BAB 6 - GEJOLAK DALAM KEHENINGAN

27 9 0
                                    

Setelah mengalami malam yang panjang, beruntung sekali Banara masih dapat menyaksikan fajar mengudara pagi ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah mengalami malam yang panjang, beruntung sekali Banara masih dapat menyaksikan fajar mengudara pagi ini. Banara masih di dalam pondok menjaga Camara yang tidak kunjung sadar. Tentang kejadian semalam, sebenarnya Banara masih meragukan ingatannya. Runtutan peristiwa besar yang ia alami semalam masih kabur, dan ia hanya mengingat bagaimana dirinya menggendong Camara masuk ke pondok lalu terseret ke dalam alam mimpi gadis itu.

Hingga saat ini semua yang ada dalam mimpi itu masih terngiang jelas di pikiran Banara. Masih sulit bagi Banara untuk dapat menerima kenyataan ini. Jujur saja, Banara berharap bahwa mimpi Camara itu tidak berarti apa-apa. Sekadar mimpi yang menjadi bunga tidur. Namun, apa yang terjadi setelahnya, berakhir mematahkan semua harapan Banara.

Ia harus menerima kenyataan bahwa Sita bukanlah ibu kandungnya. Dan bahwa dirinya bukanlah hanya manusia, melainkan ada separuh darah siluman naga mengalir di tubuhnya. Terbukti bagaimana kerusakan yang ia buat semalam. Kamar Camara tak ubahnya seperti baru saja dihantam badai. Terutama lemari yang ada dikamar itu. Koyak hingga pintunya terlepas dan tinggal puing-puingnya.

Melihat Camara yang tak kunjung sadarkan diri, perasaan bersalahnya kembali muncul.

Jika saja aku bisa mengendalikan amarahku, mungkin dia tidak akan terbaring seperti itu. Andai aku tidak marah, mungkin energi Camara tidak akan melemah hingga tidak sadarkan diri.

Di tengah kecamuk pikirannya, pintu pondok itu terbuka. Banara yang semula duduk di depan jendela ruangan itu, berdiri melihat Sita, ibunya masuk.

"Bagaimana keadaanmu, Nak?" Sita meletakkan makanan yang dibawanya di meja kecil, di sudut ruangan itu. Ia menghampiri Banara yang tampah resah dalam diamnya.

"Aku... tidak apa-apa. Tapi, Camara..." Banara memejamkan matanya. Pikirannya menginginkan ia untuk tenang, namun hatinya tidak sependapat.

Dengan perlahan Sita mendekati anaknya. Mengusap pundak pemuda itu dan menyalurkan ketenangan kepada anak kesayangannya. "Kau yang tenang. Dia bisa merasakan kegelisahanmu, Nak. Ingat, siapa kalian!"

"Bu, aku minta maaf. Karena kecerobohanku, semua jadi kacau."

"Apa yang kau bicarakan itu, Le?" sudah Sita duga, hati Banara yang lembut pasti akan menyimpan penyesalan akan kejadian semalam.

"Semuanya yang terjadi semalam tidak perlu kau permasalahkan. Mpu Bumantara mengerti bagaimana kondisimu, bahkan Romo sendiri memintamu untuk tinggal di sini sementara waktu."

Banara mengernyitkan alisnya. Bertanya-tanya apa niat Mpu Bumantara itu sebenarnya, dengan meminta Banara tinggal di padepokan. "Tinggal di sini? Untuk apa?"

"Kalau itu, sebaiknya kau bicaralah dulu dengan Romo. Biar Romo yang menjelaskan." Rasanya memang bukan hak Sita untuk menjawab pertanyaan itu. Akan lebih bijak jika Banara bertanya sendiri kepada Mpu Bumantara, karena ia juga yakin bahwa akan ada begitu banyak masalah yang perlu diselesaikan oleh keduanya.

Sisik Merah: Telaga, Api, dan Sang Naga (Terbit Versi Cetak)Where stories live. Discover now