11

440 21 2
                                    

— Lila

Insiden antara Putra dan Marv terdengar hingga seantero desa; gosip baru yang diperbincangkan ke mana-mana, menyebar luas hingga keorisinilan ceritanya menjadi samar.

Nyonya Sandra mengancam akan memenjarakan Putra, hanya saja sudah seminggu berlalu dan belum ada hal yang terjadi. Mungkin dia cuma gertak sambal, atau — pencitraan semata sebagai seorang ibu sambung yang baik. Entahlah.

Sementara aku di sini, harus menerima sanksi sosial dari tetangga, dan ... keluargaku sendiri.

Bapak marah besar padaku. Dia bilang aku tidak lagi memiliki moral sebagai wanita. Aku adalah aib yang membuatnya enggan bertemu orang-orang di luaran sana. Bapak malu. Ia sangat terhina oleh kelakuan bejatku. Bapak mengira harta keluarga Cooper telah membuatku silau. Padahal, bukan itu.

Tapi percuma, kan? Menjelaskan pada seseorang yang sudah tak mempercayaimu lagi.

"La ..." Ibu membuka pintu kamarku dan menerobos masuk. Tangannya membawa piring berisi makanan. "Makan dulu."

Aku menegakkan badan. Lalu menyibak selimut yang tadinya membalut tubuhku rapat.

"Makasi, Bu," ucapku.

Ibu mengangguk.

Ia mengambil tempat di sisiku sambil menatap sendu.

"Mana bapak, Bu?" tanyaku.

"Pergi sebentar," jawab Ibu. "Antar makanan ke lokasi pembangunan."

"Oh ..." Aku tertunduk. Mengaduk-aduk nasi dan lauk tanpa berselera.

Ibu mendeham. Kemudian, berulang kali membenahi posisi.

"Lila," panggilnya lembut. Saat aku akhirnya menengadah, Ibu pun melanjutkan, "Perbaiki hubunganmu sama Putra, lalu segera tentukan tanggal pernikahan."

Aku memalingkan wajah.

"Tidak, Bu ..." sahutku.

"Lila—"

Aku bergegas menyela, "Sudah kubilang aku tidak mungkin kembali sama Putra," tegasku.

"Gara-gara Marv?"

"Bukan!" sangkalku. "Sejak semula aku memang kurang yakin sama Putra. Dan, kehadiran Marv membantuku memantapkan hati."

"Astaga, La!" Ibu mengembuskan napas jengah. "Bisa-bisanya kamu bilang ragu sama Putra, padahal selama bertahun-tahun dialah yang mendampingimu dalam pasang surut." Ia mengelus dadanya berkali-kali. "Malu Ibu, Nduk. Malu! Malu sama Putra, malu sama orang-orang."

Mataku memanas dan memburam.

Kupindahkan piring di pangkuanku ke atas nakas. "Malu?" ulangku. "Lalu bagaimana dengan kebahagiaanku, Bu?"

"Kurang bahagia bagaimana lagi, to, La? Kamu harusnya bersyukur dapat lelaki macam Putra!"

"Tapi kalau aku tidak cinta, mau apa?" sanggahku. "Ibu heran kenapa aku bertahan sama Putra selama ini? Ya, karena aku mengemban tuntutan besar dari Ibu mau pun bapak. Belum lagi omongan tetangga-tetangga yang melabeliku sebagai perawan tua."

"Apa kamu bilang?" Bibir Ibu gemetar.

"Andaikan Ibu dan bapak menerimaku secara utuh — untuk apa yang aku mau dan aku inginkan. Bukan malah menilai keberhasilanku sebagai wanita berdasarkan jadi atau tidaknya aku menikah. Mungkin, aku tak akan memaksakan diri bertahan bersama Putra hingga selama ini!" ungkapku seraya menelan tangis.

Ibu menggeleng penuh kesangsian.

"Apa katamu?" ucap Ibu. "Sadarkah kamu jika lelaki kota seperti Marv bukanlah calon suami yang baik? Dia akan memperlakukanmu buruk dan memandangmu remeh. Marv belum bisa berkomitmen, dan dia bahkan tak pernah melakukan apa pun untuk kamu, La! Sementara, Putra ..."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

F3TISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang