2

2 0 0
                                    

"Mau sampai kapan kamu menutup mata? Kue-nya enak?"

Kelopak Audrey terbuka cepat. Menyadari dia masih duduk di tempat yang sama, latar dan suasana yang sama. Maniknya terbelalak ketika sadar ada yang duduk dihadapannya. Si pemilik marga Hwang nyaris melompat dari kursi, bersyukur tangannya ditahan dengan cepat agar tetap berada di meja.

"Kue itu ... makanan terakhir kita, aku memaksamu memakannya karena kehabisan dessert." Lelaki itu tertawa ringan, seolah tidak punya beban apapun. Malah Audrey yang hampir berteriak untuk menyuarakan rindunya.

"Kamu kemana ... Jay," suara Audrey nyaris hilang, ia ingin bangkit untuk memeluk lelaki-nya, memeluk pusat dunia yang membantunya bangkit selama ini. "kamu pergi, enggak pamit. Datang buat komentar tentang kue red velvet doang,"

Jay Jongseong Park, lelaki yang telah mengikat janji dengan Audrey dan pergi 3 tahun sebelumnya. Audrey ingat bagaimana dirinya di masa itu, ia benar-benar mengunci diri di kamar, mengumpulkan semua barang Jay dan membaginya tanpa ingin menoleh lagi.

"Jam tangan aku masih kamu pakai." Kata Jay, terus tersenyum lembut disepanjang pembicaraannya. "Saputangan buatanku masih kamu ikat di tali tas, padahal kamu bilang rajutanku mirip karya anak 7 tahun."

"Enggak usah dibahas!" Audrey benar-benar menangis sekarang, "Aku hampir gila waktu kamu pergi, enggak usah bahas yang lalu!"

"Park Jihye,"

Selalu begitu, setiap kali Audrey menahan tangis. Jay akan menyebut nama korea-nya dengan lembut, mengganti marga Hwang menjadi Park. Lelaki itu bilang, begitu cara ia menyampaikan pada dunia, bahwa Audrey Jihye Hwang telah resmi menjadi miliknya. Tak jarang juga lelaki itu bertindak menyebalkan dengan menyebutkan nama korea-nya secara terus menerus.

"Jihye noona~" dan biasanya berakhir dengan omelan Audrey karena ia susah bergerak ketika sedang sibuk dengan makan malam mereka.

Tangan Audrey masih tergenggam kuat diatas meja, bersama tangan besar Jay yang menutupinya. Ada kalanya Audrey akan berusaha melepaskan tangan itu, ada kalanya juga Jay tidak akan menggenggamnya.

"Jangan dilepas," cicit Audrey, "Jay, jangan pergi."

"Apa yang terjadi selama aku pergi?"

Pecahlah tangisan Audrey, dia berusaha keras mengurung seluruh emosinya ketika Jay pergi. Sekarang ia dihantam kenyataan bahwa semesta juga menginginkan mereka bertemu secara baik-baik untuk terakhir kalinya. Audrey mengomel, menangis, meluapkan seluruh emosi pada yang lebih muda, ia ingin egois, ia ingin waktu berhenti untuk memberinya banyak kesempatan.

Genggaman Jay menguat setiap kali Audrey berusaha melanjutkan, terlihat bahwa ia tidak ingin menyia-nyiakan waktunya sekarang. Tangan itu sesekali mengusap punggung tangan si wanita, memperlakukan Audrey seperti porselen yang mudah rapuh.

"Wanitaku menangis ya?"

Audrey ingin sekali memukul punggung Jay. Lihatlah! Lelaki itu malah tertawa kecil, seolah semua cerita Audrey benar-benar lucu. "Jay!"

"Iya, aku mendengarmu." Ucap Jay, memperhatikan menu di atas meja, "Americano peach, aku ingat kamu menangis ketika hamil Jungwon dulu. Hanya karena aku melarangmu minum itu."

Audrey tertegun. Dia bahkan baru mengingat bahwa Jungwon baru 2 bulan ketika Jay pergi.

"Jungwon tumbuh sehat, ibumu tidak pernah absen memberikan susu penggemuk untuk Jungwon. Sekarang dia mirip bola basket,"

"Hei!" seru Jay tidak terima, "Dia ... mirip domba tau!"

"Domba itu bau, aku tidak suka domba!"

"Park Jihye!"

"Park Jongseong!"

Keduanya tertawa. Mood yang naik-turun, atmosfer yang menghangat ketika kisah tentang Jungwon mengalir. Audrey bisa melihat betapa antusiasnya Jay setiap kali ia menyebutkan kapan Jungwon mencoba berdiri, kapan Jungwon menunjuk foto Jay dan berseru "Appa!" sembari bertepuk tangan heboh.

Sampai bunyi weker mengacaukan semuanya, Audrey nyaris berdiri dan Jay menahannya lagi. Lelaki-nya itu mengucapkan selamat tinggal, juga permintaan maaf sebab tidak sempat berpamitan. Meninggalkan kecupan di kening dan salam untuk sang buah hati.

Audrey merasa dunia kembali seperti semula. Ia berada di café, dengan airmata membasahi wajah. Americano peach-nya telah habis, demikian juga red velvet cake di atas meja. Wanita itu bergegas keluar, melewati pelayan yang menyapanya. Mendadak ia merasa mual, dan yang diinginkannya hanyalah pulang.


Americano Peach || Jay EnhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang