BAB 3 - BENANG MERAH

33 9 0
                                    

"Camara!" suara teriakan seorang pria menyambut kedatangan Banara dan ibunya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Camara!" suara teriakan seorang pria menyambut kedatangan Banara dan ibunya. Mendengar suara yang datang dari arah tujuan mereka, membuat keduanya saling bersitatap. Melihat pandangan khawatir ibunya, Banara segera berlari ke arah pintu gerbang dari kayu yang merdiri kokoh di depannya.

"Kenapa dia?" begitu Banara sampai di sumber suara, Banara melihat seorang gadis muda yang tergeletak di atas tanah, sedang di sampingnya ada kakek tua yang memegang pergelangan tangannya. Seperti sedang memastikan denyut nadi gadis itu masih ada.

"Tidak apa-apa. Dia cucuku." bagaimana bisa pria ini tersenyum tenang melihat cucunya sendiri tergeletak tidak sadar seperti ini? Gila! Gerutuan itu hanya ada di pikiran Banara. Mana mungkin dia mengeluarkan sumpah serapah seperti itu kepada orang yang baru ia jumpai sekali ini.

"Gadis ini, putri Dyah Semi?" tatapan heran Banara tertuju kepada Sang Ibu. Apa Ibu mengenali gadis ini?

"Benar, Sita." Lagi dan lagi Banara hanya dapat memandang ibunya dan pria tua itu yang ternyata saling mengenali. Yang benar saja! Sebenarnya siapa mereka ini? Bagaimana bisa Ibu kenal dengan orang-orang ini?

Tidak salah memang jika bertanya-tanya seperti itu. Selama ini yang Banara tahu, Sita sangat jarang bergaul dengan penduduk sekitar rumahnya. Ibunya itu hanya memanfaatkan waktu keluar rumah untuk mencari kayu bakar dan mengantarkannya ke pengepul. Lalu darimana mereka bisa saling mengenal? "Ibu... siapa dia?"

Belum sempat Sita menjawab pertanyaan putranya, si kakek tua itu mencegahnya terlebih dulu. "Aku yang akan menjelaskannya."

Kakek itu mengalihkan pandangannya kepada Banara, lalu ia berdiri mensejajarkan diri dengan pemuda di hadapannya itu. "Sekarang, bantu aku untuk memindahkannya!"

"Baiklah." Tanpa berpikir dua kali Banara mengangkat tubuh ramping gadis itu. Rasanya sedikit canggung ketika ia harus menyentuh bahu yang tidak tertutupi kain itu dengan tangan telanjangnya. Memang, selama ini, satu-satunya wanita yang dekat dengannya adalah Sita, ibunya. Jadi, wajar saja jika Banara canggung ketika berdekatan dengan lawan jenisnya.

Maaf, aku terpaksa! Rasa bersalah Banara menyeruak memenuhi ruang di benaknya. Baginya, seorang wanita sangat berharga dan tidak boleh diperlakukan sembarangan. Apalagi melihat gadis dalam gendongannya ini tidak menyanggul rambutnya, itu menandakan bahwa ia belum bersuami. Dan itu membuat Banara semakin merasa bersalah.

Banara membawa gadis itu dalam gendongannya. Ia mengikuti langkah si kakek tua dan ibunya masuk ke dalam padepokan. Sembari berjalan, Banara menatap kagum tempat itu. Pondok-pondok kecil berbaris memenuhi tanah lapang yang tampak seperti perkampungan kecil.

Siapa pemilik padepokan besar ini? Apakah si kakek tua ini?

Pertanyaan Banara itu segera terjawab ketika para muda-mudi yang tampak seperti murid padepokan ini memberikan hormatnya kepada si kakek. Benar, kakek tua itu adalah Mpu Bumantara. Pendiri Padepokan Sumber Glagah yang sakti mandraguna. Dialah Walyan yang membantu persalinan Dewi Nagageni bersama dengan putrinya, Dyah Semi yang saat itu mengandung cucunya, Camara.

Begitu mereka sampai di pondok paling ujung padepokan itu, kakek itu membuka pintu yang terbuat anyaman bambu. Sita, bergegas menutupi amben [1] dengan kain putih untuk membuatnya sedikit lebih nyaman. Meskipun Banara meragukannya, karena selama hampir dua puluh tahun terakhir ini Banara juga tidur di atas benda laknat yang setiap malam menyiksa punggungnya.

Setelah meletakkan si gadis ke atas ranjang, Banara langsung menodong pertanyaan kepada si kakek. "Jadi, bisa kita mulai sekarang?"

Melihat putranya yang sudah kehabisan kesabaran, Sita mencoba menenangkannya. "Sabar, Banara! Dengarkan Mpu Bumantara dulu."

Mpu Bumantara? Jadi itu namamu, Kek? "Saat ini yang kubutuhkan adalah penjelasan."

"Tenang, Sita. Sudah saatnya memang." Kakek tua itu menyahuti perdebatan Sita dan Banara dengan penuh ketenangan. "Anak muda, rasanya tidak adil jika hanya kau yang mendapatkan penjelasan ini."

"Apa maksudnya?"

"Gadis yang terbaring di depanmu ini, juga berhak mengetahui masa lalunya." Lama Banara menatap ke arah perempuan yang masih nyaman di tempat tidur itu.

"Lalu apa masalahnya? Aku tidak peduli itu. Aku hanya perlu mengetahui masa laluku."

Mpu Bumantara mendekat ke arah Banara dan menepuk pundak pemuda itu. "Aku memahamimu, Anak Muda. Tapi, masa lalu kalian saling berkaitan, dan masa depan kalian tidak terpisahkan. Kau tidak akan dapat mencapai tujuanmu tanpa campur tangan darinya."

"Kau tidak bisa memungkiri bahwa ada benang merah yang mengikatmu dengan cucuku ini." Apa lagi cerita yang akan di dongengkan kakek ini kepadaku? Banara menggerutu, menanggapi perubahan drastis pada kehidupannya yang terjadi secara mendadak ini.

"Bahkan aku yakin, sejak tadi kau terganggu dengan suara detak jantung seseorang yang terdengar nyaring di telingamu." Benar. Mpu Bumantara benar. Sedari tadi, sejak ia menyentuh bahu telanjang gadis itu, di telinga Banara berdengung suara detakan. Persis detakan jantung seseorang.

"Bagaimana..." Banara tidak mampu melanjutkan. Kalimat itu tertahan di tenggorokannya.

"Itu detak jantung cucuku, Camara." Dan ucapan Mpu Bumantara kali ini berhasil membuatnya benar-benar tercengang.

Banara masih sulit untuk mempercayai Mpu Bumantara. Pandangannya kembali mengarah ke arah Camara yang belum juga sadarkan diri. Entah apa yang ada di alam mimpi gadis itu, yang jelas itu bukanlah mimpi indah karena kerutan di dahi Camara semakin rapat. Melihat itu, membuat tangan Banara tergerak untuk menyentuh dahi Camara. Tepat saat telapak tangannya besentuhan dengan kulit wajah Camara, sekeliling Banara seketika berubah.

Pondok dari anyaman bambu di sekelilingnya dipenuhi dengan air. Tanpa ia kira, tubuhnya terseret ke dalam pusaran air besar. Banara yang tidak siap dengan keadaan itu tidak dapat melakukan apa-apa selain mengikuti arus yang menarik dirinya semakin dalam.

Sial! Apakah aku akan mati seperti ini? Tanpa mengetahui siapa sebenarnya diriku ini?

Semakin dalam tubuh Banara tertari, semakin sulit pula ia bernapas. Di saat genting itu, saat dirinya hampir menyerah pada kehendak Yang Maha Kuasa, sebuah tangan menariknya dari atas. Tangan kecil yang kuat itu mampu mengeluarkan tubuhnya ke permukaan.

Rasa lega menguasai dirinya. Tubuhnya gemetar begitu menyentuh permukaan tanah. Perutnya seperti diaduk, dan dadanya sangat sesak. Hingga Banara memuntahkan air yang tertelan olehnya. Napasnya tersengal-sengal, sekujur tubuhnya menggigil. Sampai ketika ia menyadari ada orang lain di sekitarnya, dan Banara tahu benar bahwa ia berutang nyawa pada orang itu.

Banara mengulurkan tangannya kepada orang itu, namun tidak ada balasan. "Maaf, dan terima kasih atas pertolonganmu."

Belum sempat Banara menatap si penolong, pemuda itu kembali dikejutkan dengan kenyataan bahwa yang menolongnya adalah gadis yang ia gendong ke dalam pondok beberapa saat yang lalu. Ya, dia adalah Camara. Cucu dari Mpu Bumantara.

"Lebih baik kau tahan dulu ucapan terima kasihmu itu, dan segera berdiri. Atau kau akan melewatkan cerita asal-asul kelahiranmu."

***

Daftar Istilah:

[1] Amben: tempat tidur dari bambu.

[1] Amben: tempat tidur dari bambu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sisik Merah: Telaga, Api, dan Sang Naga (Terbit Versi Cetak)Where stories live. Discover now