu jadwal tidurnya. Dia bahkan bingung harus menceritakan masalah dan kegelisahannya akhir-akhir ini pada siapa.

Orlin hanya ingin tidur sebentar saja. Tidur selayaknya orang normal lainnya. Tidur selayaknya dia yang tak memiliki masalah. Ternyata dia terlalu hebat memanipulasi semuanya.

Viva ForeverDonde viven las historias. Descúbrelo ahora