3. Yang Sudah Berubah

380 89 3
                                    

Anak laki-laki berumur 4  tahun itu tersenyum dalam tidurnya, entahlah kali ini apa yang ia impikan. Mama mendekapnya dengan sayang, mengusap rambut hitamnya yang lebat dan sesekali mengecup pucuk kepalanya. Ini adalah salah satu bagian paling menyenangkan ketika menjadi seorang ibu. Menemani anak tidur siang, melihat wajah polosnya yang terpejam damai, dan bisa sepuasnya memeluk malaikat kecilnya.

Namun ia tidak bisa berbohong tentang bagaimana ia merindukan dunia kerja, bagaimana ia ketika bangun pagi akan berdandan dan berangkat bekerja, makan siang dengan teman di luar juga mampir ke mall di malam hari. Bukannya di rumah begini, pagi hari bangun sibuk menyiapkan makanan juga keperluan anak dan suami, melakukan semua pekerjaan rumah hingga untuk berdandan saja rasanya tidak bisa.

Ia menghela nafas lelah ketika melihat jam dinding, baru saja beristirahat dan sekarang harus menjalani kewajibannya lagi.

"Rian sayang... mama jemput kak Liam dulu ya di tempat les.."

Ia berbisik pelan sambil mengusap kepala Rian. Melepas pelukannya perlahan lalu mengecup dahi jagoannya itu. Tidak lupa meletakkan bantal di sisi tempat tidur, meskipun sudah bukan bayi lagi, namun ia sudah terbiasa melakukannya dan membuatnya merasa lebih tenang tanpa takut Rian bisa terjatuh dari tempat tidur.

Rian kecil masih terlelap di rumahnya seorang diri karena mama harus menjemput Liam. Tidur siangnya masih nyenyak hingga suara guntur sedikit mengusiknya. Siapa sangka setelahnya terjadi hujan lebat yang membuat Rian kecil terbangun. Rian bukanlah tipe anak yang akan langsung menangis ketika bangun dari tidurnya, namun ketika mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan tidak mendapati siapapun membuat rasa takut menghampirinya perlahan.

"M-mama?" panggilnya dengan suara serak. Matanya perlahan berkaca-kaca ketika tidak mendapatkan sahutan dan malah mendengar suara hujan yang begitu keras.

"Mama!"

Bola matanya bergerak gusar karena tetap tidak mendapatkan sahutan dari panggilannya, padahal baginya ia sudah berteriak sekeras yang ia bisa. Tangan mungilnya bergerak rusuh mengusap lelehan air mata di pipinya. Ia takut, benar-benar takut. Suara hujannya terlalu keras ditambah lagi dengan suara petir juga kilat yang begitu jelas. Menoleh takut-takut ke arah jendela, diluar gelap karena mendung.

Masih dengan tangisannya, Rian berusaha turun dari tempat tidurnya yang tidak terlalu tinggi. Kakinya melangkah menyusuri rumahnya, pergi ke dapur hingga kamar kedua orang tuanya namun tidak menemukan siapapun. Ia berlari ke kamar, menutup pintu lalu duduk di lantai, bersandar pada kasur dan menutup telinganya dengan kedua tangan kecilnya. Matanya terpejam erat, tubuhnya bergetar. Ia benar-benar takut, berharap agar tubuhnya segera di rengkuh.

"M-mama... hiks.." Isakannya yang begitu kuat membuatnya sesekali terbatuk. Kenapa dirinya ditinggalkan sendirian? Kenapa tidak ada siapapun yang menemaninya?

"Kak Liam... sini hiks.. Iyan takut... temenin Iyan di sini hiks.."

Rian mungkin benar-benar ketakutan hingga tanpa sadar dirinya mengompol, membuat lantai di sekitarnya basah. Ia hanyalah bocah 4 tahun yang pertama kali berada di situasi seperti ini. Di rumah sendirian dengan hujan lebat diluar sana membuatnya takut.

"Papa, kak Liam, mama? Jangan tinggalin Iyan s-sendirian hiks.. m-mama..." Tangisannya masih belum berhenti bahkan hingga pintu terbuka menampilkan kakaknya yang berlari kearahnya dengan tas yang masih berada di punggungnya. Menubruk dan memeluk adiknya dengan erat.

"Kakak pulang.. kakak di sini.." Tubuh bergetar adiknya ia dekap dengan erat.

"Kakak hiks.. Iyan takut..."

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Dec 12, 2023 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

Sesaat Yang DinantiOnde histórias criam vida. Descubra agora