Jia Kezi menatap dua pemuda di hadapannya secara bergantian, mencoba mencari jejak kejujuran. Tapi yang membuatnya akhirnya setuju bukan semata-mata tantangan, ia membayangkan sejumlah uang yang dijanjikan Wu Xie. Setelah menghela napas dan menyesap kopinya sekali lagi, dia pun mengangguk setuju.
"Keputusan cerdas, Kawan!" Pangzi terkekeh, menepuk bahu Jia Kezi dengan gaya akrab. Senyum lebar pun menghiasi wajah Wu Xie dan matanya kembali bercahaya seperti sebelumnya.
=====
Pada malam yang telah ditentukan, berdiri kaku di depan penyangga partitur, Jia Kezi telah siap dengan biola dan penggeseknya. Tatapannya menyusuri setiap not, dan lengan lenturnya mulai bergerak memainkan nada pertama. Melodi yang terlahir begitu sendu, menyayat hati, menggali emosi terdalam dari lubuk hati siapa pun yang mendengar, gemanya menyerang kesunyian yang melayang di seluruh ruangan.
Kemudian nada berganti menjadi keras, menghentak, menyakitkan telinga, seperti ribuan senar yang dipetik bersamaan secara brutal sehingga tangan dan kakinya yang terikat rantai mulai mengejang.
Jia Kezi menguatkan tekadnya, kala nada semakin menukik tajam, lantas menghentak lagi, semakin keras. Melodi yang menjerit, tak urung menggetarkan lengan dan bahunya.
Atmosfir malam ini terasa begitu berat. Dia merasakannya sejak dia memainkan sonata ini. Lagu yang begitu menghantui dan tragis, sarat akan kekuatan gaib. Di luar, bulan menyinari kabut yang terbentang di atas lanskap tak bernyawa dan perlahan bergoyang maju mundur meski tidak ada angin berhembus.
Beberapa waktu kemudian, permainan telah menuju akhir. Hingga nada terakhir dimainkan, tidak ada lagi yang terjadi. Bahkan tiupan angin kembali normal. Dengan lunglai, Jia Kezi menurunkan tangannya, mengayun lemah di samping tubuh.
Wu Xie terpaku, tidak percaya pada hasil yang tak sesuai harapan. Tatapan sedihnya menyasar Pangzi, yang membalasnya dengan sorot mata sama bingungnya.
"Aku sudah selesai," gumam Jia Kezi, tidak paham dengan kebisuan di sekitarnya.
Wu Xie mendesah lemas, bahunya turun dan wajahnya muram.
"Kau yakin?"
Jia Kezi menatap partitur lagi, lantas mengangguk.
"Baiklah ... " Wu Xie menghela napas berat, memberi isyarat untuk Jia Kezi keluar kamar.
"Mari kita bicara di ruang tamu," katanya.
Dengan wajah bingung, Jia Kezi berjalan menuju pintu, diikuti Pangzi yang sama cemberutnya dengan Wu Xie.
"Sulit dipercaya," Pangzi berbisik pada Wu Xie. "Entah nada-nada ini yang palsu atau Peri Qilin tidak ingin menemuimu."
"Omong kosong," desis Wu Xie, gusar sekaligus kecewa.
Jia Kezi keluar kamar lebih dulu disusul Pangzi. Ketika Wu Xie baru akan melangkah melewati pintu, satu suara memecah keheningan kamarnya. Ketukan di kaca jendela, terdengar aneh dan menyeramkan.
Knock knock!
Bahu dan punggung Wu Xie menengang, kemudian berbalik cepat dengan senyum mengembang di wajahnya.
"Peri Qilin!" ia berseru riang.
Pangzi tersentak, berbalik ke arah pintu kamar. Tetapi ...
Blaammm!
Wu Xie masuk ke dalam kamar dan membanting pintu hingga tertutup rapat.
=====
Jendela mengayun terbuka, dan lampu kamar belum dinyalakan. Tetapi Wu Xie senang dengan kegelapan ini. Rasanya bulan purnama bersinar begitu indah ketika segala sesuatu dalam hidupnya terasa menyenangkan.
YOU ARE READING
𝐍𝐞𝐜𝐭𝐚𝐫 𝐨𝐟 𝐌𝐞𝐦𝐨𝐫𝐲 (𝐏𝐢𝐧𝐠𝐱𝐢𝐞)
Fanfiction𝐁𝐨𝐨𝐤 𝐢𝐧𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐢𝐬𝐢 𝐤𝐮𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐨𝐧𝐞 𝐬𝐡𝐨𝐨𝐭/𝐭𝐡𝐫𝐞𝐞 𝐬𝐡𝐨𝐨𝐭 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐠𝐞𝐧𝐫𝐞. 𝐏𝐢𝐧𝐠𝐱𝐢𝐞 𝐅𝐚𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 𝐂𝐨𝐥𝐥𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 𝐖𝐫𝐢𝐭𝐭𝐞𝐧 𝐛𝐲 𝐒𝐡𝐞𝐧𝐬𝐡𝐞𝐧_𝟖𝟖 𝐙𝐡𝐚𝐧...
Knock Knock Loving You (5)
Start from the beginning