1st Letter

48 9 3
                                    

Temanku Roshanara,

Aku harap saat kau menerima dan membaca surat ini, udara masih dipenuhi aroma bunga mawar dan parijat yang tumbuh di sekitar sungai Yamuna, terbawa angin menuju jendela kamarmu yang terbuka. Akhir-akhir ini, cuaca cerah dan hangat, langit biru jernih, dan matahari mengintip dari balik awan-awan yang memencar. Sungguh musim semi yang indah. Aku merasakan tubuhku dialiri energi dan semangat baru, terlebih setelah memikirkan akan menceritakan banyak hal yang kualami padamu temanku yang cantik, yaitu dirimu. Jujur saja, sebenarnya di awal perjumpaan kita dulu, aku sempat terkejut saat kau menyebutkan namamu. Mungkin namamu memang sama dengan nama Tuan Putri Mughal Agung, tapi tentu saja itu hanya sebatas nama. Aku tahu kau memiliki keanggunanmu sendiri, dan selain itu, sekeping hati yang tulus hingga kau bersedia menjadi teman seorang pengawal istana.

Sebenarnya jika dipikirkan, kita hanya pernah bertemu dan bicara langsung tidak lebih dari tiga kali. Itu pun tidak banyak yang bisa kita bicarakan karena kau tampak sangat malu-malu dan canggung. Aku bisa mengerti. Di Agra, para gadis menyembunyikan kecantikan mereka di balik cadar, dupatta, dan juga tabir kemurnian. Terlebih saat seseorang belum menikah. Kau pernah mengatakan usiamu sudah layak bagi seorang gadis untuk menikah. Mungkin setidaknya saat ini kau harus lebih membuka diri untuk menerima seorang lelaki sebagai teman baik.

Layakkah seorang teman diperlakukan sembunyi-sembunyi seperti ini? Kupikir tidak sepantasnya. Namun di mana lagi dan bagaimana lagi kita bisa bicara? Jadi, lewat buku surat yang kuselipkan di pagar rumahmu, di antara semak mawar yang merambat, hanya melalui ini kita bisa bertukar kabar dan cerita. Jalan di dekat rumahmu begitu tenang, pohon asam tumbuh tinggi, lebat, menciptakan kanopi alam yang meneduhkan, dan haveli salah seorang amir terhormat istana berjarak dua ratus meter dari rumah kecilmu tampak mengancam. Jadi, kupikir aku hanya bisa menaruh buku ini kala matahari mulai terbenam dan kehidupan di balik Benteng Merah mengurangi kesibukannya. Bahkan kawan baikku yang bernama Haider tidak kuberitahu tentang dirimu. Aku akan menceritakannya suatu hari nanti.

Kau tahu, Roshan? Beberapa hari yang lalu aku meminta cuti selama dua hari pada Kepala Pengawal untuk mengunjungi ayahku. Aku mendapat kabar bahwa Ayah tidak sehat. Tetapi saat aku tiba di rumah, kondisi Ayah tidak seburuk yang kubayangkan. Ternyata dia hanya ingin agar aku menemaninya pergi ke suatu tempat yang sudah lama ingin dikunjunginya. Ayah mengatakan ada satu tempat yang jika kita berdoa di dalamnya, maka doa itu pasti akan dikabulkan. Kau tahu tempat apa itu?

Ya, kau pasti tahu. Itu adalah dargah.

Aku dan Ayah mengunjungi dargah Salim Chishti di Fatehfur Sikri. Dargah megah ini ini dibangun dari marmer putih dengan pilar-pilar yang indah yang dihias kaligrafi, dan langit-langitnya memiliki ukiran bunga mawar mekar. Tempat ini sangat menenangkan buatku. Aku cukup penasaran apakah kau juga pernah pergi ke sana? Kupikir suatu hari kita akan pergi bersama mengunjungi Fatehfur Sikri yang menakjubkan. Kita akan mengagumi arsitekturnya, juga mendengarkan nada penuh perasaan; azan yang berkumandang merdu dari masjid.

Aku tanya pada Ayah doa apa yang ingin dia panjatkan di sana. Ayah mengatakan bahwa dia ingin melihat aku memiliki pendamping hidup sebelum dia meninggal. Sungguh ancaman khas orang tua. Aku tertawa sekilas, tidak menganggapnya serius. Aku berdoa selama mungkin di sana, memberi sedekah, seperti yang dianjurkan Ayah. Memohon untuk kehidupan dan karier yang baik, serta masa depan yang cerah dan bahagia. Saat kami selesai berdoa dan aku mulai mengikat benang di layar jali yang halus, ingatanku tiba-tiba tertuju padamu. Lagi-lagi aku menertawakan diri sendiri. Kau harus memaafkanku, karena sepertinya aku tidak sepatutnya mengingat dirimu dengan cara itu. Kukira aku tidak melewatkan doa untuk teman-temanku. Tak ada hadiah yang lebih indah selain doa baik yang dipanjatkan dengan setulus hati.

Tempat ini membuatku merasa bersemangat dengan pergerakan manusia yang tanpa henti. Aku berjalan-jalan di luar komplek dargah, mengamati orang-orang yang berasal dari daerah yang belum pernah aku ketahui sebelumnya. Mereka duduk atau berdiri di bawah keteduhan bayangan pohon. Ada beberapa pedagang keliling yang memenuhi udara dengan teriakannya dan aroma makanan dagangan mereka. Samosa, gula-gula, roti, jeruk. Aku membeli segelas teh di tengah hawa panas dan udara yang berdebu. Menyesap teh perlahan-lahan, aku memisahkan diri dari orang lain. Ayah sedang bicara dengan seorang pedagang, sesekali melemparkan senyum seperti seorang kawan lama. Saat aku bertanya pada Ayah siapa pedagang itu, Ayah bilang namanya Kamal. Seorang kawan di masa lalu. Dia seorang Sikh, dan pematung yang andal. Di awal pembangunan fondasi Razai-i-munawarrah---Pusara Gemilang---di Agra, kawannya itu pernah bekerja sebagai buruh harian. Keahliannya mengukir dewa dewi digunakan untuk membuat ukiran kaligrafi di balok-balok marmer putih. Namun Kamal sudah terlalu tua untuk meneruskan pekerjaannya, Ayah bilang putranya kini pergi ke Agra untuk melanjutkan pekerjaannya di antara ratusan pekerja lain yang datang dari seluruh penjuru negeri, demi menyelesaikan pembangunan Pusara Gemilang. Aku berpikir, berapa ribu manusia yang telah bekerja keras dan mencurahkan waktu, energi dan kemampuan mereka demi pembuktian cinta sejati sang sultan. Bahkan aku yakin hampir semua pekerja itu bekerja keras demi seorang wanita yang tak pernah mereka lihat. Aku juga belum pernah melihat sang ratu. Apakah dia luar biasa menakjubkan seperti kabar yang dibawa embusan angin dan bisikan burung-burung?

Aku begitu menyatu dalam suasana tempat ini hingga tanpa terasa siang berlalu begitu saja di Fatehfur Sikri, mengabur dan perlahan berganti menjadi malam. Ada para pria yang memukul piringan perunggu yang digantung di atas kepala mereka untuk mengumumkan bahwa siang telah berakhir dan terang berubah menjadi gelap. Aku dan Ayah mencari penginapan untuk bermalam karena Ayah merasa kelelahan jika kami kembali ke Agra di penghujung senja.

Suasana lebih tenang dan damai pada malam hari. Suara muazin berkumandang memanggil orang-orang yang beriman untuk shalat isya, yang terakhir dari lima ibadah harian. Melodinya menggema di seluruh kawasan dargah, menembus dinding tinggi, disambut denting lonceng kuil di kejauhan. Aku menyusuri jalanan pasar beberapa puluh meter dari gerbang dargah. Toko-toko di sepanjang jalan menarik kerai dan menutup gorden. Diya minyak menyala di baliknya, melahirkan bayangan para penjaga toko. Bahkan tanpa berdoa sekalipun, dargah membawa kedamaian di sekelilingnya. Ada aroma yang sulit ditentukan di udara. Perpaduan sari mawar, dupa, melati, aroma sejuk marmer, dan aroma debu tipis yang naik dari permukaan jalan.

Sebenarnya aku masih ingin lebih lama berada di sini. Namun kami harus kembali ke Agra begitu matahari terbit di langit Fatehfur Sikri. Menyentuh dinding-dinding bata merah dengan cahayanya yang keemasan. Kami menyelesaikan perjalanan spiritual ini dan meninggalkan kubah dargah yang bersinar seperti mutiara putih di antara batu pasir merah.

Gema doa yang kupanjatkan di dargah Salim Chisti mengikutiku hingga kembali ke Agra. Aku ingin sekali melewati jalan di sekitar rumahmu dan mencuri pandang ke arah jendela. Namun itu tidak sempat kulakukan karena aku harus segera kembali ke Benteng Merah. Derap kaki kudaku teredam debu, menghantam tanah seirama dengan detak jantungku yang membosankan. Aku merasa sesak, bukan hanya karena udara yang berdebu. Tetapi karena sepercik kerinduan di hatiku padamu. Betapa cepatnya kecantikanmu mempengaruhi diriku. Bahkan saat aku menatap bayangan Benteng Merah di permukaan Yamuna, perasaan itu berubah jadi sesuatu yang meresahkan. Aku harap kesibukan di dalam istana membuat beberapa ingatan penting menepi untuk sejenak sehingga aku kembali fokus pada tugasku sebagai seorang pengawal kerajaan.

Temanku Roshanara,

Setelah aku kembali dari perjalanan berziarah, aku mendengar gaung pembicaraan di istana, berputar-putar di tengah aroma lumpur basah yang naik dari permukaan Yamuna. Semuanya berupa bisikan-bisikan yang kaku, sisanya diam seribu bahasa. Aku tahu itu artinya kabar penting membayangi istana dan merembes masuk ke setiap sudut. Tetapi untuk saat ini belum kupastikan apa itu. Salah satu temanku yang menjadi salah satu penjaga diwan i-am mengatakan bahwa akan ada peristiwa sakral yang terjadi di Agra. Aku tidak mencari tahu lebih banyak lagi. Kabar burung yang berseliweran di istana tak terhitung jumlahnya. Sedikit dari itu yang bisa menembus benteng dan sampai ke telinga orang-orang di luar sana.

Aku kembali menjalankan tugasku. Salah seorang pangeran tengah menikmati pertunjukan musik dan tarian di taman yang terhubung dengan kediaman pribadinya. Aku berdiri sepanjang acara, waspada dengan keadaan sekitar. Dari sini, aku bisa melihat garis tipis sungai yang berkelok-kelok ke hilir menuju satu bangunan putih berkilau dengan latar belakang langit kelam. Setiap kali aku menatap bangunan itu, aku selalu merasakan kekaguman. Bahkan banyak orang mengatakan, saat kau berdiri tepat di hadapan Pusara Gemilang, maka kau akan merasakan cinta. Perasaan semacam itu sungguh mengherankan dan juga menyentuh. Seakan-akan pemandangan pusara itu belum cukup untuk membuat fokusku terpecah, penyanyi istana melantunkan nyanyian indah yang bercerita tentang sepasang kekasih.

Ah, itu cerita rakyat yang terkenal. Laila dan Majnu. Kau pasti sudah mendengar tentang mereka. Anggota suku Badui di Arab yang hidup pada abad ketujuh. Majnu adalah seorang penggembala di suku tersebut dan ketika dia jatuh cinta pada Laila, Ayah Laila tidak menyetujui hubungan mereka sehingga dia menikahkan putrinya dengan orang lain. Kesedihan yang dalam membuatnya gila, dan Majnu berjalan keluyuran ke luar dari perkemahan pada suatu malam dan tidak pernah terlihat lagi. Para pengembara gurun mendengar suaranya bahkan sampai hari ini, menyanyikan syair cinta untuk kekasihnya. Nah, apa kau juga bisa menyanyikan lagu cinta tentang mereka?

Kuharap aku segera menerima balasan surat darimu. Aku juga ingin tahu apakah bisa mendengar merdu suaramu menyanyikan kisah Laila Majnu.

Salam hangat dari temanmu.
Gyas.

=====


Notes :

Amir : bangsawan
Dargah : makam wali sufi
Diwan-i-am : Aula audiensi
Diya : lampu
Dupatta : selendang
Haveli : rumah besar
Jali : tabir yang memiliki lubang dengan ukiran tertentu
Razai-i-munawarah : Pusara Gemilang ; Taj Mahal
Sikh : salah satu agama terbesar di India




𝐑𝐨𝐬𝐡𝐚𝐧𝐚𝐫𝐚 : 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐈𝐥𝐮𝐬𝐬𝐢𝐨𝐧जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें