BAB 1 - KELAHIRAN DAN GERHANA

56 13 2
                                    

Bulan perlahan menghilang dalam bayangan. Membuat malam semakin terasa mencekam. Seorang gadis muda, dengan langkah yang cepat tampak tergesa-gesa menyusuri jalan setapak di hutan hanya dengan berbekal obor. Angin berembus kencang, tidak seperti biasanya. Tidak pernah seperti malam ini. Angin membuat bahu terbuka gadis itu merasakan dingin hingga menggigil. Sialnya, ia tidak sempat mengambil kain jarik untuk menutupi bagian pundaknya. Urusan yang begitu mendesak memaksanya untuk bergegas menuju sebuah padepokan tanpa memedulikan pakaian yang ia kenakan. Langkah kaki telanjangnya bergerak cepat. Tidak peduli jalanan terjal di hutan itu dapat melukainya.

Langkah si gadis terhenti tepat di depan sebuah pintu gerbang sebuah padepokan. Dengan napasnya yang masih terengah, sekuat tenaga gadis itu memukulkan kepalan tangannya ke pintu kayu besar di hadapannya. Ketukan keras dari tangan kecil gadis itu menunjukkan bagaimana putus asanya dia untuk memanggil orang-orang di padepokan.

Suara langkah kaki yang saling bersahutan terdengar dari balik pintu. Menandakan penghuni-penghuni di padepokan ini mendengar ketukan pintunya tadi. Ketika pintu besar itu terbuka, seorang pria paruh baya dengan pakaian serba putih menyambutnya dengan tatapan penuh tanya. "Ada apa ini?"

Pria tua itu menatapnya dengan tajam dibalik cahaya obor yang remang-remang. Alisnya yang tebal mengerut, ketika ia menyadari siapa yang datang ke padepokannya tengah malam seperti ini. "Kau... dayang istana? Apa yang kau lakukan tengah malam begini?"

Dengan napas yang masih tersengal-sengal, gadis itu berusaha mengeluarkan suaranya. "Kdi... Saya butuh bantuan kdi. Nyawa kawan saya berada di ujung tanduk. Ia hendak melahirkan."

Memahami masalah yang dihadapi si dayang muda, pria itu memerintahkan pemuda yang berdiri tepat di belakangnya untuk memanggil orang yang dimaksud. "Panggil Sekar, sekarang!"

Pemuda itu hendak beranjak dari tempatnya, namun ada keraguan yang menahan langkahnya. "Tapi Romo, apa tidak perlu memanggil Dyah Semi? Apa Sekar bisa menangani ini sendiri?"

Sang romo tahu betul apa yang dikhawatirkan pemuda itu, namun tidak ada jalan lain. Memaksa Dyah Semi untuk membantu kelahiran di tengah malam seperti ini sangat berbahaya. Lagi pula purnama kali ini berbeda. Kali ini grahana akan menutupi sinar purnama. Dan ketika berada di puncaknya, kendali manusia akan kekuatan bumi hilang. Itulah saat paling rentan bagi wanita hamil. Entah kekuatan apa yang dapat masuk ke dalam tubuh si janin ketika jiwa dan jasadnya berhadapan langsung dengan grahana.

"Semi saat ini juga sedang hamil. Pantang untuk keluar rumah setelah matahari terbenam. Aku juga akan ikut, untuk berjaga-jaga." Ditepuknya pundak pemuda itu meyakinkan bahwa yang perlu dilakukan adalah percaya padanya.

Detik itu juga, si pemuda bergegas menjalankan perintah dari sang romo. "Baiklah, Romo!"

Sepeninggal pemuda itu, Romo kembali menatap si dayang muda. Jemari tangannya saling meremas. Pertanda bahwa masih ada yang belum disampaikan kepada Romo. "Bendara, ada yang harus saya sampaikan mengenai keadaan kawan saya." Kalimatnya terhenti. Merasa ragu akan apa yang ingin disampaikan. Sedangkan lawan bicaranya hanya menunggu. Ia tidak akan memaksa gadis itu untuk membuka mulutnya.

"Dia... sebenarnya seorang siluman."

Kalimat yang baru saja keluat dari mulut si dayang membuat pertahanan pria tua porak-poranda. Wajah tenang yang sejak tadi ia tampilkan, seketika berubah. Raut kekhawatiran tidak mampu ia tutupi dari wajahnya yang sudah penuh dengan guratan. "Bagaimana... bagaimana bisa?"

"Tidak bisa. Ini di luar kuasaku. Kau tahu resiko apa yang harus ku tanggung jika Sang Bupala tahu?" sang romo berusaha menahan amarahnya dengan berbalik. Ia tidak ingin amarahnya meluap dan berakhir melukai gadis itu.

Sisik Merah: Telaga, Api, dan Sang Naga (Terbit Versi Cetak)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora