01. Setuju?

135 14 4
                                    

..

"Gimana, nak?"

"Huh," Yeonjun menghela napasnya dengan berat sembari melepas kacamata yang bertengger di hidungnya. Ia juga menutup laptopnya seraya bersandar ke punggung tempat tidur. "Aku gak tahu, bun," jawab lelaki itu masih tampak bingung.

"Nak, waktu kamu milih pakai logika kamu sendiri, hati kamu hancur. Tapi saat ini, ini pilihan bunda. Bunda memang gak mau menjamin apapun ke kamu, tapi bunda tahu mana yang baik dan mana yang enggak." Johyun mengusap bahu Yeonjun perlahan untuk memberi pengertian. "Kamu bisa nilai sendiri, kan, kejadian kemarin," lanjut Johyun.

"Yeji itu anak baik, cuma nasibnya aja yang kebetulan kurang beruntung. Gak ada yang mau seperti dia. Bunda cuma berpesan sama kamu, bunda, Minji, dan sepupu perempuan kamu yang lain gak ada yang mau mengalami hal seperti apa yang Yeji alami. Disaat temen-temennya menjauh, yang kita lakuin harusnya meluk dia. Lindungi dia karena kita gak tahu mungkin aja dia lagi ada di titik terapuhnya."

Johyun pun mulai beranjak dari sana. Hendak pergi dari kamar Yeonjun dan membiarkan putranya itu memikirkannya lebih matang. Tapi Yeonjun tiba-tiba menahannya dengan satu kata.

"Bun."

"Iya?" jawab Johyun seraya menoleh.

"Ini bukan termasuk syarat kerjasama bisnis ayah, kan?"

Johyun tersenyum lebar, kemudian tertawa kecil sembari menghampiri putranya kembali. "Kenapa kamu mikir gitu? Denger, ini semua murni karena mereka temenan sejak SMA. Mereka memang gak sering ketemu, tapi ayah kamu kenal sama ayahnya Yeji udah kaya sodara sendiri. Ayah juga tahu keluarga Yeji itu kaya apa," jelas Johyun, harap-harap Yeonjun luluh hatinya.

"Kalo aku terima keputusan ayah, apa itu bisa bantu dia?"

"Yeji? Tentu aja, nak."

Yeonjun terdiam beberapa saat sebelum memilih untuk memeluk bundanya dengan erat. Ia memejamkan mata dan kemudian mengangguk sembari berkata, "ya. Aku terima keputusan ayah."

Johyun sedikit terkejut, namun juga senang. Ia tidak ingin rasa sakit hati Yeonjun tertanam dalam sampai mati rasa, ia ingin Yeonjun bahagia dengan membuka lembaran baru bersama orang baru. Ia tahu mungkin putranya itu tidak begitu suka, tapi dengan cara ini, putranya tidak akan mendapatkan sakit hati dan kecewa lagi. Sebab Johyun percaya bahwa Yeji tidak akan menyakiti Yeonjun.

"Makasih, ya, nak. Bunda selalu percaya sama kamu. Tapi sebelum itu, kamu beneran gak keberatan, kan?"

"Maksudnya?"

"Tentang– kehamilan Yeji."

Yeonjun mengangguk pelan, "iya. Aku akan usaha buat nerima semampu aku nanti."

"Itu baru anak bunda." Johyun tersenyum senang. Ia beranjak dari sana pada akhirnya. Ia harus memberitahukan ini pada suaminya untuk membicarakan pernikahan Yeonjun dan Yeji sebentar lagi.

Sedangkan Yeonjun sendiri menghela napas beratnya, lagi. Walau sebenarnya ia masih ragu dengan keputusannya ini, tapi ia pasti akan menjalaninya juga, kan? Menikah dengan perempuan yang sedang hamil, terlebih bukan anaknya. Apalagi dari yang Yeonjun tahu, Yeji sama sekali tidak ingin hamil dengan cara seperti itu. Yeonjun tidak bisa merasakan empati secara penuh sebab ia seperti deja vu. Begitu Yeonjun ingat, Yeonjun jadi makin membencinya.

"Semoga keputusan ini bener."

"Park Yeji, ya?" Yeonjun bermonolog seraya menutup matanya kemudian. Rasanya bingung, pusing, dan juga asing terhadap sesuatu. Yeonjun belum sama sekali bertemu dengan perempuan itu, ia hanya tahu nama dan sedikit latar belakang Yeji. Itupun dari orang tuanya.

[B]. Today, Tomorrow, and ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang