Part 6: Confession

Start from the beginning
                                    

"Tidak. Jangan, Pak." Ana ketakutan, dia tidak ingin itu terjadi. Ia menoleh ke arah Mirah menginginkan sebuah pertolongan, lagi-lagi itu percuma. "Ibu—"

Ana menggeleng ke arah Bram, segera menyatakan pendapatnya. "Ana tidak mau masa depannya hancur karena Ana."

Omong kosong itu, mereka semua tambah kehilangan kepercayaan terhadap putrinya sendiri. Bram pun langsung menjerit, "Itu yang kamu katakan ketika masa depanmu lebih terancam akibat tindakan ini?! Sebenarnya apa yang ada dipikiran kamu?! Apa yang membuat kamu gegabah hingga ini terjadi?!"

"Maaf..." lirih Ana tidak tahu lagi apa yang bisa ia jelaskan, Bayu sudah membuangnya, Ana tidak bisa apa-apa.

"Apa kesalahan yang telah kami perbuat sehingga ini terjadi pada kami, Tuhan!" Bram mengusap wajah gusar, kemarahan menguasai diri antara kekecewaan tak terhingga. "Kami tidak pernah salah mendidikmu, kamulah yang salah. Bapak selalu mengedepankan harga diri sedangkan di belakang kami kamu berani melakukan hal tak senonoh yang mencoret nama baik keluarga ini?!"

"Apa kamu tidak memikirkan kami?! Mala dan Ibu!" berangnya bersama mata melebar, menilik Ana yang menunduk, menyembunyikan segalanya. "Bila kamu dewasa kamu seharusnya tahu bahwa setiap kesalahan dan dosa adalah tanggung jawab diri sendiri. Bapak kerap membina kamu untuk menjadi gadis yang patuh bukan seperti ini!"

"Kamu bukan anak Bapak dan Ibu," ucap Bram tak bisa diubah, tidak hanya Ana, bahkan Mirah dan Mala tak dapat mempercayai apa yang baru saja terucap. "Kamu ... tidak ada tempat di sini."

Ana seperti terjatuh tanpa dasar, dia terombang-ambing di atas rasa sakit yang tidak berujung. Kilah mata mencerminkan betapa terlukanya ia ketika mendengar pernyataan itu.

Bram sama sekali tidak menatap Ana, suaranya mulai rendah. Namun, itu lebih menyakitkan dari biasanya. "Kamu sanggup mengatasinya sendiri? Bagus. Tanggunglah kesalahamu, jangan libatkan kami menompang aibmu."

"Kamu bukan bagian dari kami," lanjut sang ayah, mengintimidasi Ana dengan sejuta reruntuhan kata. Dia mengintai, menunggu Ana lekas beranjak dari tempat tanpa kasih sedikit pun.

Mirah mati kutu, ia tidak bisa membantah suami yang memang begitu adanya. Mala juga tidak berhak bersuara atas keputusan Bram yang telah ditetapkan.

Ana pernah menyesal, ia mencoba, ia mengakui kesalahannya. Namun, ternyata tak ada mimpi yang bisa tercapai dalam segala hal. Dalam jurang terdalam, keluarga sama sekali tidak mengulurkan tangan untuk membantu. Di sini ia putri mereka, tetapi mengapa mereka begitu mudah membuang Ana seperti apa yang Bayu lakukan. Ia benar-benar tergores, hatinya hancur, ia kecewa sangat dalam. Maka dari itu, sudah cukup ia memohon, ia tidak sanggup selalu terasingkan. Ana sendirian, selalu sendirian.

Ditemani perasaan tumbang, Ana berdiri dari duduknya, mengusap air mata yang panas, lekas berjalan memasuki kamar.

Di saat ia sibuk mengemasi pakaian dan barang ke dalam tas, tidak ada satu pun orang menghampirinya, seakan-akan mereka memang rela dan tak peduli. Tidak mementingkan Ana, inj memang kesalahannya, tetapi Ana rela memberi hidup untuk keluarga, sementara mereka tidak.

Pilunya jiwa, Ana terpaksa membongkar tabungan yang sudah ia kumpulkan sejak setahun terakhir, ia tidak memiliki uang banyak, tak tahu pula harus ke mana. Selama tiga puluh menit, pikiran Ana berputar, sampai ketika ia siap dan masih menemukan ketiga anggota keluaraga di ruang yang sama. Hatinya teremas, berat hati Ana pasrahkan melangkah pergi dari rumah.

Mirah tidak dapat merelakan kepergian Ana begitu saja, ia marah sebagai seorang ibu yang dipisahkan oleh anaknya. Maka setelah dirinya dan Bram berada di kamar, ia ingin Bram mencari Ana.

"Bapak," panggilnya, air mata berangsur-angsur keluar. Bram yang memahami itu lekas menjelaskan maksudnya.

"Dia tidak mengedepankan nama keluarga ini, bukan mengangkat derajat seperti apa yang Bapak ajarkan dia justru menghancurkan kita," celetuk Bram, kekesalannya masih mengendap di hati. "Bila Bapak tidak mengertaknya, Mala bisa melakukan kesalahan yang sama."

ARCHETYPEWhere stories live. Discover now