2. Dunianya

51 8 1
                                    

Dari tempat duduk Nisa menatap Guntur yang berdiri di sisi motor besar entah milik siapa. Cowok itu tengah mendengarkan Elang berbicara sambil menyulut rokok, tak lupa kepala mengangguk-angguk tanda ia benar-benar pasang telinga.

Guntur itu definisi cowok urakan yang tidak terlalu peduli pada penampilan. Ia tidak putih, rambut juga gondrong sampai nanti mulut Nisa yang berkicau andai cewek itu sudah muak melihat penampilannya. Belum beberapa bekas luka di tangan dan rahang, memang tidak mengurangi kegagahannya, tapi, itu cukup membuat orang menilai Guntur sebagai cowok liar yang tidak akan pulang sebelum jarum jam menunjukkan angka dua belas. Sayangnya, tubuh atletis Guntur bisa menutupi semua aura negatif tersebut, membuat cewek-cewek tetap kelimpungan menahan diri agar tidak jatuh pingsan karena sisi maskulin Guntur.

Saat Nisa sibuk memerhatikan setiap gerak-gerik Guntur, tiba-tiba Riska bersuara. "Kenal bang Guntur di mana, Nis?" Cewek itu tengah menikmati kuaci sebagai cemilan menonton balap liar.

Nisa menoleh, membalas tatapan Riska. "Waktu jadi pelanggan ojeknya."

"Oh, jadi dari penumpang ojek bakal jadi penumpang seumur hidup," celetuk Samuel sekilas melirik Nisa, padahal tadinya ia sedang sibuk menatap layar ponsel cowok yang duduk di depan Andre, yang sampai sekarang belum Nisa ketahui siapa namanya.

Nisa diam, ia tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Perihal ke mana hubungan dirinya dengan Guntur nanti, itu bukan kapasitasnya, yang ia tahu saat ini ia merasa nyaman dan aman bersama Guntur.

"Btw, mereka pasangan ya." Jihan, cewek lain yang ada di sana menunjuk Andre dengan cowok di depannya.

Dahi Nisa mengerut.

"Iye, ngehomo," celetuk Arkel terkekeh melihat mimik bingung Nisa.

Sejenak cewek itu merasa asing, ia menatap Andre dan cowok di depannya yang tak selesai-selesai dengan ponsel secara bergantian. Keduanya begitu gagah, tidak ada yang jatuh gemulai, bagaimana bisa mereka menjadi sepasang kekasih?

"Ck, kalah gue, anjing banget punya tim, goblok semua!" Si cowok yang bersandar di dada Andre itu mengumpat, dan Andre terkekeh karenanya, beda Samuel, cowok itu langsung merebut ponsel yang ada di tangan kekasih Andre, namanya Jovan.

"Eh, siapa nih?" tanya Jovan baru menyadari keberadaan Nisa, sungguh telat. Cowok itu menegakkan duduk hingga punggung tidak bersandar di dada Andre lagi.

"Gandengan Guntur," sahut Andre masih menikmati rokok.

Jovan menoleh menatap Andre, ia pasang mimik sedikit terkejut. "Serius, Yang?" tanyanya.

Mendengar panggilan Jovan untuk Andre, Nisa teguk liur, pait, sungguh pait liurnya. Sialan, tongkrongan macam apa ini?! Nisa bisa mabuk kenyataan.

Andre mengangguk, Jovan pun kembali menatap Nisa, pasang senyum manis. Damn! Sekarang Nisa terdiam kaku, bagaimana bisa senyum Jovan semenggemaskan itu padahal tubuhnya besar nan gagah? Mirip beruang. "Akhirnya bang Guntur bawa gandengan, gue pikir bakal ngehomo kayak gue," ujar Jovan sangat ringan, disertai kekehan pula. "Gue Jovan." Lalu mengulurkan tangan kanannya pada Nisa.

Untuk beberapa detik, Nisa mencerna apa yang terjadi di sekitarnya, di lingkungan Guntur. Tapi, begitu sadar ia dilihati dan ditunggui, maka tangan kanan menyambut tangan Jovan. "Nisa, Annisa."

Kepala Jovan mengangguk. "Gue harap lu buka homophobic," ujarnya terang-terangan.

Nisa teguk liur yang kedua kali. Jujur saja, ia bukan tipe yang mau mengurusi urusan orang, kecuali Guntur. Mau orang jungkir balik juga Nisa tidak ambil peduli, termasuk pada kaum seperti Andre dan Jovan. Menurutnya urusan akhirat itu masing-masing, tapi, kalau lah bisa, jangan seterang-terangan ini juga, bagaimana pun Nisa masih takut Tuhan, dilaknat pasti terpental ke neraka.

ResilienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang