BAB 2 - TITISAN SANG NAGA

44 10 0
                                    


Tahun-tahun dilalui oleh Sita dengan mengambil alih tanggung jawab sebagai ibu dari Banara, putra Dewi Nagageni. Gadis itu harus merelakan pekerjaannya sebagai dayang. Gadis itu bahkan harus bersembunyi di ujung pedukuhan. Hanya gubuk kecilnya yang berdiri tepat sebelum jalan menuju hutan belantara. Tidak ada cara lain untuk menyembunyikan keberadaan Banara sesuai mandat Dewi Nagageni. Ia harus membawa bocah itu menjauh dari Trowulan, demi menghindar dari Ayah dan Pamannya.

Selama hampir dua puluh tahun kehidupan mereka bersama, Sita berusaha mencari sandang pangan dengan mencari kayu bakar dan menjualnya ke para tengkulak. Tidak seberapa memang hasilnya, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan keduanya.

Sementara itu, Banara yang kini telah dewasa seringkali diandalkan penduduk pedukuhan untuk membantu mereka membajak sawah, memanen hasil pangan mereka, maupun membersihkan lumbung beras milik keluarga bangsawan. Banara bukan pria yang lemah, ia juga merupakan pemuda yang cerdas. Sita memang selalu melihat Banara sebagai putra kandungnya, namun ia tidak dapat memungkiri darah bangsawan yang mengalir dalam tubuh Banara menunjukkan siapa dia sebenarnya.

Seperti sekarang ini, diam-diam pemuda itu melatih kemampuan beladirinya. Dengan berbekal tongkat kayu dan boneka jerami, Banara tidak berpikir dua kali untuk meningkatkan keterampilannya. Sita menyadari kegigihan dan bakat yang selama ini berusaha ia sembunyikan dalam diri putranya, tidak akan dapat ia tutupi lagi. Dan itulah kekhawatiran yang selalu menyeruak dalam benak Sita saat melihat Banara tumbuh semakin dewasa.

"Banara!" dari balik pintu bambu yang dianyam, Sita sengaja memanggil putranya untuk menghentikan kegiatan Banara.

Banara yang selalu sigap mendengarkan panggilan sang ibu, meletakkan tongkat kayunya, dan menghampiri Sita. "Dalem [1], Bu?"

"Siang ini kumpulkan kayu bakar di hutan. Persediaan di lumbung habis." Memang inilah salah satu cara Sita agar pemuda itu tidak berlatih terlalu keras. Kekhawatirannya yang membuatnya egois, dan Sita tidak rela mengorbankan putra semata wayangnya itu.

"Inggih, Bu." Tentunya Banara akan berkata 'tidak' pada sang ibu. Seumur hidupnya, belum pernah sekalipun ia membantah perkataan Sita. Bahkan ketika dirinya hampir saja menjadi anggota Bhayangkara, ia melepaskan kesempatan itu begitu saja ketika ibunya menceritakan kekhawatiran terhadap keselamatannya jika ia terlibat dalam pertempuran.

Kelemahan Banara adalah ibunya, dan ia mengerti posisinya sebagai anak tunggal dari Sita. Karenanya, ia merelakan kesempatan itu, dan memutuskan untuk tetap berada di Nglawi bersama ibunya.

"Kumpulkan sebanyak mungkin. Sisa pemakaian bisa kita jual." Ujaran dari sang ibu itu membuat Banara mengingat sebuah kabar yang sejak semalam ingin ia sampaikan kepada ibunya.

"Bu, setelah ini Ibu tidak perlu memikirkan itu lagi. Sekarang anakmu ini sudah memiliki pekerjaan."

Mendengar berita yang disampaikan putranya itu, tentu Sita ikut tersenyum senang melihat bagaimana binar yang ada di mata Banara. "Benar begitu, Nak?"

"Inggih, Bu. Adipati Nglawi bersedia mempekerjakan saya sebagai sais kudanya." Melihat betapa sumringahnya wajah Banara ketika bercerita, ia paham pengorbanan sang putra untuk menuruti ego Sita.

"Sais kereta kuda?" sais kereta kuda? Putranya ini harus rela menjadi sais kereta kuda untuk seseorang yang kastanya jauh di bawah Banara.

Air mata merebak di pelupuk Sita. Ia menyesalkan keadaan putranya ini. Bagaimana bisa pemuda keturunan bangsawan ini menjadi seorang sais kereta kuda? Anak yang dibesarkannya dengan segala kekurangan, tumbuh menjadi pemuda cerdas yang tangguh. Sayangnya, keadaan Sita yang merupakan bekas dayang istana membelenggu putranya. Begitu pula dengan sumpah yang ia janjikan kepada Nini, ibu kandung Banara.

Sisik Merah: Telaga, Api, dan Sang Naga (Terbit Versi Cetak)Where stories live. Discover now