Prolog

157 25 14
                                    

Malam kian larut dan pertempuran semakin sulit untuk dikendalikan. Dyah Banara, putra mahkota yang hilang itu kini harus melawan ayah kandungnya. Ia tidak pernah ingin pertarungan seperti ini. Akan tetapi, keserakahan sang ayah dapat membawa kehancuran pada Jawadwipa. Andai saja jika dampak pertarungan ini tidak mempengaruhi kehidupan umat manusia seperti penglihatan Camara, maka dengan senang hati ia akan mengalah dan menerima kematiannya.

"Kau, harusnya kau menjadi penerusku!" Sang Bupala tidak henti-hentinya meluapkan amarahnya dengan mengayunkan pedang di tangannya. Kemarahannya memuncak karena satu-satunya keturunan yang ia miliki berani menentang perintahnya.

Sekuat tenaga Banara berusaha menghindar dari serangan sang ayah. Ia tidak akan sanggup membunuh ayah kandungnya. Seburuk apapun masa lalu Prabu Jayanegara, dia tetap ayah Banara. Sekacau apapun Prabu Jayanegara, darahnya masih mengalir di tubuh Banara.

Berkali-kali Banara berusaha menghindar, hingga akhirnya ia terpojok. Tidak ada cara lain, selain menangkis serangan itu. Dentingan pedang yang saling beradu benar-benar memekakkan telinga. Hantaman pedang Banara kali ini yang menguasai pertarungan. Sisi tajam pedang milik Banara berhasil menggores lengan kanan Sang Bupala. Membuat pedang ditangan kanan penguasa Jawadwipa itu jatuh ke tanah.

Banara menghentikan serangannya. Ia masih berusaha meyakinkan ayahnya. Tidak sampai hati ia, jika harus melukai lawannya ini lebih jauh lagi. Melihatnya meringis kesakitan saja sudah menyakiti hatinya. Namun apa boleh buat? Hanya ini yang dapat ia lakukan untuk menghentikan ketamakan Sang Bupala. "Pertarungan kita dapat berakhir saat ini juga, asalkan Paduka bersedia mengembalikan pedang kembar itu ke tempat asalnya sebelum matahari ditelan oleh Buto."

Mendengar ujaran sang anak, membuat emosi sang prabu kembali terpancing. "Menyerahkan pedang ini berarti menyerahkan tahtaku. Kau tahu berapa banyak nyawa yang harus melayang untuk mempertahankan tahta ini, hah?"

Prabu Jayanegara kembali menerjang ke arah Banara. Pemuda itu tidak menyangka ayahnya akan sedemikian marah mendengar ucapannya. Ia yang belum siap menerima serangan mendadak itu, hanya dapat menangkis ayunan pedang yang datang ke arahnya. Tubuh Banara kembali terdorong. Kakinya berusaha untuk tetap memijak tanah. Detik selanjutnya, genggaman tangannya di pedang semakin erat, dan pemuda itu berusaha bangkit dengan memaksa kakinya untuk kembali tegak.

"Karena itulah kumohon hentikan kerakusanmu ini, Ayah!" geraman terdengar keluar dari mulut Banara. Menandakan bahwa ia masih memiliki tenaga untuk bertahan. Namun, geraman itu tiba-tiba berubah menjadi erangan kesakitan. Sebuah anak panah melesat dan menancap di dada kirinya. Darah segar keluar, mengucur dari balik kulit kecoklatannya.

"Banara!" jeritan Camara itu menjadi suara terakhir yang dapat didengar Banara.

Jika memang aku harus mati di tangan ayahku.Tidak apa. Setidaknya tanganku tidak berlumuran darah orang yang telahmembawaku ke dunia ini. Dan, Camara... semoga kau tidak terlarut dalam kesedihan,hiduplah seperti apa yang kau mau. Jangan terlalu memikirkan masa depan! Danakhirnya aku bisa lega, kelak tidak akan ada pengacau sepertiku di kehidupanmu. 


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sisik Merah: Telaga, Api, dan Sang Naga (Terbit Versi Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang