BAB 9 - MEREKA YANG BERKUASA (BAGIAN II)

26 11 0
                                    

Menjelang petang, pintu kediaman Gusti Prabu Jayanegara ditutup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjelang petang, pintu kediaman Gusti Prabu Jayanegara ditutup. Memang seperti itulah aturannya. Selepas senja, tidak ada yang diizinkan masuk ke kediaman raja selain pengawal dan dayangnya, kecuali bagi mereka yang diutus untuk menemui Gusti Prabu. Seperti halnya Mahapati saat ini. Tangan kanan raja yang hampir setiap petang mengunjungi kediaman raja untuk menyampaikan kabar.

"Apa yang ingin kau sampaikan kepadaku?"

Dengan duduk bersimpuh, Mahapati menyampaikan kabar yang dibawanya untuk sang raja. "Dari Nglawi, ada pergerakan aneh di Padepokan Sumber Glagah, Gusti."

Gusti Prabu mengernyitkan dahinya, tidak yakin dengan apa yang ia dengar. "Sumber Glagah? Bukankah itu padepokan milik Mpu Bumantara?"

"Benar, Gusti."

"Pergerakan aneh macam apa yang kau maksud?"

"Mata-mata kita menangkap adanya prajurit baru yang mereka rekrut."

Masih belum dapat mempercayai Mahapati sepenuhnya, Prabu Jayanegara mencoba mengelak dari kabar itu. "Lalu? Bukankah itu hal yang biasa? Setiap perguruan pasti akan mendapat murid baru. Lagipula, mereka adalah calon pelindung wilwatikta di masa depan."

"Tapi, Gusti. Yang aneh adalah Mpu Bumantara akan selalu memberi kabar tentang siapa murid barunya kepada Adipati Nglawi, namun kali ini belum ada satu kabar pun yang masuk melalui Adipati Nglawi."

"Bukan apa-apa, Gusti. Hamba hanya mengkhawatirkan adanya bibit pemberontakan seperti yang sebelumnya." Yang dimaksud oleh Mahapati adalah pemberontakan Nambi, di awal masa pemerintahan Jayanegara sebagai Raja Majapahit. Pemberontakan yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila Prabu Jayanegara tidak terhasut oleh kelicikan Mahapati.

Ya, Mahapati adalah duri di dalam tubuh Dinasti Rajasawangsa. Ia adalah sosok yang menjadi pengaruh terburuk bagi Prabu Jayanegara. Ambisinya untuk meraih tempat tertinggi di samping raja membuatnya bersedia melakukan apa saja, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan kawannya. Dialah tokoh utama yang sebenarnya dalam terjadinya pemberontakan Nambi. Orang yang mengadu domba sang raja dengan para abdi setianya.

Prabu Jayanegara yang semasa mudanya dipandang sebagai pangeran pengecut oleh para petinggi kerajaan memang memiliki rasa rendah diri jika berhadapan dengan mereka. Bukan salah Prabu Jayanegara, sebenarnya. Ini adalah akibat dari mereka yang selalu meremehkan pemuda dengan julukan Kalagemet. Cacian di masa kecilnya adalah siksaan tanpa akhir. Bahkan hingga detik ini, rasa rendah diri itu masih ada dalam jiwa kecil Raden Kalagemet.

Apa yang dilakukannya dewasa ini, semata hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya berkuasa. Ia akan melakukan apa saja demi melindugi tahtanya. Bahkan jika itu berarti harus melarang para saudara tirinya untuk menikah, sehingga tidak ada dari mereka yang memiliki penerus. Selama masa kekuasaannya ini, hidup Prabu Jayanegara tidak pernah tenang dan selalu dihantui oleh tahtanya. Tidak pernah sedetikpun ia tertidur nyaman tanpa dihantui rasa takut akan mereka yang menginginkan tahtanya. Perasaan cemas itu memang ia ciptakan sendiri dalam alam bawah sadarnya, namun ia tidak pernah menyadari itu.

Memikirkan bagaimana pemberontakan yang mungkin saja terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Mahapati, membuat kepala Prabu Jayanegara terasa pening. "Kau, kembalilah dan jalankan tugasmu! Kabari aku setiap hari!"

"Sendika, Gusti." Mahapati beranjak dengan perlahan.

"Sekarang panggilkan Walyan!"

"Ada apa, Gusti?"

Tidak dapat menahan perasaannya, Gusti Prabu menggeram dan membentak Mahapati. "Diam dan keluarlah! Kepalaku pening."

"Jika demikian, Hamba undur diri, Gusti."

Sepeninggal Mahapati, Prabu Jayanegara kembali dengan pikirannya yang sibuk menerka-nerka apa yang direncanakan Mpu Bumantara. Prabu Jayanegara dan Mpu Bumantara bukanlah orang asing bagi satu sama lain. Ikatan keduanya tidak kurang dari hubungan guru dan murid. Semasa kecilnya, Mpu Bumantara lah yang mendidiknya. Mpu Bumantara yang ia kenal adalah sosok yang bersahaja. Seorang resi yang penuh kewibawaan. Seorang walyan yang sakti. Dan seorang guru yang mengayomi muridnya. Rasanya ia masih belum dapat mempercayai ucapan Mahapati yang menuduh sang guru memiliki rencana untuk memberontak kepadanya.

Hatinya menolak untuk mempercayai Mahapati, namun pikirannya menilai bahwa Mahapati yang selalu tepat memberikan kabar tentang keadaan di luar keraton memaksa dirinya untuk yakin kepada tangan kanannya itu. Kepalanya semakin sakit memikirkan hal itu. Pikiran-pikiran negatif telah memenuhi isi kepalanya, dan itu membuatnya seakan-akan segera meledak.

"Aaaaargh!" teriak Prabu Jayanegara tak tertahankan. Tangannya terkepal dengan kuat, hingga kuku jarinya melukai telapak tangan. Napasnya berembus kasar. Pertanda bahwa kali amarah bercampur kekecewaan menguasai hatinya. Kegelisahan hatinya membuat perangai kasarnya mucul. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada yang berani mendekat ke kediaman raja. Tidak juga para dayang dan pelayan. Semua berjajar di depan pintu gerbang. Mereka lebih memilih untuk terkena angin malam daripada menjadi korban amarah sang raja.

"Mana Walyan yang kupanggil?" Prabu Jayanegara kembali berteriak tidak sabar. Dengan segera pintu ruangan itu terbuka. Seorang walyan muda masuk dengan di dampingi oleh seorang tuha nambi yang berjalan tepat di belakangnya.

"Gusti, Hamba di sini." Ujar pemuda itu sembari duduk bersimpuh di hadapan sang raja.

"Tanca..."

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sisik Merah: Telaga, Api, dan Sang Naga (Terbit Versi Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang