Jeno mendongak tatap langit mulai menggulung hitam, maklum musim penghujan. Dan ketika titik air mulai turun ia lajukan motornya ke arah Jaemin,

"Hujan!"

"Hujan!" Ujar Jeno lagi dengan sedikit berteriak karena hujan begitu riuh mulai jatuhi atap halte "Dan kita ketemu lagi"

"Iya" Dia mengangguk dan kembali sibukkan diri dengan sepatunya, entah kisah apa yang Jaemin bagi dengan sepasang sepatu converse hitam tersb

"Jadi kenapa hari ini juga di halte?" Ia kian rapatkan jarak kala kendaraan besar melaju kencang, buat genangan air menyipak dan basahi punggung. Jeno sedang tidak mencoba menjadi pahlawan kesiangan kan? Toh ini sudah sore.

"Indomie goreng dan terlur setang matang cocok, ditambah te—

—Jawaban gue sama kayak yang kemarin" Tolak Jaemin, untuk kali pertamanya kepalanya mendongak dan saling bertatap sepersekian detik dengan Jeno.

Jeno mengendiikan bahunya, hendak ia ikut duduk sbebab tawari Jaemin ini tumpangan juga tidak mungkin diterima kan?

Jaemin mengernyitkan kening heran, lelaki aneh ini datang hanya ingin mengoloknya? "Jadi masalah lo itu apa? Gue yang menggangu? Gue yang aneh? Gue yang menggangu pandangan lo? Atau apa? Gue bahkan sama sekali nggak kenal sama lo, kenapa lo datang dan tiba-tiba berlagak nyebelin gini sih?!" Jaemin sedang tidak dalam mood yang baik, sepanjang hari ia tahan untuk tidak mengumpat pada orang tapi orang aneh ini tiba-tiba datang dan berlagak mendekatinya adalah hal yang mudah?

"Jemima?" Panggilannya "Jaemin Jemima Lintang Odessa" Kembali Jeno panggil nama tersebut.

"Demi Tuhan! Kalau siapapun itu ngajak taruhan atau apa, gue lagi nggak mood hari in—

—Jericho. Lahir waktu langit sedang memerah hampir malam, kayak gini tapi waktu itu nggak mendung apalagi hujan sih"

"Ha?"

"Terserah mau panggil apa. Mau Jericho boleh, mau Jek juga boleh, Eri? Boleh juga. Terserah, senyaman lo aja" Ia ambil posisi duduk lebih dekat di samping Jaemin, dengan payung yang selalu siap halau bagaimana air coba menciprat dan kian basahkan baju yang sejujurnya, sudah basah.

"Pertama, semua prasangka lo itu salah! Nggak ada tuh yang ngajakin gue taruhan, Kedua, sedih sendirian itu nggak enak, jadi gimana kalau gue temanin? Mau mie ayam deket lampu merah? Enak loh di sana" Tawar Jeno, ia tak punya rekomendasi tempat makan sejujurnya tapi ia ingat tadi Haechan sempat mengajaknya ke sana,

"Gue nggak sedih? Dan gue juga nggak laper?" Jaemin gelengkan kepalanya, wajahnya memang minim rekasi, dia tak banyak perlihatkan reaksinya pada apapun itu, tapi bukan berarti dia yang tidak sedang tersenyum itu adalah dia yang sedang sedih kan?

"Mima? Boleh gue panggil gitu aja? Semua orang udah panggil Jemima kan? Rasanya harus beda nggak sih biar lebih mudah diingat"

Mulut Jaemin hendak terbuka kalau-kalau saja ia tak secara refleks menoleh menatap dan beri ultimatum "Jangan Hah lagi, coba cari kata-kata lain" Jelasnya.

"Mima?" Panggil Jeno, entah mengapa bibirnya suka sekali gumamkan nama itu.

"Iya?"

"Namanya bagus. Apa artinya?"

"Nggak tau!"



"Ooh" Ia bergumam setelahnya, seperti belum temukan kalimat tanggapan yang tepat untuk Jemima, ia tidak jago untuk basa-basi "Setiap hari emang ini tempat favorit Lo ya?"

Jaemin menoleh, ia lelah, dingin dan ingin segera berjumpa dengan ranjangnya.
"Apa?" Tanya Jaemin meskipun ia malas, tapi biar ia diam juga pasti lelaki di sampingnya ini akan lontarkan pertanyaan lain,

"Siapa?"

"Eh?"

"Udah berapa kali gue sebut nama. Ada beberapa pilihan juga yang udah gue kasih, jadi Lo ini mau panggil gue apa? Masa nanti kalau kita ketemu di jalan Lo manggil gue 'hah' kan aneh?"

"Jericho?"

"Boleh, kalau terlalu panjang bisa di singkat jadi Jaja, atau Jeje"

"Okay?" Jaemin masih yakin kalau lelaki ini datang padanya hanya untuk taruhan, kalau tidak untuk apa orang aneh ini harus rela kehujanan dan kedinginan begini untuk hal yang tidak di bayar?

"Mima, lo tau di mana dan kapan bumi begitu cantik dan indah? Itu wak—

Belum sempat kalimatnya selesai, sebuah tangan tarik lengan Jaemin, tak cukup keras memang namun cukup buat terperanjat kaget "Gue harus pergi!" Jeno tersenyum, menyambut bagaimana tangan tadi coba meraih jemarinya.

Tanpa tunggu persetujuan Jeno, Jaemin lantas berlari susuri jalanan becek, buat Jeno ikut berdiri dan kejar anak itu.

"Mima!" Ia berteriak nyaring sambil tarik lengan Jaemin untuk hentikan langkah kaki anak itu "Hujan. Bawa aja payung gue"

"Gue nggak begitu perlu?" Jaemin peluk tubuhnya yang sudha basah, jadi buat apa lagi payung untuknya?

"Peru Mima. Bawa gih" Sedikit paksaan Jeno lakukan dengan sodorkan patungnya pada Jaemin.

"Enggak, gu—

—Bawa, supaya kita punya alesan buat ketemu lagi"

Jaemin mengalah lalu raih payung biru Jeno, tak lama ia bawa langkahnya menjauh dengan sedikt berlari hingga air hujan menyipak dan basahi celana.

Jaemin mengalah lalu raih payung biru Jeno, tak lama ia bawa langkahnya menjauh dengan sedikt berlari hingga air hujan menyipak dan basahi celana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Kalian tau Jemima sama Jericho nggak?

Melankolia Where stories live. Discover now