1. Terdampar

16 1 0
                                    

Ayana mengerjap beberapa kali.

Ini aneh.

Pemandangan yang ada di hadapannya saat ini sangat berbeda dengan suasana jalanan sepi yang tadi ia lewati. Bahkan tak ada gang gelap yang tadi ia susuri saat mengejar jambret yang mencuri tasnya.

Tunggu ... apa ia sudah mati? Hanya karena kepalanya membentur tembok? Ia ingat dengan jelas tadi penjambret itu berbelok ke sebuah gang sempit dan ia mengikutinya. Karena gelap, ia tak melihat gang itu memiliki persimpangan, membuatnya tetap berlari lurus padahal seharusnya ia berbelok. Alhasil, ia menabrak tembok di persimpangan gang itu.

Mengingat rasa sakit tak tertahankan yang dideritanya, Ayana tanpa sadar meringis.

Apa dia benar-benar sudah meninggal? Mati konyol?

"Hahaha ... nggak mungkin, deh." Ia terkekeh pelan.

"Putri Ayana, apa yang sedang Anda katakan?" Suara seseorang mengalihkan pikirannya.

Huh? Putri?

Ayana mendongak. Matanya menangkap beberapa orang dengan pakaian yang tampak aneh tengah memandangnya dengan tatapan ... jijik?

Apakah orang-orang ini adalah malaikat maut?

"Eh ... ya?" Ia kebingungan. Mengapa tampaknya semua orang tengah memusuhinya?

"Anda bicara seperti rakyat jelata. Sebagai seorang putri, Anda tidak boleh melakukan hal seperti itu."

Ayana melongo. Hah?

Tak memberinya kesempatan untuk memahami situasi saat ini, orang itu kemudian menariknya dengan kasar. "Cepatlah bangun, Yang Mulia sudah menunggu Anda untuk menanyakan alasan Anda melompat ke kolam suci dan membuat keributan. Jangan membuat kami para pelayan kerepotan karena tingkah Anda."

Hal berikutnya yang mereka lakukan pada Ayana adalah merendamnya—membenamkannya ke dalam sebuah bak mandi besar tanpa melepaskan pakaiannya dan menggosok tubuhnya asal-asalan. Ayana bahkan harus menahan napas dan menutup mulut rapat-rapat agar tak menelan air yang disiramkan padanya.

Apa ini? Apakah ia sedang disucikan? Dimandikan agar dosa-dosanya berguguran? Apakah harus sebrutal ini?

Setelahnya, ia diminta berganti pakaian dengan gaun yang tampak mewah, tetapi Ayana merasa ada yang salah dengan bentuk dan warnanya. Gaun itu berwarna kuning terang dengan bagian pinggang yang diisi dengan gumpalan karet busa, membuatnya tampak lebih gemuk dari yang seharusnya.

Ayana hendak melihat pantulan dirinya di cermin, tetapi tak ada satu pun cermin di sekitarnya. Mungkin kastil penyucian ini—Ayana menganggapnya begitu—memang didesain seperti ini.

"Tampak lebih baik." Wanita yang memimpin orang-orang itu mengangguk puas saat melihat penampilannya. "Mari tata rambutnya."

Beberapa orang mendekati Ayana dan mendudukkannya di sebuah kursi yang di hadapannya terdapat meja rias—lagi-lagi tak ada cermin—lalu tanpa basa-basi menyisir rambutnya. Ayana meringis kesakitan saat rambutnya ditarik dengan kasar dan ia merasakan beberapa helai rambutnya putus.

Benar-benar tanpa toleransi. Mungkin dosanya terlalu tak termaafkan sampai harus diperlakukan begini.

"Selesai. Sekarang pergilah menghadap Yang Mulia dan jelaskan semuanya." Wanita itu menepuk bahu Ayana, mendorongnya keluar ruangan.

Ayana menoleh ke belakang, ke tempat orang-orang itu berdiri. Apa mereka tidak mengantarnya? Tak ada perlakuan khusus bagi pendosa?

Lagipula, siapa Yang Mulia? Apakah itu dewa yang akan memutuskan hukuman apa yang ia terima?

"Pergilah. Yang Mulia pasti sudah menunggumu di ruang makan." Melihatnya berdiri kebingungan dan tampak linglung, wanita itu memerintahnya seraya mengangkat dagu, menyuruhnya segera bergegas.

Masih tak memahami situasi saat ini, Ayana kemudian bergerak perlahan ke luar ruangan. Akan tetapi, begitu kakinya melangkah keluar dari pintu, sebuah koridor mewah menyapa penglihatannya. Lantainya tampak terbuat dari marmer, tapi Ayana yakin bahwa itu bukan marmer biasa. Koridor itu sangat luas, dengan beberapa pintu bangunan lainnya berjarak sekitar lima puluh meter dari tempatnya berdiri. Pintu-pintu ini tak hanya ada satu atau dua, tapi puluhan.

Seberapa luas sebenarnya kastil ini? Pintu-pintu apa itu? Apakah setiap ruangan memiliki penghuni?

Ayana mendongak, menatap langit-langitnya dan terkesiap saat melihat lampu-lampu dengan bentuk aneh bergantungan di beberapa bagiannya. Sejauh mata memandang, itu adalah sebuah pemandangan menakjubkan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Orang yang mendesain tempat ini memiliki jiwa seni yang sangat luar biasa!

"Oh, lihat, siapa ini? Putri Bungsu Ayahanda yang dua hari lalu mencoba bunuh diri di kolam suci." Suara centil seorang gadis tiba-tiba terdengar di belakangnya.

Ayana menoleh dan mendapati seorang gadis muda dengan gaun satin berwarna oranye pucat tengah menatapnya dengan sinis.

Cantik sekali. Ayana berdecak kagum. Jika saja wajah sinis itu dihilangkan dan diganti senyum, gadis ini layak disebut bidadari. Dan kulit putih halus itu benar-benar menawan!

Tapi siapa orang ini? Mengapa menyebutnya putri bungsu?

"Apa yang kau lihat?" Tiba-tiba gadis itu membentaknya dengan mata melotot tak senang. "Minggir! Kau menghalangi jalanku!"

"Eh? Oh ... y-ya ...." Ayana segera menyingkir, memberi jalan gadis itu dan beberapa orang yang mengikutinya. Saat gadis itu melewatinya, ia dengan sengaja menyikut lengan Ayana, membuat Ayana terhuyung dan terjatuh.

"Heh, memang pantas disebut udik! Tak ada bedanya dengan rakyat jelata." Sang gadis menyeringai senang melihatnya. "Jaga jarak dariku. Kau harus berjalan setidak dua puluh meter lebih jauh dariku. Aku tidak mau Ayahanda melihatku datang bersamamu!"

Setelah mengatakan hal itu, ia melengos pergi, meninggalkan Ayana yang melongo bingung.

Ia benar-benar tak mengerti. Sejak terbangun dan bertemu orang-orang, entah mengapa ia merasa seperti sedang dikucilkan, diperlakukan dengan buruk. Beberapa hal juga terasa begitu janggal. Mulai dari bangunan ini, cara orang-orang berpakaian yang tampak seperti gaya kerajaan, juga cara bicara mereka yang menggunakan nada kuno itu ... semuanya terasa aneh.

Benarkah ia sudah mati? Tapi mengapa orang-orang memanggilnya Putri? Mengapa ia dituduh mencoba bunuh diri? Siapa Ayahanda yang disebutkan gadis itu barusan? Mengapa ia tiba-tiba menjadi putri bungsunya.

Di mana ini sebenarnya?

Ayana merasa kepalanya akan meledak karena berbagai pertanyaan yang melintas di benaknya.

Apa ini mimpi?

Ia kemudian menepuk-nepuk pipinya, mencubit tubuhnya sendiri, berharap ini hanyalah mimpi konyol yang ia alami karena saat ini ia tengah pingsan karena kepalanya terbentur. Namun, setiap tepukan dan cubitan hanya membuatnya meringis kesakitan, bukti bahwa semua ini sangat nyata.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia tiba-tiba pindah ke tempat ini? Apakah seseorang membawanya kemari saat ia pingsan?

Tidak bisa begini. Ia harus mencari informasi secara langsung. Jika ia tidak mati dan ini bukan kastil penyucian, kastil kematian dan sebagainya, ia harus mencari cara untuk kembali ke tempatnya semula. Di sudut kecil gang sempit itu pun tak masalah, asal bukan di tempat aneh seperti ini!

Ayana kemudian berdiri. Orang-orang itu mengatakan padanya bahwa ia harus bertemu dengan 'Yang Mulia'. Kemungkinan, orang itu mengetahui segalanya dan ia bisa menanyakan padanya tentang cara untuk bisa kembali.

***

Transmigrated: The Youngest PrincessOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz