Dika sontak kaget dengan apa yang dilakukan ustad Izhar. Ini memang bukan pertama kalinya ia dicium oleh orang lain, tapi kali ini berbeda. Ada sensasi seperti yang ia rasakan ketika dicium oleh Om Muh.

"Ihh, om ustad ngapain?" tanya Dika.

"Nah gitu dong ngomong. Habisnya kamu lucu, bikin Om pengen makan pipi kamu, hehe," gurau Ustad Izhar.

Dika tak tau harus bersikap seperti apa. Ia bukannya tidak suka, ia hanya bingung kenapa perasaan ini muncul lagi setelah sekian lama. Padahal dengan orang yang berbeda.

Ustad Izhar kembali membenamkan hidung dan bibirnya di pipi Dika untuk kedua kali. Kali ini dalam waktu yang cukup lama. Setelah puas, Ustad Izhar melepaskan ciumannya itu. Kini nampak garis senyum di bibir Dika.

"Nah gitu dong, jangan cemberut," ujar Ustad Izhar. "Karena dah hampir waktunya sholat, kita mandi dulu yuk. Om mau ke sungai, Dika mau ikut?" tanya Ustad Izhar.

Tanpa berpikir panjang, Dika langsung mengangguk penuh semangat. Kapan lagi ia bisa mandi di sungai, bareng Ustad Izhar lagi.

"Ayo," ajak ustad Izhar.

"Gendonggg!" pinta Dika.

"Hadeh, ya udah ayok," jawab Ustad Izhar dengan pasrah. Ia pun memposisikan dirinya di tepi saung dan mempersiapkan punggungnya untuk dinaiki oleh Dika.

Dika lantas berdiri dan mengalungkan tangannya di leher Ustad Izhar. Ia menyampirkan bajunya di pundak kanannya, dan mengambil sabun batang yang memang sudah disediakan di saung itu. Dika sangat menyukai aroma tubuh Ustad Izhar. Bahkan sesekali ia menghirup aroma keringat di baju Ustad Izhar. Hal itu menjadi candu baginya.

Mereka berjalan melalui pematang sawah menuju sungai. Sepanjang perjalanan, tangan Dika tak bisa diam. Ia mencari-cari keberadaan puting ustad Izhar. Begitu ia mendapatkannya, ia langsung memilinnya dengan gemas.

"Uhh dikaa, nakal ya," Ustad Izhar menepis tangan Dika, namun Dika tak menyerah, ia kembali mencari puting itu. Ustad Izhar akhirnya menyerah, dan membiarkan Dika melakukannya.

Mereka akhirnya sampai di sungai. Sungai tersebut ditutupi oleh pepohonan rindang, dengan bebatuan yang ditutupi oleh lumut. Banyak tumbuhan paku dan semak belukar di tepiannya. Pemandangan sejuk dan teduh, diselingi suara air yang mengalir, membuat suasana di sana menjadi syahdu. Air sungainya tampak sangat jernih, dan bahkan bisa melihat ikan-ikan kecil berenang di dalamnya. Dika tidak pernah main ke sungai ini. Tempat ini memang sepi di tengah hari bolong, dan akan ramai ketika pagi dan sore hari.

Ustad Izhar menurunkan Dika dari gendongannya. Ia meletakkan bajunya di atas batu besar. Tanpa rasa malu, Ustad Izhar meloloskan celana hitamnya, dan kini hanya mengenakan celana dalam saja. Ia tidak khawatir Dika melihatnya karena ia menganggap Dika masih anak-anak, bahkan seperti anaknya sendiri.

Dika yang melihat itu nampak tertegun. Di balik celana dalam itu, tampak jendolan besar, yang mungkin hampir sama dengan milik Om Muh. Dika kembali teringat kenangannya saat memainkan barang milik Om Muh. Ia ingin melakukan hal yang sama pada ustad Izhar.

"Yee, si Dika malah bengong, ayoo buka bajunya," ujar Ustad Izhar.

"Malu om," jawab Dika.

"Hadeh, kan sama-sama laki-laki, gapapa," ujar Ustad Izhar. Ia menghampiri Dika. Ia meloloskan baju dan celana Dika. Ia letakkan di batu yang sama dengan tempat bajunya berada.

Dika langsung menutupi kemaluannya yang masih malu-malu itu. Tubuh Dika kini sudah tidak ditutupi oleh sehelai benang pun. Memang Dika memiliki badan yang putih mulus, seperti Mama Dika. Badannya yang gemol, menambah kesan lucu padanya.

Dika dan Para Suami - New ChapterWhere stories live. Discover now