Tapi Mechabot berceloteh lagi, "Cewek gila! Kenapa kamu menjadi tuanku, hah?! Kenapa Amato, kenapa dia?"

Pak Amato terkekeh seperti orang tua bijaksana. Reaksinya klise. Ia mengelus janggut tipis ubanan yang menumbuhi dagunya. Padahal Pak Amato akan kelihatan lebih fresh kalau ia bercukur. Itu pendapat pribadiku, sih.

Aku mengancamnya dengan menunjukan gawai yang mengendalikan Mechabot seperti remot, "sopan sedikit! Atau kubuat kamu menggali kuburanmu sendiri dengan cangkul di planet Rimbara."

Mechabot melepehkan decakan. Ia gengsi untuk mengakui bahwasanya ia merasa cukup terancam.

"Nak." Pak Amato memanggil. "Kamu akan pergi ke Gur'latan?"

"Mau bagaimana lagi." Aku menjawab. Aku memasang air muka sedih. Aku capek, mentalku tidak sehat karena aku dikalahkan Nebula sebanyak seratus tujuh kali, dan aku terkena gejala pilek sejak aku bangun tidur.

"Papi," aku merengek. Mataku memelas, aku berharap Papi mau menemani—atau setidaknya, mendengarkan aku baik-baik; membentuk pasukan sebanyak apapun tidak akan efektif. Aku dapat berkesimpulan begitu karena aku telah berpengalaman bertemu Nebula. Seratus tujuh kali. Bayangkan saja.

Papi mendekat dan memelukku sepihak. Aku malah semakin ingin menangis. Aku tahu aku tidak akan lama di Gur'latan. Tapi aku tidak suka berkemah selain di hunian mewahku. Di sana tidak ada air hangat dan jacuzzi, bukan? Tidak ada jasa pijat? Tidak ada! Tentu saja tidak ada!

Papi mengelus rambutku pelan-pelan, mengisyaratkan aku untuk tidak meraung-raung seperti orang gila dan mempermalukannya di hadapan Pak Amato. Aku tidak mewek. Aku hanya cemberut dan meringis pilu.

"Kalau kamu nggak mau pergi. Tidak apa-apa." Papi menawarkan.

Aku mendongak dan menatap Papi dari bawah sini. "Tapi Tony Stark tidak akan mengkhianati misinya. Itu namanya pecundang."

"Anakmu akrab sekali denganmu ya, Pian?" Amato tertawa renyah. "Kamu memanjakannya."

"Pian tidak menyuruh anaknya berdikari." Penuh sarkasme, Mechabot berkata. "Berdikari sampai mati."

Aku tidak tahu kemana arah sarkas itu menuju. I don't get it. Kurasa mereka terlibat dalam konflik emosional sebelum-sebelum ini. Entahlah. Aku ini orang baru. Aku tahu mereka memiliki sejarah sepanjang biografi Chairul Tanjung si Anak Singkong, berbelit-belit seperti benang rajut semerawut, dan memilukan kalau dihikayatkan. Toh, Mechabot dan Pak Amato itu mantan partner.

Pak Amato tidak membalas. Ia malah kelihatan sedih.

"Aku kadang iri melihatmu." Amato merasa rendah diri. Tatapannya sendu dan teduh. Ia memandangi aku dan Papi dengan berbagai perasaan yang tidak tersampaikan. "Kamu bisa menyaksikan putrimu bertumbuh."

"Emangnya bapak nggak punya anak?" Aku nyeletuk.

Papi melepas pelukannya dan mencubit daun telingaku sambil berkata, "jangan katakan."

"K-kenapa?" Aku bingung sendiri. "Aku salah bicara?"

Papi mengabaikan aku.

"Amato. Jangan begitu." Papi memegang pundak kanan dan pundak kiriku, menggeser posisiku ke depannya, "(Nama) itu anakku. Tapi kamu juga boleh menganggapnya sebagai anak perempuanmu juga."

"Aku janji aku tidak akan menyuruhnya berdikari." Amato tampak tersanjung. Matanya memuat kesedihan, keinginan untuk menangis, dan rasa sayang yang tidak terdeskripsikan. Sejak aku bertemu Pak Amato saat aku pertama kali masuk ke rekuitmen TAPOPS, dia memang suka begitu. Kadang aku nggak relate kalau Kaizo bilang, Pak Amato dulunya tegas, galak, dan disiplinitasnya mengerikan.

Boboiboy x Reader | Alternate Route of SupeheroWhere stories live. Discover now