22. Hasegawa Touma

Start from the beginning
                                    

Jinwook berdeham. Batuk tuanya akhir-akhir ini menghilang dan berganti menjadi dahak yang acap kali susah disingkirkan dari tenggorokannya. Dia menanti alat pemindai tekanan darah selesai melakukan tugas otomatisnya sambil memejam dan menjatuhkan kepalanya pada sandaran kursi.

"Butuh kupanggilkan dokter keluarga, Tuan Lim?"

Jinwook membuka mata, lalu berpaling pada asal suara. Dia menemukan Sangyoon baru saja masuk dan menutup pintu ruang kerjanya.

"Tidak perlu. Pemeriksaan kecil seperti ini tidak butuh dokter. Aku hanya akan melaporkan hasilnya pada Dokter Shin melalui pesan singkat." Jinwook mematikan kembali alat pemindai tekanan darah praktisnya, lalu membuka balutan ban pada lengan atasnya. Di usianya kini, batas tipis di antara kematian dan kehidupan itu bergantung pada angka-angka yang tertera di sana. Tapi untuk sekarang, rasanya dia sudah tidak takut mati lagi. Dia sudah tua, kematian merupakan hal yang sering melekat dengannya hingga dia menjadi terbiasa.

"Haeri menitipkan ini untuk kuberikan padamu," sebut Sangyoon setelah dia tiba di sisi meja kerja Jinwook, di tempat di mana ayah Seokjin itu kini duduk sambil memberi kesan berat pada rautnya.

Jinwook melirik kantung kertas di dalam genggaman Sangyoon sejenak, lalu menghela lelah dan kembali memalingkan wajahnya.

"Minumlah. Ini sari ginseng merah, bagus untuk tekanan darahmu," Sangyoon meletakkan kantong kertas itu ke atas meja.

"Bagaimana Seokjin?" tanya Jinwook.

"Terlihat bahagia. Keputusanmu sudah tepat."

Pujian itu tak membuat Jinwook besar hati. Dia merebahkan punggungnya pada sandaran kursi sambil sekali lagi menghempas napasnya lelah.

"Jadi sudah tidak ada harapan lagi, ya?" Jinwook kembali bertanya.

"Bukankah itu yang terbaik? Menghindari Seokjin dan Haeri agar tidak ... kau tahu."

"Aku sudah tidak pernah mengkhawatirkan yang satu itu."

Sangyoon melihat Jinwook yang kembali gusar, "Kau masih ingin Seokjin menggantikanmu?" tanyanya hati-hati.

Jinwook memandang Sangyoon seolah-olah pria kepercayaannya itu bersikap seperti tidak mengenali dirinya, lalu kembali lagi menjatuhkan pandangannya pada satu titik acak di permukaan meja.

"Mereka memiliki rasa hormat khusus pada Seokjin," balas Jinwook. Nada suaranya rendah. Di dalam hati, Jinwook seperti ingin menyangkal fakta yang satu itu. Semakin besar rasa hormat, semakin besar harapan. Entah bagaimana jadinya jika kelompok pemberontak tahu Seokjin mundur dari bisnis ini.

"Rasa khawatirmu itu beralasan, tapi cobalah kurangi sedikit," Sangyoon meraih selembar kertas dari atas meja Jinwook, membacanya sebentar, lalu meremukkannya hingga menjadi bola yang begitu kecil. Sangyoon pikir, kebiasaan Jinwook mengumpulkan hasil tes darah rutinnya hanya akan membuat ruang kerjanya ini menyemak oleh tumpukan kertas-kertas tak perlu, maka dia buang bola kertas itu ke dalam tempat sampah. "Masih ada Haeri, dan menurutku Hasegawa Touma juga bukan pilihan yang buruk untuk kaujadikan ahli warismu."

Jinwook mendecih skeptis mendengar nama menantunya disebut. "Yakuza selalu silau jika ditawari posisi dalam pemerintahan. Dari dulu mereka selalu begitu. Ketamakan mereka tidak baik untuk bisnisku. Bisa jadi bom waktu," ujar Jinwook, lalu dia menggumamkan dasar cacing tamak dengan nada yang begitu rendah, Sangyoon nyaris luput mendengarnya.

"Bukankah kau sendiri yang dulu melamarnya sebagai menantumu?"

"Ya, dulu, sebelum aku tahu Seokjin tidak lagi tertarik pada bisnis kita, sebelum aku tahu dia tidak lagi peduli padaku. Mulanya kupikir Touma bagus untuk menekan sisi liar Haeri."

When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTHWhere stories live. Discover now