15 | Wartawan

839 143 15
                                    

Suara ketukan pintu dari luar memecah konsentrasi Kaiya yang sedang berbalas pesan dengan kliennya melalui aplikasi Whatsapp Web. Pintu terbuka setelah Kaiya berseru mempersilakan masuk. Muncullah Valerie dari balik pintu, disusul dengan Aiden di belakangnya.

Netra Kaiya membeliak melihat keberadaan kekasihnya. "Kok, bisa barengan sama Valerie?"

"Tadi ketemu di depan. Katanya, mau ketemu Mbak Kaiya, yaudah sekalian aku ajak kesini." Bukan Aiden yang menjawab, melainkan Valerie.

Kaiya hanya ber-oh pendek sambil mengangguk.

"Duduk, Kak Aiden. Sebentar ya, Kak, saya ada perlu sebentar sama Mbak Kaiya." Valerie mempersilakan Aiden duduk di sofa yang berada di tengah ruang kerja Kaiya, sementara dirinya sendiri lanjut melangkah ke hadapan sang bos.

"Silakan, santai aja," balas Aiden sambil mendudukkan dirinya ke atas sofa yang sudah sangat familier untuknya.

Hubungan Aiden dan Kaiya sudah memasuki bulan kedelapan. Hal itu membuat Kaiya tidak bisa lagi menyembunyikan hubungannya lagi pada Valerie sebab Aiden lumayan sering datang ke restoran.

Namun, hanya kepada Valerie saja Kaiya berterus terang. Kepada stafnya yang lain, Kaiya tidak pernah mengatakan apapun. Jika mereka punya asumsi sendiri, Kaiya tidak mempedulikannya. Yang penting Kaiya tidak pernah mengkonfirmasi apapun tentang hubungannya dengan Aiden.

Oh, tentu saja, Valerie hanya diberitahu tentang hubungannya dengan Aiden saja. Tentang Aiden dan Airlangga yang merupakan saudara sekandung tidak pernah Kaiya ceritakan kepada Valerie. Dan kebetulan, Airlangga juga sudah jarang datang ke restorannya.

Kabar tentang Aiden yang tertangkap kamera sedang bersama dengan wanita—Kaiya—di Semarang pun berangsur meredup dan menghilang seiring kesibukan keduanya yang menyebabkan mereka jadi jarang bertemu. Tentunya, Sanskara pun punya peranan penting dalam meredam kabar tersebut.

"Kenapa, Val?" tanya Kaiya yang sudah kembali duduk ke kursinya setelah sempat berdiri, berniat untuk menghampiri Aiden.

"Mbak, aku mau cerita, deh."

Kaiya hanya bergumam sebagai tanggapan. Dia menopang kepalanya dengan tangan yang menyiku di atas meja sambil menunggu manajernya itu melanjutkan bicara. 

"Mbak Kaiya ngerasa nggak sih kalau akhir-akhir ini resto kita jadi mendadak rame banget?" tanya Valerie yang sudah duduk di hadapan Kaiya.

Kaiya mengingat sejenak keadaan Sendok Kayu dalam beberapa waktu terakhir, lalu mengangguk pelan. "Bagus, kan?"

"Iya, bagus sih. Tapi, kok aku ngerasa aneh, ya, Mbak?"

"Aneh gimana?"

"Ramenya tu kayak tiba-tiba aja gitu. Terus ramenya tu kayak restoran yang mendadak viral gitu, lho. Selama aku kerja di sini, nggak pernah lho resto kita sampai waiting list segala. Terus kalau aku mengamati sekilas, orang-orang yang dateng tu orang-orang baru, tapi mereka nggak pernah balik lagi gitu, Mbak. Mbak Kaiya ngerti kan maksudku?"

Kaiya menangkup kedua tangan di depan mulutnya. Bola mata di balik kacamatanya tampak menatap lurus ke arah Valerie, tapi sorotnya menerawang, tanda dia tengah berpikir keras. "Restoran kita masa mendadak viral, Val?"

Valerie mencondongkan badannya ke depan. "Aku juga sempet mikir gitu, Mbak. Tapi, kenapa? Apa yang bikin restoran kita viral?"

Kaiya dan Valerie saling beradu pandang. Seolah bisa berkomunikasi lewat tatapan mata saja, keduanya kompak menoleh ke arah Aiden yang duduk di sofa, yang kebetulan juga sedang memandangi mereka.

"What?" tanya Aiden yang bingung ditatap Kaiya dan Valerie dengan sorot mata yang sulit dideskripsikan.

Valerie beralih pada Kaiya lagi. "Yang dipikirin Mbak Kaiya, sama kayak yang aku pikirin nggak, sih?"

Us, Then? ✓ [Completed]Where stories live. Discover now