1

2K 208 16
                                    




Suara kicauan burung yang terdengar samar-samar di telinga membawa seorang pemuda yang akhirnya membuka kelopak matanya di hari yang perlahan beranjak siang. Tubuhnya terduduk di tepi ranjang dengan manik yang menyipit tersorot sinar mentari dari balik gorden.

Renjun membawa tubuhnya beranjak dari ranjang setelah menghabiskan waktu lima menit untuk berdiam diri. Langkahnya dibawa menuju pintu rumah yang tak jauh dari kamar yang dihuninya. Irisnya semakin menyipit saat menerima semakin banyak cahaya yang menyorot dirinya.

"Bi" begitu panggilnya pada sosok yang diharapkan ada kehadirannya meski tahu bahwa seseorang itu masih belum kembali ke rumah.

Renjun mengambil duduk pada kursi di teras, kembali melamun dan merenung tak tahu arah. Genap satu minggu ia telah kabur dari rumah dan jauh dari kedua orang tuanya. Menarik diri dari kebisingan hidup dan berakhir pada suatu daerah yang tak pernah ia tapaki sebelumnya. Ponselnya dimatikan, entah bagaimana bingungnya kedua orang tuanya menyadari akan ketidakhadiran dirinya di rumah sepekan ini.

Renjun tidak peduli. Ia tidak peduli dengan orang yang terlalu memaksakan kehendak.

"Udah bangun?"

Renjun menerjabkan pandangannya pada sosok yang berjalan dari pagar rumah dengan menenteng sebuah ember dan beberapa alat lain di kedua tangannya.

"Paman ke mana, Bi?" tanya Renjun menyadari bahwa wanita setengah paruh baya itu kembali ke rumah seorang diri.

"Ke pasar ambil barang yang ga laku" jawab wanita yang dipanggil bibi itu. "Udah makan belum? Mau Bibi ambilin?"

Pemuda mungil yang baru lulus dari perguruan tinggi itu mengekori wanita tersebut dari belakang dan berakhir di meja makan. Duduk manis sambil menunggu bibinya membersihkan diri dari kotornya tanah sawah yang menempel di tubuh dan pakaiannya.

"Emangnya pasar di sini tutupnya siang ya, Bi? Kok Bibi dulu pernah belanja sore-sore?" tanya Renjun sekeluarnya bibinya dari kamar mandi.

"Ada sebagian yang buka, tapi banyak yang tutup juga. Kita sebagai penjual kan juga butuh istirahat, bukan jualan terus. Lagipun sayur yang udah dipanen dari kemarin kan udah ga segar lagi" tutur wanita tersebut seraya tangannya telaten menyiapkan makanan untuk si tamu.

Bi Ina, adalah seorang wanita yang menjadi pengasuhnya dahulu. Wanita tersebut mengundurkan diri dari pekerjaan saat dirinya telah masuk di bangku menengah akhir bersama sang suami yang bekerja sebagai petugas keamanan di rumahnya. Keduanya kembali ke kampung halaman, menghabiskan masa tua bersama dengan mengurus sawah peninggalan orang tua mereka. Dan kini Renjun melarikan diri ke rumah pasutri tersebut. Menumpang tinggal bersama mantan pengasuh dan petugas keamanan rumahnya dahulu.

"Besok mau ikut ke pasar?" tawar sang bibi.

Renjun menghentikan kunyahan pada mulutnya. "Harus bangun jam berapa?"

"Jam dua pagi udah harus buka lapak"

"Hah?" pekiknya tak percaya. "Dua pagi, Bi? Ngapain?"

Bahkan saat itu bisa jadi Renjun baru memejamkan mata untuk menjemput bunga tidurnya. Tapi kini ia ditawari untuk berkutat di pasar pagi-pagi buta? Apa dirinya sanggup? Membayangkannya saja seperti hal mustahil baginya.

"Kenapa ga jualan jam tujuh pagi aja? Itu kan batas wajar orang mulai beraktivitas?" tanya Renjun mencoba bernegosiasi.

Bi Inah terkekeh mendengar pertanyaan polos dari Renjun. "Yang ada kita bisa kehilangan pelanggan kalau jualan jam segitu, Nak. Banyak orang yang pembeliannya besar lebih milih belanja malam untuk dijual lagi di kampung-kampung"

Renjun beroria. Sepekan tinggal di desa tak membuatnya langsung mengerti dengan semua kehidupan yang biasa dijalani oleh warga setempat. Bahkan saat dirinya baru membuka mata saja orang lain telah bekerja di tempatnya masing-masing, entah itu sawah, perkebunan ataupun pasar. Bekerja saat orang lain tengah terlelap tidak pernah terpikirkan dalam bayangnya.

"Nanti deh dipikir-pikir dulu" alasannya dengan kekehan di akhir.

.

Renjun tidak setega itu datang meminta tumpangan dan membiarkan si tuan rumah bekerja seorang diri sedangkan dirinya asik menggapai mimpi di malam hari. Kini sebelum pukul dua pagi ia telah berada di pasar bersama sang paman. Membantu menurunkan berbagai sayuran yang sebelumnya telah dipanen dari mobil box dan dibawanya pada lapak milik pria itu.

Meski tak mengerti apa saja nama sayuran yang diturunkannya, Renjun hanya mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan saja. Ia juga tidak mengerti bagaimana menyusun berbagai sayuran tersebut ke dalam wadah yang telah disiapkan. Jadi saat semua sayuran telah diturunkan ia hanya duduk di sudut lapak melihat pamannya menata semua sayuran tersebut agar rapi dan menarik perhatian pelanggan.

"Setiap hari harus bawa semua ini?" tanya Renjun duduk pada bangku kecil di depan lapak pamannya. "Emang ga capek apa?"

"Ya capek, namanya juga kerja. Kerja mana yang ga capek?" jawab sang paman. "Kerja di rumah kamu aja yang ga capek"

Renjun terkekeh. Rubah mungil itu bangkit dari duduknya saat ada seseorang yang menghampiri lapak mereka. Ia berlakon layaknya seorang pramusaji toko yang biasa ia jumpai di mall.

"Loh beli cabe aja? Tomatnya? Nanti sakit perut kalau makan cabe doang" tawarnya pada pelanggan wanita. "Mau tomatnya sekalian? Murah k-WOI!"

Renjun berteriak kemudian saat tiba-tiba ia terkena percikan air dari mobil yang melaju tak tahu aturan dengan kondisi pasar yang baru saja diguyur hujan dan menyebabkan terbentuknya beberapa genangan air di sepanjang jalan.

Ia meninggalkan pelanggan tersebut dan memilih berlari mengejar mobil box yang baru saja menciprati dirinya yang membuat jaket yang membungkus tubuhnya dari dinginnya malam kotor akibatnya.

"Lo berhenti ga!" instrupsinya berusaha meraih gagang pintu mobil box tersebut.

Teriakannya tersebut tak luput dari pasang mata pedagang lainnya, hingga pada akhirnya mobil box tersebut berhenti di pintu masuk pasar.

"Lo gila!" umpatnya sebelum mengetahui siapa di balik kemudi mobil ugal-ugalan tersebut.

"Lo!" pekiknya kemudian saat kaca jendela diturunkan oleh sang pengemudi. "Lo kenapa ada di mana-mana sih? Bikin kesel mulu lagi"

"Udah?" tanya sang pengemudi dengan wajah datarnya yang mengundang wajah kesal Renjun semakin kesal.

"Udah? Lo ga tau tata krama ya habis bikin kesalahan?" cerocosnya. "Jaket gue lihat! Kalau nyetir selain pakai mata juga pakai otak. Udah tau banyak kubangan air dan lo lewat seenak jidat lo aja"

"Siapa yang suruh kamu berdiri di dekat kubangan, anak bebek?" tanya pemuda yang berkaos abu di sana. "Kalau udah tau ada kubangan itu menghindar, bukan mengumpankan diri sendiri"

"Lo!" tunjuk Renjun pada seorang pemuda yang pernah bertemu dengannya sehari setelah sampai di desa. "Ini tempat umum, jadi semua orang bebas berada di mana aja!"

"Den"

Jika saja Renjun tak dilerai oleh sang paman yang datang menghampiri dan kini mencoba menarik dirinya mungkin saja mereka masih berdebat hingga satu jam ke depan. Rubah kelahiran bulan Maret tersebut melempar jaket miliknya tepat mengenai wajah seorang pemuda yang tak ia ketahui namanya.

"Cuci" perintahnya kemudian meninggalkan tempat.

Sedang sang pemuda hanya menggelengkan kepala lalu menyimpan jaket milik orang asing sedikit gila tersebut di bangku penumpang sampingnya. Berlalu dari area pasar untuk melakukan tugasnya yang lain sebelum tertular gilanya bersama orang yang baru dua kali berjumpa dengannya.



Tbc





ANAK KOTA | JAERENWhere stories live. Discover now