1. Sekotak Hujan dan Jemima

Start from the beginning
                                    

Ketika keluar dari kamar mandi sambil menggigil peluk handuk, aroma sayur kangkung dan ayam goreng menyeruak indra penciumannya "Menu ayah terus bund?" Tanyanya, selama ayah libur lauk tak jauh-jauh dari kangkung dan ayam goreng hanya sambalnya saja yang berbeda-beda setiap hari.


"Biar lah, kamu kan bisa tiap hari request sama bunda, ayah kan jarang. Jadi ngalah dikit lah sama ayahmu" Bunda dengan telaten susun meja makan, piring untuk Daniel juga di tata, padahal si pemilik bangkunya sedang tidak di rumah.


"Cepet deh pakai bajumu terus makan. Atau mau telanjang gitu sarapannya?" Tanya ayah yang bahkan sudah rapi, entah kapan beliau masuk ke kamar mandi belakang lalu bersiap lebih dulu daripada dia.


"Iya" Jeno mengangguk singkat lalu berlari menuju kamarnya,



Tak lama ia kembali, duduk di meja makan sambil mengantri disiapkan makan oleh bunda. Sesaat ia tatap kedua orangtuanya, menatap seisi rumah sampai pada sosok bi Marni yang mulai sibuk menata peralatan masak di dapur. Sejujurnya, ia penasaran mengapa ia hidup biasa saja. Maksudnya, iya dia tidak berada di bawah garis kemiskinan, ia bisa sekolah di tempat bagus, mengenyam bangku kuliah, mendapat kendaraan pribadi. Tapi, dibandingkan orang lain, harusnya ia kaya kan? Ayahnya tentara senior,


Apa ayahnya tidak korupsi? Sampai ia harus hidup bisa saja begini? Ia kenal banyak anak-anak jendral entah dari angkatan mana, tapi kalau dibandingkan dengan dia sih rasanya bagai bumi dan langit.


"Nanti antar ke rumah Om Tino saja lah dek" Ujar ayah tiba-tiba buat lamunan Jeno terhenti.


"Kenapa nggak sekalian aja yah?"


"Ada barang-barang ayah di sana. Sudahlah toh jauh juga kalau kamu harus putar balik ke kampus, nanti ngeluh capek terus mau bolos lagi" Jeno tertawa, dibandingkan kakaknya ia memang lebih senang berjalan tak tentu arah, belum temukan jalan hidup yang pas katanya.







 Sudahlah toh jauh juga kalau kamu harus putar balik ke kampus, nanti ngeluh capek terus mau bolos lagi" Jeno tertawa, dibandingkan kakaknya ia memang lebih senang berjalan tak tentu arah, belum temukan jalan hidup yang pas katanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.






Kehidupan kampusnya normal. Sebagai anak semester lima, banyak tugas tapi juga banyak waktu untuk sekedar nongkrong, banyak penjelasan dosen yang tidak masuk di kepala tapi Jeno tetap hadir kelas dan duduk di bawah AC bangku belakang agar tidak jadi sasaran dosen kalau ada pertanyaan.


"Kelas Pak Muh di ganti Sabtu" Jeno sudah lari terengah-engah menuju lantai tiga sebab dia kira telat tapi sosok ketua kelasnya menyambut di muka pintu "Kelas selanjutnya masih nanti setelah jam dua"



"Hah?" Jeno raih kursi dan dudukkan dirinya di sana "Kok lu nggak ngab-


-Gunanya smartphone itu ya memudahkan hidup, makanya jagan di mode pesawat"


"Nggak gue mode pes- Oh? Okay?"


"Woy!!!" Keduanya menoleh lalu temukan sosok Dino di ambang pintu, terengah-engah sama persis seperti Jeno tadi "Gila, anjing banget!" Keluhannya lalu duduk samping Jeno, tak lama sosok ketua kelas pergi melenggang begitu saja.


Melankolia Where stories live. Discover now