BAB 7 - GURU DAN MURID

26 10 2
                                    

"Pedang itu ada di tangan Gusti Prabu Jayanegara, dan Kanjeng Gusti Wiratnaga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Pedang itu ada di tangan Gusti Prabu Jayanegara, dan Kanjeng Gusti Wiratnaga. Ayah dan pamanmu."

Suara Mpu Bumantara berdengung di telinga Banara. Belum selesai kegelisahannya memikirkan kekacauan yang ia ciptakan semalam, kini ia harus menerima kenyataan bahwa ia harus mendapatkan dua pedang itu dari makhluk yang paling berkuasa di Jawadwipa. Entah apa yang harus ia lakukan agar keduanya bersedia memberikannya pedang kembar itu. Tidak mungkin mereka akan memberikannya secara percuma, bukan?

Mpu Bumantara menangkap kegelisahan yang ada di sorot mata Banara. Mana mungkin Banara bisa tenang? Setelah mengetahui bahwa dirinya bukan anak dari Sita, wanita yang selama ini berperan sebagai ibunya, dan secara bersamaan Banara harus menerima bahwa ia bukanlah manusia seutuhnya, melainkan setengah siluman naga. Ditambah lagi sekarang ia dikejutkan dengan kenyataan jika nyawanya sudah di ujung tanduk, jika ia tidak mendapatkan pedang naga kembar dari ayah dan pamannya.

Berat yang harus dipikul oleh pemuda ini memang tidak main-main. Bahkan ketika tahu nyawanya diujung tanduk, ia masih memikirkan kekacauan yang terjadi karena jiwa silumannya yang tiba-tiba saja muncul. Pada dasarnya Banara memang pemuda yang beradab dan bertanggung jawab, dan itu semua karena didikan Sita. Pastinya tidak mudah mendidik seorang anak lagi-laki tanpa sosok ayah, namun Sita berhasil melakukannya. Sekarang, tugas Mpu Bumantara adalah membuat Banara menjadi sosok tangguh yang cukup kuat untuk menghadapi dua raja dari dua bangsa itu.

"Dengar Banara!" Banara yang pikirannya sudah berkelana, akhirnya kembali ke raganya karena panggulan dari Mpu Bumantara. "Aku menghargai setiap keputusan yang nantinya kau buat. Entah kau akan berada di sini, atau kembali ke rumahmu aku akan menerimanya. Tugasku adalah melindungimu sebagai bentuk balas budiku kepada Dewi Nagageni yang telah merelakan sukmanya untuk melindungi cucuku. Namun, jika kau tidak berkenan dengan itu, aku tidak akan memaksa."

"Yang harus kau ketahui sekarang adalah, waktumu untuk mendapatkan kedua pedang itu hanya sampai gerhana matahari terjadi. Ketika cahaya dan bayangan menjadi satu, itulah satu-satunya saat yang tepat untuk mengunci dua jiwamu yang saat ini tengah bertarung dalam ragamu. Dan, ketika masa itu kau lewatkan, maka waktumu berakhir saat itu juga." Mpu Bumantara tidak sampai hati untuk mengabarkan perihal terkutuk itu kepada Banara, namun dia memang harus mengetahuinya. Banara harus mengetahui bencana apa yang akan datang kepada dirinya jika ia tidak mendapatkan pedang kembar itu.

Banara merenung sejenak. Bukan ia takut mati, bukan. Yang ia takutkan adalah, ketika ia mati, siapa yang akan melindungi ibunya di masa depan? Siapa yang akan merawat ibunya saat usia senjanya sudah datang? Untuk saat ini, tidak ada yang lebih penting dari ibunya. Tidak ada. "Baiklah, ajari aku Romo!"

"Ajari aku untuk bertarung!" dengan bara di mata Banara, Mpu Bumantara tahu bahwa benar-benar bertekad untuk mendapakan Pedang Naga Kembar itu.

Mpu Bumantara yang mengetahui rahasia kelahiran Banara, sebenarnya memiliki banyak hal yang disembunyikan. Termasuk apa yang akan terjadi pada manusia jika Banara sampai gagal mendapatkan dua pedang itu.

Biar saja! Untuk saat ini cukup itu yang Banara ketahui. Cukup beban untuk dirinya sendiri yang perlu ia tanggung sekarang.

Pria tua itu enggan untuk membuka semua rahasianya kepada Banara. Biarlah pemuda itu berlatih dengan tenang. Menurutnya, kegelisahan dalam hati Banara sangat mempengaruhi jiwa siluman yang ada di tubuh pemuda itu, dan Mpu Bumantara tidak akan membiarkan jiwa siluman itu mengambil alih raga Banara untuk yang kedua kalinya. Setidaknya, sampai ia dapat mengetahui sejauh mana kekuatan siluman Banara sesungguhnya. Untuk sekarang, melatih kemampuan dan ketangkasan bertarung sudah cukup bagi Banara.

"Selamat datang, muridku!"

***

Kini Banara ditemani oleh Mpu Bumantara, dan Margo yang merupakan pimpinan murid di padepokan ini berlatih di hutan. "Apa yang kita pelajari kali ini, Romo?"

"Ambil busur dan anak panah di pelana kuda ku!" banara segera menjalankan perintah itu, dan mendapatkan bususr serta anak panah yang dimaksud.

"Margo, panggilkan Camara!"

Camara? Telingaku tidak salah dengar 'kan?

"Baik, Romo." Margo bergegas kembali ke padepokan untuk menjalankan perintah dari Mpu Bumanatara.

Tidak tahan untuk tidak bertanya mengenai Camara, akhirnya Banara memutuskan untuk membuka suara. "Camara? Untuk apa? Dia belum pulih, Romo."

"Bagaimanapun juga yang dapat mengendalikan jiwa silumanmu adalah Camara. Keris Pakujiwo adalah milik Camara. Sukmanya telah menyatu dengan keris itu. Jadi meskipun keris itu memiliki kekuatan magis, jika bukan Camara yang menggunakannya, akan sia-sia saja."

"Lalu, bukankah aku sekarang baik-baik saja? Kenapa memanggilnya kemari?" Banara masih berusaha mengelak dan bermaksud menolak kehadiran Camara di hutan ini.

"Nak, dalam berlatih, mungkin rasa lelah dapat memancing amarahmu. Ketika jiwamu bergejolak, dan kesadaranmu mulai berkurang akibat kelelahan, itulah saat yang paling mudah bagi jiwa silumanmu untuk mengambil alih dirimu."

Dengan penjelasan seperti itu dari Mpu Bumantara, maka berakhirlah sudah perdebatan kecil antara guru dan muridnya. Jika boleh jujur, sebenarnya Banara hanya merasa canggung dengan Camara, karena Camara yang pernah mendengar bagaimana isi pikirannya. Namun, di saat seperti ini rasanya tidak penting perasaannya itu. Kini yang harus menjadi perhatian utamanya adalah mempersiapkan siri untuk melawan dua raja yang sakti mandraguna.

"Kita mulai saja dulu. Cobalah untuk memanah, aku harus mengetahui kekuatan tarikanmu!"

Banara menyiapkan bususr dan panahnya untuk segera mengarahkan anak panah ke arah sasaran yang sudah ditentukan. Dengan kekuatannya banara menarik anak panah itu dengan busur. Dan anak panah miliknya itu berhasil mengenai sasarannya. Bahkan kemampuan Banara itu mampu mengundang decak kagum dari Mpu Bumantara seniri. "Sudah kuduga. Darah bangsawanmu memang tidak berbohong. Bahkan meski kau belum pernah menyentuh busur panah ini, kau bisa mengenai boneka jerami itu."

"Kau hanya perlu mengarahkan anak panah itu sedikit ke atas. Biarkan panah itu menukik membentuk kubah, dan kau akan mendapati anak panahmu mengenai sasaran."

"Baik, Romo."

Mengikuti saran Mpu Bumantara, Banara mengarahkan anak panahnya ke arah boneka jerami yang tersisa. Namun, belum sempat pemuda itu menarik busurnya, pandangannya teralihkan oleh kedatangan Camara. Gadis itu tampak beda. Banara mencoba mencari tahu apa yang membuat Camara berbeda, namun ia tak kunjung menemukannya.

"Kita sudahi dulu latihan ini." Mendengar Mpu Bumantara mengatakan hal itu, Banara heran.

"Tapi kita baru saja mulai, Romo."

"Ini tidak dapat diteruskan, jika ragamu saja yang ada di sini, namun pikiranmu ada bersama dengan cucuku." Tentu saja Banara sangat malu mendengar teguran halus itu dari Romo. "Kau harus belajar mengendalikan pikiranmu, Nak! Karena latihan ini akan menjadi sangat sulit, jika kau tidak dapat mengendalikan perasaanmu saat Camara hadir pada setiap latihanmu." Di tengah usaha untuk menahan rasa malunya, Banara menggerutu dalam hatinya.

Sial! Kau memang bodoh sampai ke ubun-ubun Banara!

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sisik Merah: Telaga, Api, dan Sang Naga (Terbit Versi Cetak)Where stories live. Discover now