" Okeh."

Dengan girangnya mamah Linda menarik tangan anaknya, untuk ikut bersamanya. Meraka pun berjalan menuju ruang tamu keluarga.

Saat tiba disana , terlihat sosok pria tengah sibuk membaca sebuah surat. Tak terlihat jelas apa yang ia baca , namun Ziva enggan untuk mengetahui lebih dalam.

" Assalamu'alaikum papah ," sapa mamah Linda kepada sang suami.

" Wa'alaikumsalam," jawab papah Arman. "Silahkan duduk," sambungnya.

Kedua wanita beda generasi itu pun lekas duduk di sofa. Ziva masih enggan menatap sang ayah. Rasanya hatinya masih sakit atas prilaku sang ayah.

Beberapa menit sempat terdiam. Ayah dan ibunya saling bertukar pandangan. Namun tak lama akhirnya sang ayah akat berbicara untuk mencairkan suasana.

" Ziva sayang. Papah gak berniat buat Ziva sakit hati. Papah cum–"

" Ya," sebelum ayahnya menyelesaikan perkataannya, Ziva langsung memotong kalimat tersebut dengan mengucapkan kata 'ya'

" Astaghfirullah," gumam sang ayah.

" Ziva!! Mamah tau Ziva pasti sakit hati. Tapi mamah mohon. Jangan seperti ini nak," akui sang ibu.

" Ziva gak akan kayak gini kalau papah ga gini in Ziva. Hati anak mana yang ga sakit dibilang gitu?" Ketus Ziva.

" Papah minta maaf Ziva."

" Udah lah. Pembahasannya gak penting, Ziva mau ke kamar," ujar Ziva seraya bangkit.

" Tunggu. Papah sama mamah belum selesai," suara yang bersumber dari sang ayah, berhasil menghentikan gerakan Ziva.

" Apa?"

Kedua orang tuanya saling tukar pandangan dalam sekejap. Sang ayah kemudian menarik nafasnya dalam-dalam lalu kembali menghembuskannya.

" Ziva!! Papah  sama mamah setuju buat memasukan kamu ke pondok pesantren."

Ziva terdiam, mematung mendengar perkataan sang ayah. Dia memproses segala pernyataan dari sang ayah dengan lambatnya.

"Wah kalau becanda gak lucu, dimana cctv-nya ni , kalau enggak kamera pasti ada kameranya ini, yakin ini cuma prank, jokes kan, nanti pasti bilang selamat anda kena prank," ujar Ziva.

" Enggak Ziva. Mamah sama papah sudah setuju akan mondokan kamu di sebuah pesantren teman papah," ujar mamah Ziva.

Ziva termenung sejenak lalu menatap ayahnya. "Papah, Ziva janji bakal berubah. Papah bisa kok ambil motor Ziva, semuanya yang Ziva punya. Tapi please pah,  jangan sampai Ziva jauh dari mamah sama papah. Ziva gak ga mau mondok pah," rengek Ziva.

"Ziva, keputusan papah dan mamah sudah bulat. Ziva akan mondok, hal ini dapat membuat Ziva memperdalam agama dan juga mandiri nak," ujar sang ayah dengan lembutnya.

"Tapiiii. Ziva gak bisa jauh-jauh dari mama papah," rengek Ziva.

"Demi kebaikan kamu Ziva, dan kamu akan mondok di Jawa tengah," jelas sang ayah.

"Apa!! Jawa Tengah. Jauh banget  dari Jakarta."

"Agar kamu belajar yang namanya mandiri nak."

istri mungil nya Gus Agam (SUDAH TERBIT)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें