#Key : Quality Time

Start from the beginning
                                    

Vira? Siapa?

Nama Ibu Kantin? Oh jelas namanya tak akan secantik itu.

Nama guru? Sepertinya aku sudah bolak-balik membaca daftar nama guru di sekolah ini dan belum menemukan nama itu.

Kalau adik kelas? Memang belum kuperiksa sih, tapi aku tidak yakin

Masalahnya Agam selalu menyebut wanita yang memang benar-benar dia tahu atau mau dia kenal seperti Naya, aku, ibunya, ibuku dan anak-anak anggota OSIS dan MPK lainnya.

Kalau Vira? Ah rasanya jarang sekali di sekolah ini ada yang namanya seperti itu.

Kecuali teman luar? Atau teman tongkrongannya mungkin? Setelah melihat situasi ini aku jadi makin kecewa pada diriku sendiri, ternyata aku belum sedekat itu dengan Agam. Bahkan nama Vira pun baru aku dengar dari pria itu hari ini.

"Gue belum cerita, ya?" kata Agam menatapku yang masih bergelut dengan isi pikiranku ; mencari pemilik nama Vira yang aku kenal.

"Siapa emang?" aku berusaha tidak gugup. "Waduh, cieee..." aku menyikut tangannya mengoda. "Cantik, ya? Siapa tuh? Kenalin dong."

"Kepo amat," kata Agam.

"Dih-dih..." kataku bersikap sewajarnya. Walau sebenarnya dalam hati rasanya hatiku panas dingin melihat reaksi Agam yang nampaknya ragu-ragu.

"Belum jadian sih," kata Agam. "Masih proses pdkt."

"Ketemunya di mana?"

"Komplek, tempat gue jogging."

Aku ber-oh ria.

Pasti mulus, pasti cantik, pasti seksi.

Agam kini menatapku, "Kemarin lo sama Gilbran ngapain, sih?"

"Tumben kepo amat," kataku.

"Nanya aja sih."

"Ya udah sih."

"Ngapain?" Agam mengulang pertanyaannya. Seolah pria ini curiga dengan apa yang aku kerjakan dengan Gilbran akhir-akhir ini.

"Kalau gue kasih tahu, lo juga harus kasih tahu soal Vira. Gimana?" menurutku ini kesepakatan yang adil.

"Gak jadi deh," kata Agam.

Aku merengut kesal. Baiklah! Kalau memang itu maunya!

Agam akhirnya diam melihatku yang mendengus jengkel.

"Pulang bareng sama gue mau?" tawar Agam spontan.

"Mau."

"Jajanin dimsum."

"Oke, deal."

Kami bersalaman.

"Sekarang?" tanya Agam lagi.

"Lima menit."

"Oke."

Kami terdiam sejenak.

"Udah lima menit belum?" tanya Agam.

"BARU JUGA LIMA DETIK!"

Agam tertawa melihat reaksi hebohku. Baiklah, tak ada salahnya ikut tertawa juga.

"Lucu."

"Apanya?"

"Lo, Key..." perkataan Agam membuat jantungku merosot ke 7 langit, 7 lautan, 7 tanah.

"Apa sih? Dangdut amat..."

Agam malah tertawa.

"Tapi serius deh," ucap Agam pelan setelah beberapa menit kami terdiam. "Gue agak sedikit kesel aja, Key."

"Kesel kenapa?"

"Gak tahu, rasanya aneh aja kalau lo deket sama Gilbran," matanya tertuju padaku dengan serius.

Aku menatap matanya tak berkedip. Senyumku pudar seolah mengartikan perkataan itu secara dalam.

"A-aneh gimana?" tak berbohong, jantungku berdebar. Aku berdeham gugup.

"Entahlah, kayanya merasa tersaingi aja."

ASTAGA! AGAM CEMBURU?!

LUCUNYA!

Aku membuang wajah, menahan senyum. "Oh..."

"Kira-kira kenapa, ya?"

"Gak tahu juga. Kenapa, ya?" aku berusaha sok polos.

"Apa gara-gara gue gak ada temen yang deket kaya lo? Makanya agak kesel dikit?" jawaban Agam membuat aku yang melayang langsung terhempas ke atas tanah. "Habisnya lo deket banget sama Gilbran. Gue ditinggal mulu..."

Oke, aku kecewa. Kecewa besar!

AH, KESAL!

"Mungkin," kataku dengan wajah datar.

Dia hanya menggaruk tengkuk dengan polosnya. "Gitu, ya? Eh, mau kemana!"

"Balik!" kataku kesal sambil meleos begitu saja.

"Katanya mau pulang bareng?" teriak Agam mengejarku dengan helm di tangannya.

"Gak jadi!" kataku. "GUE PULANG SENDIRI!"

Aneh. Hari ini kenapa aku sensitif sekali, ya?

To be continue.

Crush, Cresh, Cursed! Where stories live. Discover now