Jungoo merasa kepala nya terus berkedut, aish...rasanya Jungoo ingin mengumpat sebanyak yang ia bisa. Kakinya melangkah menuju jendela, ia menatap pada hujan yang sedang terjadi diluar. Dulu ketika ia masih bocah ia tak punya tempat untuk berteduh, tetapi Jungoo merasa bahwa hidupnya dulu lebih baik daripada yang sekarang. Dulu ia memiliki satu hal yang kini menghilang, kebebasan.

Ia dengan bebas melakukan apapun. Sekarang Jungoo merasa seperti ada yang membelenggu dirinya, seakan lehernya terpasang rantai tak kasat mata, membuat dirinya persis seperti hewan.

Jungoo duduk pada lantai yang dingin, jarinya menggambar dengan abstrak pada jendela yang terpasang rendah. Pandangan matanya meredup. Cahaya dalam hidupnya semakin memadam, tidak, dunia nya kini lebih gelap daripada hidup tak jelas di jalanan. Helaan nafas lelah ia keluarkan, tak ada gunanya merenungi hidupnya yang memang sudah berantakan dari awal.

Pintu kamarnya terbuka, Jungoo tak berniat untuk melihat siapa yang datang, masih sibuk dengan kegiatan menggambar abstrak. Telinganya dapat menangkap seseorang yang duduk pada ranjangnya.

"Kim Jungoo."

Sebuah panggilan membuat Jungoo reflek berbalik, tak lagi memunggungi sosok yang duduk pada ranjang.

Jonggun berjalan mendekati Jungoo yang duduk dengan terus menunduk didekat jendela. Ia mensejajarkan dirinya dengan Jungoo. Jonggun menarik rambut pirang tersebut dengan kuat, ia sedikit terkejut, pasalnya Kim Jungoo ini membuat mata yang tak pernah ia lihat selama ini.

Mata yang penuh dengan kebencian. Tetapi pada detik selanjutnya, tatapan Kim Jungoo kembali seperti sebelumnya, penuh dengan ketakutan. Jonggun terkekeh sekilas, alisnya tertaut, ia punya sebuah ide yang sangat bagus. Tetapi sekarang bukan waktu yang tepat.

Jonggun berbisik tepat pada telinga si pirang, "Gimana rasanya ngebedah 'isi' manusia secara langsung, Kim Jungoo?"

Jungoo menjawab pelan, "Mengerikan, Tuan..."

"Ah, lo takut?" Tanya Jonggun dengan kekehan diakhir.

Jungoo mengangguk sebagai tanggapan.

Jonggun semakin mengeratkan cengkeramannya pada rambut pirang, "Hidup lo kedepannya cuma ada dua pilihan, dibunuh atau ngebunuh, ngerti?"

Dengan ragu Jungoo menjawab, "Ya, Tuan."

Jonggun menghempaskan Jungoo hingga wajah lelaki itu hampir menyentuh lantai. Pemilik manik kelam itu berjalan keluar.

"Jadi anak yang baik selama gue pergi, Kim Jungoo," Ucapnya sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.

Jungoo kembali menghela nafas, ia menyembunyikan wajah pada lipatan lutut. Dibunuh atau membunuh? Ya, Jungoo juga tau itu.
.

.
Sudah satu minggu penuh Kim Jungoo bisa bernafas dengan sedikit lega. Tubuhnya sedikit membaik, tidurnya lebih tenang dari malam-malam sebelumnya. Tujuh hari yang telah berlalu dari perbuatan tak senonoh. Tak ada pemaksaan, tak ada pelecehan.

Tuan Muda Yamazaki sedang pergi. Tetapi Jungoo harus selalu bersiap diri, bersiap untuk segala hal menakutkan lainnya yang akan dilakukan oleh Tuan-nya.

Malam ini ia berada di dapur, bersama dengan pekerja-pekerja lain yang sibuk. Jungoo hanya duduk pada salah satu kursi yang berada di sana, mereka tak mengijinkan dirinya untuk membantu. Para pekerja ini sangat ramah, dan Jungoo suka. Walaupun mereka tak berbicara intens tetapi senyum yang mereka berikan cukup membuat Jungoo merasa nyaman.

Satu piring nasi goreng yang dicampur dengan berbagai sayuran serta potongan daging terhidang tepat pada hadapan Jungoo. Tangannya mengambil sendok, sebelum benar-benar menyuapkan ke dalam mulut Jungoo memilah daging dari nasi tersebut. Sejak kejadian itu Jungoo merasa ngeri dengan yang namanya daging. Ingin bilang jika ia masih terbayang tak mungkin juga, masih untung ia diberi makan.

Sangkar || GunGooDonde viven las historias. Descúbrelo ahora