Eight

272 32 4
                                    

~Happy Reading~


"Ahahaha dedemit satu itu pasti ngibul!"

Winter bermonolog, ucapan Jean tempo hari mustahil ia percayai, pasalnya muka yang sering memberengut itu mana mungkin berusia sembilan belas tahun. Di mata Winter, Jean tak jauh beda dari karakter burung pemarah di acara kartun yang ia tonton sewaktu kecil, dengan alis memercing dan tanpa senyum sedikitpun dan mirip sekali dengan muka Jean setiap bertemu Winter. Mana gestur Jean sangat mencerminkan om-om-able.

"Buktinya, dia gak mau nunjukkin kartu identitasnya. Bilang saja dia malu mengakui usianya sudah kakek-kakek, huh!" gerutu Winter.

Winter ada di rumah sakit sekarang, waktu luangnya di hari libur kerjanya ia manfaatkan untuk menjenguk ibu tercintanya. Sudah seminggu lebih ibunya di rawat di rumah sakit dan belum ada kabar membaik dan hari ini ibunya sudah mulai bisa duduk dengan lebih santai di kasurnya. Winter berjalan dengan perasaan berdebar, sambil membawa bunga di tangannya.

"Ibu!" panggil Winter di ambang pintu dengan senyum yang sangat bahagia. Ibu Winter menoleh, ikut menyambut senyum hangat itu dengan penuh kerinduan. Bibir pucat yang sudah mulai bersemu merah, Winter benar-benar lega mendapati ibunya sudah mulai membaik.

" halo winterku sayang," sahut perempuan itu dengan suara rendah. Winter meletakkan bunganya di nakas, meraih kedua tangan ibunya dengan haru. Mata coklat mengkilat ibunya dapat ia saksikan mulai hari ini. Sudah sekian purnama Winter terus melihat dua pelupuk mata ibunya terpejam, ibunya bak putri tidur yang berada di ambang hidupnya entah kapan ia akan membuka mata dan kapan pula ia akan menutup untuk selama-lamanya.

"Syukurlah ibu sudah membaik," ucap Winter seraya tersenyum lembut. Ibunya mengangguk lemah, mengusap puncak kepala Winter, putri semata wayangnya sudah tunbuh dewasa. Terakhir kali ia melihat Winter kala itu Winter nampak sayu dan kurus sebab terus menangisi ibunya, kini Winter terlihat lebih bugar dan bersemangat kembali. Wanita itu hanya tidak tau, Winter menghalau semua perihnya demi ibunya sehat kembali dan itu adalah sumber keberanian Winter untuk bertahan hingga detik ini.





"Ah, halo kek. Bagaimana kabarnya?"

Winter beralih menatap sosok lelaki tua di seberang kasur rawat ibunya. Lee Jinwook, pria itu sudah menjadi teman ibu Winter selama beberapa minggu di rumah sakit. Selama itu pula lelaki itu mengajak ibu Winter mengobrol agar tidak kesepian.

"Ah Winter, kamu kesini cepat sekali." Jinwook tersenyum ramah, nampak kerut makin tercetak jelas di wajahnya. Lelaki itu pikir usianya sudah tak lama lagi, namun agaknya ia masih di beri kesempatan di sela sesak yang acap kambuh.


Winter yang sering datang menunggui ibunya jadi ikut akrab dengan lelaki tua itu.

"Winter, ini sudah sore. Ayahmu yang akan menggantikan berjaga, kamu pulang ya, besok kan kamu harus sekolah," ucap ibu Winter. Winter jadi sendu, rasanya baru beberapa detik ia bersama ibunya dan kini ia harus berpisah lagi.



Winter menghembus napas pelan, ibunya juga perlu istirahat dan Winter mau ibunya cepat-cepat keluar rumah sakit. "Oke Winter pulang, ibu istirahat lagi ya, dadah~" Winter melambai sebelum keluar dari pintu, merekam wajah ibunya dalam kepala sebelum ia bawa ke ruang mimpi.

Winter menghilang dari balik pintu, Jinwook memandangi pintu setelah Winter berpamitan. Winter anak yang kuat dan tabah, ia selalu sabar mengurus ibunya.

"Winter anak yang hebat ya," puji Jinwook ia memandangi ibu Winter. Ibu Winter menunduk wajahnya agak khawatir dan terlihat sedih.




"Ya, Aku harap Winter akan selalu bahagia, dan aku harap bisa melihat wajah itu terus."





Jinwook ikut merasakan perasaan gundah ibu Winter. Melihat Winter, ia jadi merasakan bahwa anak itu juga seperti cucunya.



Atensi keduanya tertarik pada pintu geser yang bergerak, memunculkan sosok jangkung dengan sebuah tas karton dan bunga. Kakek Jinwook melebarkan netra, cucu kesayangannya yang baru kembali akhirnya datang mengunjunginya lagi.



"Jean," panggilnya.




















***

Jean duduk di kursi sebelah ranjang kakeknya sembari memperhatikan wajah wanita yang terlelap itu, amat sangat familiar. Tentu saja, itu kan ibunya Winter. Ibu dari si gadis degil yang hampir setiap hari wajahnya ia jumpai.





Jean mengerti alasan Winter bersikukuh untuk bekerja, bahkan sampai kena sentak habis-habisan ia tak berniat untuk mundur sedikitpun, wanita yang terbaring inilah alasannya. Saat mendengar cerita dari kakeknya, Jean terenyuh. Perjuangan besar bagi ibu Winter untuk melawan penyakitnya dan bisa sampai di titik ini.




Jean teringat wajah sumringah Winter kala keluar dari pintu tadi dan berpapasan dengannya-untunya Winter tidak menyadari itu adalah Jean sebab terlalu asyik berjalan dan bersenandung, yang tentunya tak akan pernah ia jumpai di restoran atau bahkan di sekolah. Senyum selebar itu, bahkan aura Winter berubah di penuhi energi positif.

Jean pula teringin melihat senyum itu merekah sendirinya di hadapannya, dan bahkan seterusnya.






Setelah mengetahui kondisi kesehatan kakeknya dari dokter, Jean pamit pulang esok paginya. Ia punya kegiatan rutin, ya itu menjadi siswa sma lagi.















Jadi ini alasan kakek menyuruhku kembali








.
.
.
.
.

TBC

Yuhuuu aku kembalii maaf kalau kependekan, aku sudah mulai masuk kuliah lagi dan yaa gitu jadwalku padet lagi π_π

akan aku usahakan untuk update, kalau perlu sekalian dua atau tiga gitu kali yaa biar gak nanggung


Okee see you jangan lupa tinggalkan jejak!♡

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Two Sides | Jeno x WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang