Sedangkan Gara masih terpejam, namun ia dapat merasakan dengan jelas perubahan atmosfer di sekelilingnya.

Rasa benci seketika menyeruak kembali kedalam hati dan pikiran Gara. Bayangan dimana ia hampir mati di tangan ayah dan kakaknya kembali menyelimuti ingatannya. Nafasnya sedikit tak beraturan sekarang, bahkan tangannya pun mulai terkepal erat. Sial, rasa sakit yang sama kembali tanpa di pintanya. Rasa sakit yang bahkan tak ingin diingatnya lagi.

Arshavin memutuskan kontak mata yang sangat tak berguna dengan Gabriel. Ia menepuk-nepuk puncak kepala Gara. Gara membuka kelopak matanya dan menatap langit yang sudah gelap. Udara di sekitar perlahan berubah menjadi dingin.


Angin yang semula berhembus dengan pelan ternyata membawa awan mendung yang kini menurunkan sedikit demi sedikit air yang di tampung nya. Bahkan cuaca pun bisa berubah secepat itu, apalagi manusia.

"Ayo masuk, nanti keburu hujan" ujar Arshavin.

Gara menatap daddy-nya dan tersenyum simpul, sebelum lagi-lagi tangannya di tahan oleh Gabriel.

"Anda ingin putra saya semakin sakit?" Tanya Arshavin sedikit sarkas.

"Biarkan saya berbicara sebentar dengan putra saya" jawab Gabriel tak ingin kalah.

"Daddy, tolong" ucap Gara, meminta Arshavin agar membantunya melepaskan tangannya dari genggaman Gabriel.

Sungguh ia benar-benar muak melihat wajah Gabriel. Rasanya ingin sekali ia menghilangkan sosok Gabriel dari dunia ini. Tapi apalah dayanya, ia bukan tuhan yang bisa berkehendak. Ia hanya manusia biasa yang bisanya meminta pada tuhan agar Gabriel cepat disadarkan bahwa dirinya tak membutuhkan sosok ayah seperti Gabriel.

Gabriel melepaskan genggaman tangannya dan menatap Gara yang bahkan tak menatapnya barang sedetik pun sedari tadi. Dulu ia selalu mengabaikan setiap hal kecil dari Gara, seperti senyumannya yang selalu merekah saat bertemu dengannya. Tapi sekarang ia justru merindukan senyuman Gara padanya.

Tak apa meskipun hanya senyuman setipis tissue, asalkan Gara tersenyum padanya itu sudah cukup baginya. Rasa bencinya pada Gara seketika memudar ketika ia menyadari bahwa Gara merupakan bagian penting dalam hidupnya. Entah sejak kapan ia menyadarinya, namun ia tahu betul bahwa ia tak membenci Gara sedari dulu.

Hati kecilnya selalu memintanya untuk memeluk putranya, namun egonya lah yang menutupi semua permintaan hati kecilnya itu. Beruntungnya Gara masih hidup walaupun tak bersamanya lagi.

Gabriel menatap punggung Gara yang semakin menjauh dari pandangannya. Seiring dengan rintik gerimis yang kian menderas, dua punggung ayah dan anak itu hilang di balik tembok. Air matanya tumpah bersamaan dengan rintik gerimis yang berubah menjadi hujan deras.

Dinginnya air hujan tak sebanding dengan dinginnya kehidupan Gabriel saat ini. Ia kembali dengan menundukkan kepalanya, membiarkan air matanya tumpah bersamaan dengan hujan yang membasahi tubuhnya.

Sedangkan Gara hanya terdiam sepanjang perjalanan kembali ke ruangan rawatnya. Arshavin mengelus punggung Gara berusaha untuk menenangkan pikiran putranya. Dia tidak bodoh untuk mengetahui kondisi putranya sendiri.

"Mau ice cream?" Tanya Arshavin.

Namun sungguh ajaib, Gara menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Arshavin. Padahal biasanya tanpa di tanya pun, ia akan membelinya sendiri di saat suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Arshavin diam, ia berpikir mungkin Gara masih belum bisa mencoba untuk berdamai dengan rasa sakit yang pernah ia rasakan selama ini.

"Daddy, Lamborghini dengan Pajero lebih bagus yang mana?" Tanya Gara secara tiba-tiba.

"Dua-duanya juga bagus" jawab Arshavin tanpa berpikir panjang.

Gara berhenti di depan pintu masuk ruang rawatnya kemudian berbalik menatap Arshavin.

"Kalo gitu emang harus di beli dua-duanya sih, soalnya dari tadi Gara lagi mikirin mana yang bagus. Eh Daddy malah bilang dua-duanya juga bagus, kalo gitu beliin dua-duanya ya dad" ujar Gara yang membuat Arshavin terdiam dan hampir saja mengira bahwa putranya ini kerasukan jin dari taman rumah sakit ini.

Karena memang sungguh di luar dugaannya. Diamnya Gara selalu saja membawa kejutan baginya. Tapi tak apalah yang terpenting suasana hati putranya itu baik-baik saja.

"Ada tambahan lagi?" Tanya Arshavin, siapa tau saja putranya itu ingin lebih dari dua mobil. Ia sih tak keberatan sama sekali. Kecuali jika Gara memintanya menguras air laut, ia tak akan sanggup.

"Enggak, dua aja dulu. Sisanya nanti minta sama Abang" ujar Gara.

"Untuk apa meminta pada Abang mu, mintalah pada Daddy. Daddy masih mampu membelikan mu lebih dari dua. Ayo minta apapun itu pada Daddy" balas Arshavin.

"Apa sih dad, orang Gara maunya minta sama Abang. Kenapa malah Daddy maksa Gara buat minta sama Daddy?" Tanya Gara bingung.

Arshavin bungkam, sebenarnya ia tak ingin dua putranya itu mendapat perhatian dari Gara. Tapi mana mungkin ia mengatakan hal itu pada Gara, ia takut kalau Gara justru akan berpikiran yang macam-macam. Jadi ya sudahlah, demi menjaga image nya di hadapan Gara ia harus rela Gara membagi perhatiannya.

Arshavin ini lebay sekali.

"Tidak ada, minta saja pada Abang mu. Tapi cukup pada Abang mu saja ya, tak usah minta pada yang lain. Daddy masih mampu menuruti semua permintaan mu" ujar Arshavin.

"Kalo gitu, Gara minta mommy baru bisa?" Tanya Gara.

Arshavin bungkam, ia terjebak dalam ucapannya sendiri ternyata.

***

Everybody how do you feel?
Setelah baca part ini.














Ini kan yang kalean mau, awas kalo gak vote😏

Bersyandyaa gess.

Hatur nuhun 🖤✨

G A R AWhere stories live. Discover now