Kasih sayang masih terpancar sempurna dari sikap Arka untuk Alma. Dan Adel merasa teramat sedih melihat Arka seperti itu.

Adel tidak tahu harus melakukan apa, maka dia hanya memberi pelukan hangat yang semoga saja bisa menenangkan. "Sabar, ya... pelan-pelan aja, aku yakin pasti pada akhirnya Alma bisa mengerti." Arka mengangguk, menangis pelan dalam pelukan Adel.

***

Alma duduk di tepi ranjang sembari merenung. Matanya menatap lekat pada foto yang terpasang gagah di atas dinding. Fotonya bersama Arka yang saling berangkulan dan tersenyum lebar.

Memandangi foto itu, bibir Alma tersenyum tipis. Teringat masa lalu mereka yang menyenangkan. Masa lalu penuh suka cita, penuh tawa dan juga canda.

Alma masih ingat bagaimana mereka selalu bermain berdua, melakukan kenakalan hingga di hukum. Di saat Arka menangis, Alma yang menghapus air matanya. Di saat Alma yang menangis, Arka akan melakukan segala cara agar Alma tertawa.

Mereka saling melengkapi satu sama lain. Membuat hari-hari mereka penuh kebahagiaan.

Ya, sebelum semua kekacauan ini terjadi. Kekacauan yang telah Alma lakukan di hidup mereka hingga tak ada lagi senyum yang bisa mengembang selepas itu di bibir Alma.

"Arkana Putra Hamizan..." Alma menggumamkan nama itu. Rasanya menyenangkan sekali bisa menyebut nama Arka selengkap itu. Dan kini rindu kembali membuncah di hati Alma.

Kemarin, Alma telah memenangkan sisi egoisnya. Dia melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia mau. Tapi ketika semuanya tidak berjalan sesuai rencananya, Alma yang marah memilih untuk menyakiti Arka.

Tapi Indra benar, ternyata tak ada gunanya dia menyakiti Arka. Karena ketika Arka tersakiti, Alma pun juga merasakan hal serupa.

Dan sekarang... Alma ingin segera mengakhiri semua itu.

Alma pergi mencari orangtuanya. Suara televisi menyala serta obrolan ringan sayup-sayup terdengar. Langkah kakinya yang teramat lambat akhirnya berhenti di tempat Papa dan Mamanya berada.

Mereka sedang menonton televisi sembari bersenda gurau. Abi berbaring di atas sofa, kepalanya berada di atas pangkuan Gisa. Pemandangan yang menghasilkan senyuman di bibir Alma.

"Pa, Ma," panggil Alma pelan. "aku boleh cerita?"

Gisa dan Abi saling memandang, lalu mereka mengangguk serentak.

Alma duduk di seberang mereka, gelagatnya terlihat gelisah hingga Abi menatapnya khawatir. "Kamu baik-baik aja, Al?"

Alma ingin mengangguk, tapi dia sudah lelah berbohong. "Nggak..." Bisiknya pelan. "aku... nggak baik-baik aja, Pa."

Abi dan Gisa saling menatap cemas satu sama lain. Gisa mematikan televisi, kemudian menatap Alma lekat, menunggu apa yang akan Alma sampaikan.

"Aku telah melakukan kesalahan. Kesalahan yang besar." Alma menatap mereka berdua dengan mata berkaca-kaca. Di sudah menemukan jalan buntu, maka satu-satunya hal yang bisa Alma lakukan hanya kembali berlari ke tempat di mana orangtuanya berada.

"Aku jatuh cinta." pada akhirnya Alma berani mengucapkan kalimat itu dengan tegas setelah sekian lama berusaha menyembunyikannya dari siapa pun.

Abi dan Gisa terhenyak, mereka kembali saling memandang satu sama lain.

"Aku nggak tahu sejak kapan... tapi yang aku tahu, aku mencintainya. Aku menyukai semua perhatian yang dia berikan, menyukai senyumannya, menyukai pelukannya, bahkan suaranya pun bisa menjadi alasanku untuk tersenyum." Alma termenung sendu.

MenungguWhere stories live. Discover now